Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Minggu, 24 Januari 2016

Islam Adalah Agama Yang Sempurna

06.34 Posted by Unknown , No comments

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...” [Al-Maa-idah: 3]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah Azza wa Jalla terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا

“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [Al-An’aam: 115]

Maksudnya benar dalam kabar yang disampaikan, dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...” [Al-Maa-idah: 3]

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia merupakan agama yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla. Karenanya Allah mengutus Rasul yang paling utama dan karenanya pula Allah menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur-an).

Mengenai firman-Nya : اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu.” ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah telah mengabarkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman bahwa Allah telah menyempurnakan keimanan kepada mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah tidak akan pernah menguranginya, bahkan Allah telah meridhainya, sehingga Allah tidak akan memurkainya, selamanya.”

Asbath mengatakan, dari as-Suddi, “Ayat ini turun pada hari ‘Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun, yang menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kembali dan setelah itu beliau wafat.”

Ibnu Jarir dan beberapa ulama lainnya mengatakan, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal dunia setelah hari ‘Arafah, yaitu setelah 81 hari.” Keduanya telah diriwayatkan Ibnu Jarir. Selanjutnya ia menceritakan, Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada kami, Ibnu Fudhail menceritakan kepada kami, dari Harun bin Antarah, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika turun ayat: اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” Yaitu pada haji akbar (besar), maka ‘Umar Radhiyallahu anhu menangis, lalu Nabi Shalalllahu 'alaihi wa salalm bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” ‘Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku menangis disebabkan selama ini kita berada dalam penambahan agama kita. Tetapi jika telah sempurna, maka tidak ada sesuatu yang sempurna melainkan akan berkurang.” Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Engkau benar.”

Pengertian tersebut diperkuat oleh sebuah hadits yang menegaskan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْبًا، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ.

“Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana permulaannya, maka berbahagialah orang-orang yang asing.” [1]

Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari itu (hari turunnya ayat itu) sebagai Hari Raya.’ ‘Ayat yang mana?’ tanya ‘Umar Radhiyallahu anhu. Orang Yahudi itu berkata, ‘Yaitu firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

‘… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ...’ [Al-Maa-idah: 3]

Maka ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, ‘Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diturunkannya ayat itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu di ‘Arafah pada hari Jum’at.’”[2]

Demikianlah akhir dari penjelasan Imam Ibnu Katsir.[3]

A. Allah Azza wa Jalla Telah Menjelaskan Ushul dan Furu’ Agama Dalam al-Qur-an [4]
Anda tentu tahu bahwa Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam Al-Qur-an tentang ushul (pokok-pokok) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya, sampai tentang bergaul dengan sesama manusia seperti adab (tata krama) pertemuan, tata cara minta izin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berlapang-lapanglah dalam majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu...” [Al-Mujaadilah: 11]

Dan firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَا أَحَدًا فَلَا تَدْخُلُوهَا حَتَّىٰ يُؤْذَنَ لَكُمْ ۖ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا ۖ هُوَ أَزْكَىٰ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Dan jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, ‘’Kembalilah !’ Maka (hendaklah) kamu kembali. Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [An-Nuur: 27-28]

Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan pula kepada kita dalam Al-Qur-an tentang kewajiban wanita muslimah untuk memakai jilbab (busana muslimah) yang sesuai dengan syari’at.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Ahzaab: 59]

Juga firman-Nya:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

“… Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...” [An-Nuur : 31]

Allah juga telah menjelaskan kepada kita tentang adab masuk rumah, sebagaimana firman-Nya:

ۗ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَن تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِن ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا

“… Dan bukanlah suatu kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang bertakwa, dan masukilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya ...” [Al-Baqarah: 189]

Dan masih banyak lagi ayat seperti ini. Dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah agama yang sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak boleh ditambahi dan tidak boleh dikurangi. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla tentang al-Qur-an:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

“… Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu ...” [An-Nahl: 89]

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia baik yang menyangkut masalah kehidupan di akhirat maupun masalah kehidupan di dunia, kecuali telah dijelaskan Allah Azza wa Jalla di dalam Al-Qur-an secara tegas atau dengan isyarat, secara tersurat maupun tersirat.

