Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Jumat, 24 Juni 2016

Surat Cinta Untuk Para Pembenci Negeri Saudi Arabia

20.24 Posted by Unknown , , No comments

Wahai Saudaraku..
Negeri Saudi Arabia bukanlah Khilafah di zaman para Sahabat -radhiallahu anhum- dan rajanya juga bukanlah Mu’awiyyah bin Abu Sufyan -radhiallahu anhuma- demikian juga ulamanya bukanlah Ibnul Musayyib, bukan pula Ibnu Sirin ataupun Sulaiman bin Yasar bahkan tidak pula mendekati derajat Al Imam Asy Syafi’i ataupun Al Imam Al Auzai -rahimahumullah-. Kalau kalian mencari-cari kesalahannya niscaya kalian pasti akan mendapatinya sangat banyak, bahkan bukankah kesalahan-kesalahan sudah menjadi tabi’at manusia. Jika engkau terus-menerus mencari-cari kesalahan saudaramu sama saja jika engkau memaksanya menjadi malaikat, sesuatu yang mustahil bukan.
Wahai Saudaraku…

Negeri Saudi Arabia bukanlah Khilafah di zaman para Sahabat -radhiallahu anhum- dan rajanya juga bukanlah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz -rahimahullah- demikian juga ulamanya bukanlah Urwah bin Zubair, bukan pula Al Hasan Al Bashri ataupun Muhammad bin Syihab bahkan tidak pula menghampiri derajat Al Imam Ahmad ataupun Imam Sufyan Ats Tsauri -rahimahumullah-. Kalau kalian membandingkan negeri yang sempurna seperti negerinya Umar bin Al Khaththab atau pemimpin setegar Utsman bin Affan -radhiallahu anhuma- maka sungguh di mata kalian negeri Saudi Arabia saat hanyalah sampah. Tapi wahai saudaraku, tunjukkan kepadaku negeri manakah yang saat ini lebih baik dari Kerajaan Saudi Arabia. Di negeri tersebut Tauhid diserukan, Sunnah dida’wahkan, hukum Had ditegakkan, ketika adzan dikumandangkan pasar-pasar menjadi sepi, para pedagang meninggalkan dagangannya kemudian menyusun shaf menyambut panggilan Allah ‘Azza Wa Jalla . Sungguh ini adalah miniatur sebuah negeri yang mencoba menegakkan Syariat Islam semampu mereka meskipun sekali lagi wahai saudaraku yang baik aku tekankan bahwa negeri Saudi Arabia bukanlah Khilafah di zaman para Sahabat –radhiallahu anhum– dan rajanya juga bukanlah Sulaiman bin Abdul Malik -rahimahullah- demikian juga ulamanya bukanlah Fudhail Ibnu Iyyadh, bukan pula Sa’id bin Jubair ataupun Atha’ bin Abi Rabah bahkan tidak pula menghampiri derajat Al Imam Al Bukhari ataupun Imam At Tirmidzi -rahimahumullah-.

Wahai Saudaraku…
Sangatlah mengherankanku ketika kalian mengatakan Saudi Arabia tidak perduli dengan kaum Muslimin, baik yang di Suriah, Palestina, Mesir maupun di belahan dunia yang lainnya. Sungguh aku tak tahu apakah yang telah membutakan matamu sehingga tidak mampu melihat dan membaca berbagai tebaran kebaikan dan bantuan dari Pemerintah dan Rakyat Saudi Arabia di seluruh penjuru dunia. Milyaran rupiah digelontorkan untuk pengungsi Suriah, bahkan Saudi memasok senjata -senapan mesin, mortir maupun anti tank- kepada kaum muslimin di Suriah yang sedang berperang dengan kaum kafir Syi’ah Raafidhah dan sekutunya. Sangat mengherankanku ketika dengan mudahnya kalian menemukan berbagai berita tapi kok bisa berita seperti ini terlewatkan dari ketukan jarimu di atas tablet atau smartphone yang engkau pakai.

Wahai Saudaraku….
Sungguh sangat menakjubkan ketika engkau tidak tahu Milyaran rupiah [bahkan dollar] yang Saudi kucurkan kepada warga Palestina sementara di saat yang sama engkau mampu mencari dan mengekspos kesalahan dan kejelekan pemerintah saudi. Bahkan ketika bantuan itu berada di depan mata kalian, di negeri kita yang tercinta ini, Nusantara negeri seribu pulau, ketika Tsunami memporak-porandakan Aceh sembilan tahun yang lalu, ketika media massa ribut menggembar-gemborkan bantuan-bantuan [berupa pinjaman dengan bunga] negeri-negeri kafir, diam-diam pemerintah dan rakyat saudi telah memberikan bantuan jutaan dolar dalam bentuk hibah alias gratis bin cuma-cuma. Tertutupkah mata kalian dari itu semua, jika kalian melakukan celaan tersebut karena ketidaktahuan maka alangkah baiknya kita diam dari sesuatu yang kita tidak punya ilmu adapun jika celaan itu muncul karena dorongan kebencian maka sungguh aku hanya bisa meminta kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar melembutkan hati-hati kita.

Wahai Saudaraku ….
Sungguh kebaikan pemerintah negeri Haramain sangatlah banyak, bahkan -yang menyedihkanku adalah bahwa- mereka-mereka yang sangat keras permusuhan dan kebenciannya terhadap pemerintah Saudi dan menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan jelek ternyata di saat yang sama atau di masa lalu pernah menikmati fasilitas dan berbagai kebaikan dari pemerintah Saudi. Tanyalah Sa’id Aqil Siraj berapa banyak uang dan bantuan Saudi yang masuk ke kantong dan perutnya, yang di saat dia mencela Saudi -yang telah memberinya beasiswa bahkan gaji sehingga dia bisa bergelar doktor- dia justru membangga-banggakan negeri Iran, negerinya Ayatusy-syaithan Khomeini yang telah mencela Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- dengan mengatakan Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- telah gagal dalam mewujudkan keadilan, dia memuji Iran negerinya para kaum Syi’ah yang mencela Abu Bakar, ‘Umar dan Ibu kita Aisyah dan Hafshah -radhiallahu anhum-.

Wahai Saudaraku…. Tanyalah kepada para tokoh-tokoh PKS -yang banyak kader-kadernya serta ‘saudaranya’ dari Ikhwanul Muslimin begitu membenci Saudi- , Tanyalah Hiadayat Nur Wahid, Anis Matta dan lainnya berapa banyak duit dan bantuan dari Saudi yang mereka nikmati ketika bersekolah di Saudi Arabia atau ketika sekolah di LIPIA, demikian juga dengan orang-orang NU yang banyak mendapatkan bantuan dana dari Kerajaan Saudi Arabia…. Ah bahkan anjingpun tidak menggigit tangan yang memberinya makan …

Wahai Saudaraku…
Bukalah mata kalian terlebih mata hati kalian, kalian mendukung bahkan teriak-teriak dukungan kepada para pejuang di Suriah yang memerangi Basyar Ashad tapi di saat yang sama kalian justru tidak berterima kasih bahkan mencela negeri Saudi Arabia yang jika bukan karena Allah ‘Azza Wa Jalla dan kemudian kesigapan Kerajaan Saudi Arabia mengirimkan bantuan Militer kepada Kerajaan Bahrain maka saat ini mungkin saja Bahrain telah dipimpin oleh orang yang beragama sama dengan Basyar Ashad sehingga tragedi Suriah bisa saja terulang di Bahrain. Lihatlah wahai saudaraku, jika bukan karena Allah ‘Azza Wa Jalla kemudian dukungan dan fatwa para Ulama Saudi Arabia serta bantuan Dana dari pemerintah Kerajaan Saudi Arabia maka saat ini mungkin saja agama Ahmadiyyah Qadiyaniyyah telah menjadi agama resmi Negeri Pakistan. Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla merahmati Asy Syaikh Tsanaullah Amru Tisri -seorang Salafy- yang telah membantah dan melayani Mirza Ghulam Ahmad untuk bermubahalah sehingga Mirza mati dalam keadaan mengenaskan sementara Asy Syaikh Tsanaullah masih hidup bertahun kemudian. Apakah kalian tidak mengetahui hal itu…? Kalau begitu itu sungguh sangat mengejutkan.