Adapun firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلَّا أُمَمٌ أَمْثَالُكُم ۚ مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

“Dan tidak ada seekor binatangpun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Al-Kitab. Kemudian kepada Rabb-lah mereka dikumpulkan.” [Al-An’aam: 38]

Ada yang menafsirkan “Al-Kitab” di sini adalah Al-Qur-an, padahal sebenarnya yang dimaksud yaitu “Lauh Mahfuzh”. Karena apa yang dinyatakan oleh Allah Azza wa Jalla tentang al-Qur-an dalam firman-Nya: “Dan Kami turunkan kepadamu kitab (Al-Qur-an) untuk menjelaskan segala sesuatu,” lebih tegas daripada yang dinyatakan dalam firman-Nya: “Tidaklah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab”.

Mungkin ada orang yang bertanya: “Adakah ayat di dalam Al-Qur-an yang menjelaskan jumlah shalat lima waktu berikut bilangan raka’at tiap-tiap shalat? Bagaimanakah dengan firman Allah Azza wa jalla yang menjelaskan bahwa Al-Qur-an diturunkan untuk menerangkan segala sesuatu, padahal kita tidak menemukan ayat yang menjelaskan bilangan raka’at tiap-tiap shalat ?”

Jawabnya: Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan di dalam Al-Qur-an bahwasanya kita diwajibkan mengambil dan mengikuti segala apa yang telah disabdakan dan dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ

“Barangsiapa yang mentaati Rasul (Muhammad) maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah…” [An-Nisaa’: 80]

Juga firman-Nya:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“… Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ...” [Al-Hasyr: 7]

Maka segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya al-Qur-an telah menunjukkannya pula. Karena Sunnah termasuk juga wahyu yang diturunkan dan diajarkan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

“… Dan (juga karena) Allah telah menurunkan al-Kitab (Al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) kepadamu ...” [An-Nisaa’: 113]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ...

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya (yaitu As-Sunnah) bersamanya.” [5]

Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam Sunnah, maka sebenarnya telah disebutkan pula dalam Al-Qur-an.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim dalam Kitabul Iman (no. 145 (232)) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 45, 4407, 4606, 7268) dan Muslim (no. 3017 (5)), dari Thariq bin Shihab Radhiyallahu anhu.
[3]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/15-16), cet I, Maktabah Daarus Salam th. 1413 H.
[4]. Sub bahasan ini dinukil dari kutaib al-Ibdaa’ fi Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtidaa’ oleh Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.
[5]. HR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131), dari Shahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib.

Sumber : Almanhaj.or.id

Jumat, 22 Januari 2016

Syarat Di Terimanya Amal Ibadah

14.10 Posted by Unknown , , , No comments

Dua Syarat Diterimanya Ibadah

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Agar ibadah diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:
  1. Ikhlas karena Allah.
  2. Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’).
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amalan ibadah menjadi tertolak. Berikut kami sampaikan bukti-buktinya dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Perkataan Sahabat.
Dalil Al Qur’an
Dalil dari dua syarat di atas disebutkan sekaligus dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[1]
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[2]
Dalil dari Al Hadits
Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits. Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)”.[3]

Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[4]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”[5]
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”[6]
Di kitab yang sama, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna (tidak akan diterima, pen) kecuali terpenuhi dua hal:
  1. Amalan tersebut secara lahiriyah (zhohir) mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.
  2. Amalan tersebut secara batininiyah diniatkan ikhlas mengharapkan wajah Allah. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Umar ‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat’.”[7]
Perkataan Sahabat
Para sahabat pun memiliki pemahaman bahwa ibadah semata-mata bukan hanya dengan niat ikhlas, namun juga harus ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai dalilnya, kami akan bawakan dua atsar dari sahabat.

Pertama: Perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”[8]
Kedua: Kisah ‘Abdullah bin Mas’ud.
Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.

Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”[9]
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- meyakini bahwa niat baik semata-mata tidak cukup. Namun ibadah bisa diterima di sisi Allah juga harus mencocoki teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa ibadah baik itu shalat, puasa, dan dzikir semuanya haruslah memenuhi dua syarat diterimanya ibadah yaitu ikhlas dan mencocoki petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sehingga tidaklah tepat perkataan sebagian orang ketika dikritik mengenai ibadah atau amalan yang ia lakukan, lantas ia mengatakan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing”. Ingatlah, tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga kaedah yang benar “Niat baik semata belum cukup.”