Wahai Saudaraku ….
Kesalahan pemerintah Saudi mungkin sangatlah banyak tapi kebaikannya juga sangatlah banyak. Tak cukup surat singkat ini untuk membeberkan semuanya,  Yang itu hanyalah sedikit dari banyaknya kebaikan negeri yang mulia dan penuh berkah ini yang sekali lagi aku katakan bahwa negeri ini juga punya banyak kesalahan, tapi syukurilah ni’mat ini bahwa masih ada negeri yang semisal Saudi Arabia, adapun kesalahannya perbaikilah sesuai dengan tuntunan Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam- dan mintakanlah ampun kepada Allah ‘Azza Wa Jalla . Syukurilah ni’mat ini bahwa masih ada negeri yang di dalamnya tegak hukum Had, Shalat berjama’ah ditegakkan, Rumah-rumah ibadah kaum kafir dilarang untuk didirikan, amar ma’ruf nahi mungkar dilaksanakan dan dianjurkan. Syukurilah maka mungkin saja Allah ‘Azza Wa Jalla akan anugerahkan kita ni’mat yang lebih besar yakni Khilafa di atas Minhaj Nubuwwah. Adapun jika kita memngigkari ni’mat ini maka sungguh aku sangat mengkhawatirkan musibah akan terus menerus menghantam kita, dan terpecahbelahnya kekuatan kaum muslimin saat ini adalah musibah yang sangat besar dan realita yang sedang terjadi.

Wahai Saudaraku ….
Tersisa pertanyaan untuk diriku dan untuk kalian, ketika kalian sibuk mencela Salafiyyun dengan mengatakannya tidak perduli dengan kaum muslimin, aku jadi ingin bertanya, “di manakah kalian berada ketika kaum Muslimin sedang dibantai di Ambon dan Poso dan apa yang kalian lakukan saat itu, atau jangan-jangan kalian justru bergabung dengan banser NU yang hendak menghalangi kaum muslimin salafiyyun yang hendak berangkat ke Ambon menolong kaum Muslimin di sana dengan bertaruh nyawa. Di mana kalian dan apa yang kalian lakukan saat itu?”

di saat kalian mencela Negeri Haramain -yang telah menggelontorkan dana milyaran dolar bagi kaum muslimin di seluruh dunia- apa yang telah kalian sumbangkan untuk Islam dan Kaum Muslimin. Berapa rupiah yang telah kalian sumbangkan ke penduduk Suriah, Palestina dan lainnya. Bahkan berapa rupiah yang telah kalian sumbangkan kepasa Saudara-saudara kalian di Aceh, Yogyakarta. Bahkan berapa rupiah yang kalian sumbangkan kepada sanak saudara kalian yang membutuhkan. Bahkan berapa rupiah yang telah kalian sumbangkan untuk pembangunan Mesjid di tempat kalian, atau jangan-jangan Mesjid di tempat kalian pun ternyata adalah salah satu dari puluhan bahkan ratusan Mesjid di Nusantara ini yang merupakan bantuan dari Negeri Haramain Saudi Arabia. jangan sampai bahkan doa pun kita lupa panjatkan buat saudara-saudara kita yang menderita dan tertindas di Palestina, Suriah, Somalia, dan Negeri lainnya dan kitapun menjadi tong kosong yang nyaring bunyinya… Sungguh Bakteri Di Seberang Lautan Kelihatan tapi Gajah di Pelupuk Tidak Nampak…kita teriak-teriak bak pahlawan kesorean tapi ternyata sumbangsih kita untuk islam dan muslimin adalah NOL BESAR… 

Sumber :  https://aboeshafiyyah.wordpress.com/2013/11/29/surat-cinta-buat-para-pembenci-negeri-saudi-arabia/

Rabu, 22 Juni 2016

Sejarah Kodifikasi Hadits

15.02 Posted by Unknown , No comments

Oleh :

Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc
(Alumni Universitas Al Azhar Mesir)

Hadis Nabawi atau Sunnah Nabawiyyah adalah satu dari dua sumber syariat Islam setelah Al-Quran. Fungsi hadits dalam syariat Islam sangat strategis. Diantara fungsi hadis yang paling penting adalah menafsirkan Al-Qur`an dan menetapkan hukum-hukum lain yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Begitu pentingnya kedudukan hadits, pantas jika salah seorang ulama berkata, “Al-Qur`an lebih membutuhkan kepada Sunnah daripada Sunnah kepada Al-Qur`an.”

Dahulu, para sahabat yang biasa mendengarkan perkataan Nabi dan menyaksikan tindak-tanduk dan kehidupan Nabi secara langsung, jika mereka berselisih dalam menafsirkan ayat Al-Quran atau kesulitan dalam menentukan suatu hukum, mereka merujuk kepada hadits Nabi. Mereka sangat memegang teguh sunnah yang belum lama diwariskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pelengkap wahyu yang turun untuk seluruh manusia.