Sebab-sebab Munculnya Amalan Tanpa Tuntunan
Pertama: Tidak memahami dalil dengan benar.
Kedua: Tidak mengetahui tujuan syari’at.
Ketiga: Menganggap suatu amalan baik dengan akal semata.
Keempat: Mengikuti hawa nafsu semata ketika beramal.
Kelima: Berbicara tentang agama tanpa ilmu dan dalil.
Keenam: Tidak mengetahui manakah hadits shahih dan dho’if (lemah), mana yang bisa diterima dan tidak.
Ketujuh: Mengikuti ayat-ayat dan hadits yang masih samar.
Kedelapan: Memutuskan hukum dari suatu amalan dengan cara yang keliru, tanpa petunjuk dari syari’at.
Kesembilan: Bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap person tertentu. Jadi apapun yang dikatakan panutannya (selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), ia pun ikuti walaupun itu keliru dan menyelisih dalil.[10]
Inilah di antara sebab munculnya berbagai macam amalan tanpa tuntunan (baca: bid’ah) di sekitar kita.

Demikian pembahasan kami mengenai dua syarat diterimanya ibadah. Insya Allah, untuk pembahasan-pembahasan berikutnya di rubrik “Jalan Kebenaran”, kita akan memahami lebih jauh tentang bid’ah. Semoga Allah memudahkannya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel : rumaysho.com

[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.
[2] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rojab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.
[3] HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907.
[4] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718.
[5] HR. Muslim no. 1718.
[6] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77.
[7] Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 20.
[8] Diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, 2/212/2 dan Al Lalika’i dalam As Sunnah (1/21/1) secara mauquf (sampai pada sahabat) dengan sanad yang shahih. Lihat Ahkamul Janaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 285, Maktabah Al Ma’arif, cetakan pertama, tahun 1412 H.
[9] HR. Ad Darimi no. 204 (1/79). Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayyid. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (5/11) mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[10] Disarikan dari Al Bida’ Al Hauliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At Tuwaijiri, hal. 37-68, Darul Fadhilah, cetakan pertama, 1421 H.

 

Senin, 18 Januari 2016

Bantahan untukmu yang mengatakan : "Semakin panjang jenggot semakin goblok !"

04.13 Posted by Unknown , No comments

Siapa anda wahai kyai ?!

Artikel ini diambil dari situs www.firanda.com yang berjudul : "Goblok karena berjenggot ?"

Dunia Islam Indonesia dihebohkan dengan pernyataan Ketua PBNU Bpk Kiyai Sa'id Aqil Sirooj –semoga Allah memberi petunjuk kepadanya- bahwa "Berjenggot itu mengurangi kecerdasan seseorang. Semakin panjang jenggot, semakin goblok…!!"

Renungkan poin-poin berikut :

Pertama : Imam Ghozali berkata :

وقال شريح القاضي : وَدِدْتُ أَنَّ لِي لَحْيَةً وَلَوْ بَعَشْرَةِ آلاَفٍ

"Syuraih Al-Qoodhli berkata : "Aku berharap kalau aku memiliki jenggot, meskipun harus membayar 10 ribu dinar/dirham" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)

Al-Gozali juga berkata :

قال أصحاب الأحنف بن قيس وددنا أن نشتري للأحنف لحية ولو بعشرين ألفًا

"Para sahabat Al-Ahnaf bin Qois berkata, "Kami berangan-angan untuk membelikan jenggot buat Al-Ahnaf meskipun harus membayar 20 ribu dinar/dirham" (Ihyaa 'Uluum ad-Diin 2/257)

Para ulama yang tidak berjenggot dahulu ternyata berangan-angan untuk memiliki jenggot meskipun harus membayar mahal sekali !!!

Apakah mereka begitu bodohnya harus membayar mahal untuk membeli "kegoblokan"??!

Kedua : Sebenarnya kelaziman dari pernyataan pak Kiyai ini sungguh berbahaya karena terlalu banyak orang yang akan dianggap goblok menurut "Kaidah" pak Kiyai tersebut. Dan diantara daftar orang-orang goblok tersebut adalah para Nabi dan para ulama.