Sejak jaman kenabian, hadis adalah ilmu yang mendapat perhatian besar dari kaum muslimin. Hadits mendapat tempat tersendiri di hati para sahabat, tabi’in dan orang-orang yang datang setelah mereka. Setelah Al-Quran, seseorang akan dimuliakan sesuai dengan tingkat keilmuan dan hapalan hadisnya. Karena itu, mereka sangat termotivasi untuk mempelajari dan menghafal hadis-hadis Nabi melalui proses periwayatan. Tidak heran, jika sebagian mereka sanggup menumpuh perjalanan beribu-ribu kilometer demi mencari satu hadits saja.

Di awal pertumbuhan ilmu hadis ini, kaum muslimin lebih cenderung bertumpu pada kekuatan hapalannya tanpa menuliskan hadis-hadis yang mereka hapal sebagaimana yang mereka lakukan dengan Al-Qur`an. Kemudian, ketika sinar Islam mulai menjelajah berbagai negeri, wilayah kaum muslimim semakin meluas, para sahabat pun menyebar di sejumlah negeri tersebut dan sebagiannya sudah mulai meninggal dunia serta daya hapal kaum muslimim yang datang setelah mereka sedikit lemah, kaum muslimin mulai merasakan pentingnya mengumpulkan hadis dengan menuliskannya.
Masa Sahabat

Sebetulnya, kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara aku tidak.”

Namun, kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki. Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu segan..” (HR Muslim)
Masa Tabi’in dan setelahnya

Tradisi periwayatan hadis ini juga kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh tabi`in sesudahnya. Hingga datang masa kepemimpinan khalifah kelima, Umar Ibn Abdul’aziz. Dengan perintah beliau, kodifikasi hadits secara resmi dilakukan.

Imam Bukhari mencatat dalam Shahihnya, kitab al-ilmu, “Dan Umar bin Abdul ‘aziz menulis perintah kepada Abu Bakar bin Hazm, “Lihatlah apa yang merupakan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tulislah, karena sungguh aku mengkhawatirkan hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama.”

Ibnu Hajar mengatakan, “Dapat diambil faidah dari riwayat ini tentang permulaan kodifikasi hadis nabawi. Dahulu kaum muslimin mengandalkan hapalan. Ketika Umar bin Abdul aziz merasa khawatir –padahal beliau ada di akhir abad pertama- hilangnya ilmu dengan meninggalnya para ulama, beliau memandang bahwa kodifikasi hadis itu dapat melanggengkannya.

Abu Nu’aim meriwayatkan dalam tarikh ashfahan kisah ini dengan redaksi, “Umar bin Abdul ‘aziz memerintahkan kepada seluruh penjuru negeri, “lihatlah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kumpulkanlah.”

Diantara yang pertama kali mengumpulkan hadis atas perintah Umar bin Abdul ‘aziz adalah Muhammad bin Muslim, ibnu Syihab az-Zuhry, salah seorang ulama ahli Hijaz dan Syam. Setelah itu, banyak para ulama yang menuliskan hadis-hadis Rasulullah dan mengumpulkannya dalam kitab mereka.

Di Mekah ada Ibnu Juraij (w 150 H) dengan kitab “as-sunan”, “at-Thaharah”, “as-shalah”, “at-tafsir” dan “al-Jaami”. Di madinah Muhammad bin Ishaq bin Yasar (w 151 H) menyusun kitab “as-sunan” dan “al-Maghazi”, atau Malik bin Anas (w 179 H) menyusun “al-Muwaththa”. Di Bashrah Sa’id bin ‘Arubah (w 157 H) menyusun “as-sunan” dan “at-tafsiir”, Hammad bin Salamah (w 168 H) menyusun “as-sunan”. Di Kufah Sufyan ast-Tsauri (w 161 H) menyusun “at-Tafsir”, “al-Jami al-Kabir”, al-Jami as-Shaghir”, “al-Faraaidh”, “al-Itiqad”

Al-‘Auza’I di Syam, Husyaim di Washith, Ma’mar di Yaman, Jarir bin Abdul hamid di ar-Rai, Ibnul Mubarak di Khurasan. Semuanya adalah para ulama di abad ke dua. Kumpulan hadis yang ada pada mereka masih bercampur dengan perkataan para sahabat dan fatwa para ulama tabi’iin.

Begitulah juga penulisan hadis ini menjadi tradisi ulama setelahnya di abad ke tiga dan seterusnya. Hingga datang zaman keemasan dalam penulisan hadis. Ia adalah periode Kitab Musnad Ahmad dan kutub sittah. Diantaranya adalah dua kitab shahih. Al-Imam al-Bukhari, seorang ulama hadis jenius yang memiliki kedudukan tinggi, menulis dan mengumpulkan hadis-hadis shahih dalam satu kitab yang kemudian terkenal dengan nama “shahih al-Bukhari”. Diikuti setelahnya oleh al-Imam Muslim dengan kitab “shahih muslim”.

Tidak hanya itu, zaman keemasan ini telah menelurkan kitab-kitab hadis yang hampir tidak terhitung jumlahnya. Dalam bentuk majaami, sunan, masanid, ‘ilal, tarikh,  ajzaa` dan lain-lain. Hingga, tidak berlalu zaman ini kecuali sunnah seluruhnya telah tertulis. Tidak ada riwayat yang diriwayatkan secara verbal yang tidak tertulis dalam kitab-kitab itu kecuali riwayat-riwayat yang tidak diperhitungkan.

Rujukan Utama:

    Muqaddimah Mushahhih Kitab “Ma’rifah ‘Ulum al-Hadis”, al-Hakim an-Naisaburi.
    Al-Manhaj al-Muqtarah lii fahmi al-Musthalah, Syaikh DR. Syarif Hatim al-‘Auni
    Fathul Bariy, al-Hafidz ibnu Hajar.
    dll

Sumber: https://muslim.or.id

Rabu, 08 Juni 2016

Peringatan Bagi Orang yang Enggan Puasa

15.26 Posted by Unknown , , No comments

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sebagaimana makna ini dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala,
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” (QS. Maryam: 26).
Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]
Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/ perjalanan jauh)[2]. Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan adalah wajib adalah dalil Al Qur’an, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma’ ulama)[3].
Di antara dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[4]
Hal ini dapat dilihat pula pada pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang badui ini datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan padaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا
(Puasa yang wajib bagimu adalah) puasa Ramadhan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunnah (maka lakukanlah).”[5]
Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena ia bagian dari rukun Islam[6]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[7]
Peringatan bagi Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa
Pada zaman ini kita sering melihat sebagian di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban puasa yang agung ini. Bahkan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, ada yang mengaku muslim, namun tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa. Padahal mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang yang sedang mendapatkan halangan haidh atau nifas. Mereka semua adalah orang yang mampu untuk berpuasa.
Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu.
Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بينا أنا نائم إذ أتاني رجلان ، فأخذا بضبعي، فأتيا بي جبلا وعرا ، فقالا : اصعد ، فقلت : إني لا أطيقه ، فقالا : إنا سنسهله لك ، فصعدت حتى إذا كنت في سواء الجبل إذا بأصوات شديدة ، قلت : ما هذه الأصوات ؟ قالوا : هذا عواء أهل النار ، ثم انطلق بي ، فإذا أنا بقوم معلقين بعراقيبهم ، مشققة أشداقهم ، تسيل أشداقهم دما قال : قلت : من هؤلاء ؟ قال : هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم
”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu  aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[8]
Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!
Perlu diketahui pula bahwa meninggalkan puasa Ramadhan termasuk dosa yang amat berbahaya karena puasa Ramadhan adalah puasa wajib dan merupakan salah satu rukun Islam. Para ulama pun mengatakan bahwa dosa meninggalkan salah satu rukun Islam lebih besar dari dosa besar lainnya[9].
Adz Dzahabi sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit (atau udzur lainnya, -pen), maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, lebih jelek dari dosa menegak minuman keras, bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang-orang munafik dan sempalan.”[10]
Adapun hadits,
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ
Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya”; adalah hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.[11]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9904.
[2] Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 88.
[3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9904.
[4] HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[5] HR. Bukhari no. 6956, dari Tholhah bin ‘Ubaidillah.
[6] Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 318.
[7] Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 89.
[8] HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 7/263, Al Hakim 1/595 dalam mustadroknya. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya. Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (hal. 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[9] Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam beberapa penjelasan beliau.
[10] Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/434, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
[11] HR. Abu Daud no. 2396, Tirmidzi no. 723, Ibnu Majah no. 1672, Ahmad 2/386. Hadits tersebut disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab shahihnya dengan lafazh tamrid (tidak tegas) dari Abu Hurairah dan dikatakan marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Juga perkataan semacam ini dikatakan oleh Ibnu Mas’ud.
Ibnu Hazm dalam Al Muhalla (6/183)  mengatakan, “Kami tidak berpegang dengan hadits tersebut karena di dalamnya terdapat Abu Muthawwis yang tidak dikenal ‘adl-nya (kesholihannya). Kami pun tidak berpegang dengan yang dho’if.” Hadits ini juga dinilai dho’if oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if sebagaimana dalam Dho’if At Targhib wa At Tarhib no. 605.

Sumber : muslim.or.id