Bukankah jenggot Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tebal?

Jabir bin Samuroh berkata :

وَكَانَ كَثِيْرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebat rambut janggutnya" (HR Muslim no 2344)

Padahal kaidah pak Kiyai semakin berat jenggot semakin menimbulkan kebodohan, karena saraf tertarik ke bawah oleh lebatnya jenggot.

Bahkan para sahabat mengetahui bacaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam sholat sirriah dengan gerakan-gerakan jenggot beliau.

عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ قَالَ سَأَلْنَا خَبَّابًا أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَالَ نَعَمْ قُلْنَا بِأَيِّ شَيْءٍ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ قَالَ بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ

Dari Abu Ma'mar ia berkata : Kami bertanya kepada Khobbab –radhiallahu 'nhu- apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca qiroah tatkala sholat dzuhur dan ashar?. Khobbab berkata : "Iya". Kami berkata, "Bagaimana caranya kalian mengetahui bahwa Nabi membaca?", Khobbab berkata, "Dengan gerakan jenggot beliau" (HR Al-Bukhari 760)

Demikian juga Nabi Harun 'alaihis salam, Allah berfirman :

قَالَ يَبۡنَؤُمَّ لَا تَأۡخُذۡ بِلِحۡيَتِي وَلَا بِرَأۡسِيٓۖ إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقۡتَ بَيۡنَ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ وَلَمۡ تَرۡقُبۡ قَوۡلِي

Harun berkata (kepada Nabi Musa) "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku" (QS Toha : 94)

Ini dalil yang tegas bahwa jenggot Nabi Harun 'alaihis salam panjang, sehingga bisa dipegang oleh Nabi Musa 'alaihis salam.

Ayat ini menunjukkan bahwa jenggot bukan ciri khas budaya Arab, bahkan para nabi dari kalangan bani Israil yang sama sekali bukan orang Arab juga berjenggot.

Ketiga : Bahkan kita dapati kaum Nashrani juga tatkala menggambarkan nabi Isa 'alaihis salaam (yang dianggap tuhan oleh mereka) ternyata selalu berjenggot. Apakah ini berarti bahwa kaum Nashrani sepakat bahwa "Tuhan mereka ternyata goblok?", yang hal ini melazimkan bahwa kaum Nashrani pada goblok semua karena telah bersepakat untuk menjadikan orang goblok sebagai Tuhan !!

Keempat : Anehnya ternyata para ulama –terutama Imam Asy-Syafi'i dan para ulama madzhab syafi'i, demikian juga madzhab-madzhab yang lain- telah ijmak (sepakat ) akan larangan mencukur jenggot hingga gundul habis. (silahkan baca http://firanda.com/index.php/artikel/fiqh/437-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-ditinggalkan-oleh-sebagian-pengikutnya)

Maka berarti para ulama telah bersepakat untuk memelihara kegoblokan dan bersepakat untuk menghalangi kecerdasan. Karena menurut pak Kyai semakin habis jenggot semakin mendukung kecerdasan !!!

Kelima : Tokoh-tokoh Nusantara pun banyak. Ada Muhammad Yasin Al-Fadani, Nawawi Al-Bantani, Agus Salim, Ahmad Dahlan, Buya Hamka, sampai KH. Hasyim Asy’ari – pendiri NU – juga berjenggot. Ya, mereka tetap memelihara jenggot meski jenggot mereka tidak selebat keturunan Arab

Keenam :  Demikian juga banyak tokoh-tokoh non muslim yang berjenggot bahkan yang disembah, contohnya Khong hu cu dan Lao Tse.

Demikian juga tokoh-tokoh ilmuan non muslim seperti James Parkinson (1755 –1824), William Edmond Logan (1798 –1875), Asa Gray (1810 - 1888), John Strong Newberry (1822 – 1892), John Tyndall (1820 – 1893), Alfred Bernhard Nobel (1833 – 1896), John Wesley Powell (1834 – 1902), Ludwig Eduard Boltzmann (1844 – 1906), Dmitri Ivanovich Mendeleev (1834 – 1907), Henry Clifton Sorby (1826 - 1908), Grove Karl Gilbert (1843 –1918), Pyotr Alexeyevich Kropotkin (1842 – 1921), Alexander Graham Bell (1847 – 1922), Wilhelm Conrad Röntgen (1845 – 1923), dan masih banyak lagi; ini semua adalah para ilmuwan non-Islam yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan berjenggot (baca http://abul-jauzaa.blogspot.com/2015/09/tragedi-banyolan-pak-kiyai.html)

Ketujuh : Tokoh-tokoh Nusantara yang dianggap sangat cerdas oleh pak kyai karena tidak berjenggot, seperti Fulan, Fulan dan Fulan ternyata diantara mereka saking cerdasnya beraliran Liberal dan Pluralisme. Saking cerdasnya ada yang menyatakan jilbab tidak wajib dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam tidak dijamin masuk surga. Atau ada yang menyatakan bahwa semua agama masuk surga (termasuk Yahudi dan Nashrani, Buda dan Hindu). Demikian juga ada yang menyatakan bahwa al-Qur'an adalah kitab porno dll??

Inikah ukuran kecerdasan menurut pak Kiyai??

Kedelapan : Sebenarnya pernyataan bahwa semakin panjang jenggot semakin goblok itu berdasarkan praduga ataukah berdasarkan disiplin ilmu tertentu, baik di bidang kedokteran, atau ahli saraf, atau ahli agama, atau ahli-ahli yang lainnya disertai penelitian, sensus, dan penjelasan ilmiah?.

Adapun yang diriwayatkan dari sebagian ulama bahwasanya panjangnya jenggot adalah tanda kebodohan (sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya "Akhbaar al-Hamqoo wa al-Mughoffalin)" maka :

(1). Maksudnya yang dicela adalah jenggot yang terlalu panjang yang berlebihan, sehingga melebihi panjang ukuran genggaman tangan.

Ibnu Jauzi rahimahullah berkata :

قال زياد ابن ابيه : مَا زَادَتْ لِحْيَةُ رَجُلٍ عَلَى قَبْضَتِهِ إِلاَّ كَانَ مَا زَادَ فِيْهَا نَقْصًا مِنْ عَقْلِهِ

قال بعض الشعراء :

إِذَا عَرِضَتْ لِلْفَتَى لِحْيَةٌ ... وَطَالَتْ فَصَارَتْ إِلَى سُرَّتِهْ

فَنُقْصَانُ عَقْلِ الْفَتَى عِنْدَنَا ...  بِمِقْدَارِ مَا زَادِ فِى لِحْيَتِهْ

"Berkata Ziyad bin Abihi : "Tidaklah panjang jenggot seseorang melebihi ukuran genggaman tangannya kecuali kelebihan panjang tersebut semakin mengurangi akalnya"

Sebagian penyair berkata :

"Jika melebar jenggot seorang pemuda dan panjang hingga ke pusarnya…

Maka di sisi kami kurangnya akal sang pemuda sesuai kadar apa yang lebih pada jenggotnya" (Akhbaar Al-Hamqoo wa al-Mughoffalin 32-33)

(2) Lalu apakah pantas kita menjadikan perkataan segelintir kecil para ahli adab atau para ulama untuk menghukum hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?. Para ulama sendiri telah berselisih tentang memotong jenggot jika telah lebih panjang dari ukuran genggaman tangan. Dan yang dikuatkan oleh Al-Imam An-Nawawi adalah makruh memotong jenggot sedikitpun meskipun telah panjang melebihi ukuran genggaman tangan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

والصحيح كراهة الاخذ منها مطلقا بل يتركها على حالها كيف كانت، للحديث الصحيح واعفوا اللحي. وأما الحديث عمرو بن شعيب عن ابيه عن جده “ان النبي صلي الله عليه وسلم كان يأخذ من لحيته من عرضها وطولها” فرواه الترمذي باسناد ضعيف لا يحتج به

"Yang benar adalah dibencinya perbuatan memangkas jenggot secara mutlak (meskipun jenggot telah panjang dan lebih dari segenggam tangan-pen), tapi harusnya ia membiarkan apa adanya, karena adanya hadits shohih “biarkanlah jenggot panjang“. Adapun haditsnya Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “bahwa Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengambil jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya”, maka hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang lemah dan  tidak bisa dijadikan hujjah. (al-Majmu’ 1/343)

Imam An-Nawawi juga berkata :

والمختار ترك اللحية على حالها وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلا

"Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot apa adanya, dan tidak dicukur sama sekali" (Al-Minhaaj Syarah Shohih Muslim, 3/151, hadits no: 260)

(3) Apakah yang disebutkan dalam kitab Akhbaar Al-Hamqoo wal Mugaffaliin lantas dibenarkan dan dijadikan rujukan?

Diantara sifat-sifat orang bodoh yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah : 1. Kecilnya kepala, 2. Pendeknya leher, 3. Kecilnya telinga, 4. Jika bentuk tubuhnya tidak seimbang, 5. Mata yang besar, 6. Adanya rambut di pundak dan di leher, 7. Rambut di dada dan perut, 8. Leher yang panjang dan tipis, 9. Hidung besar, 10. Bibir tebal, 11.Wajah yang sangat bulat, 12. Suara yang indah.

Coba kita pikirkan, seandainya kita membenarkan semua yang disebutkan dalam kitab Akhbaar Al-Hamqoo wal Mugoffaliin tentang sifat-sifat orang bodoh maka sungguh terlalu banyak orang bodoh diantara kita. Apalagi suara yang indah ciri orang bodoh? Sungguh terlalu banyak para imam, para muadzzin, para qori' yang bodoh??!

(4) Justru ternyata banyak ulama –terutama ulama madzhab Syafi'iyah- yang mencela orang yang mencukur habis jenggotnya !!.

Ibnu Rif'ah rahimahullah berkata:

إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية

Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)

Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj :

لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء

"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk (1) tindakan tercela, (2) syuhroh (tampil beda), dan (3) menyerupai wanita" (Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mulaqqin As-Syafi'I dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, terbitan Daarul 'Aaashimah 1/711)

Abul Hasan Al-Maawardi (wafat 450 H), ia berkata :

نَتْفُ اللِّحْيَةِ مِنَ السَّفَهِ الذي تُرَدُّ به الشهادة

Imam al-Mawardi -rohimahulloh- mengatakan: Mencabuti jenggot merupakan perbuatan safah (bodoh) yang menyebabkan persaksian seseorang ditolak. (al-Hawil Kabir 17/151)

Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :

وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال

"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)

Abu Syaamah rahimahullah berkata :

وقد حدث قوم يحلقون لحاهم, وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها

"Telah datang sekelompok kaum yang menggunduli jenggotnya, perbuatan mereka itu lebih parah dari apa yang dinukil dari kaum Majusi, bahwa mereka dulu memendekkannya". (Fathul Bari 10/351)

Kesembilan : Pak Kiyai sendiri disinyalir waktu masa muda pernah gagah berjenggot, apakah waktu itu pak Kiyai sedang "tidak cerdas"?,

Kesepuluh : Jika pak Kiyai lebih memilih tidak berjenggot maka silahkan saja, tapi tentu tidak perlulah mengejek yang berjenggot dengan menyatakan mereka goblok.

Saya tutup renungan ini dengan dua nasehat dari dua firman Allah

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَ‍َٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Maidah : 8)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. (QS Al-Hujuraat : 11)

Jangan kita mengejek orang lain dengan "goblok" karena bisa jadi kita lebih "goblok".

Siapa anda wahai kyai ?!
 
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 01-12-1436 H / 15-09-2015 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Biografi al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

03.14 Posted by Unknown , 19 comments
Alhamdulillah ya akhi bahwa ana termasuk diantara yang dekat dengan beliau yaitu al ustadz Abdul hakim bin Amir Abdat hafizhahullah dari sekian banyak kaum muslimin dinegri ini. Dan wajib bagi ana ya akhi untuk menceritakan sebagian tentang riwayat beliau yang ana ketahui karena ana adalah diantara orang yang mengetahui atau mendapatkan kisah dari beliau apa yang kaum muslimin yang lain tidak mengetahuinya agar mereka tahu dan dapat berpijak dengan ilmu dan keadilan tentang seorang yang telah banyak berjasa dalam menyebarkan dakwah sunnah, dakwah salafiyah mubarakah di negri tercinta ini.

Ada banyak kisah-kisah menarik dan penuh dengan ibrah sebenarnya yang ingin ana ceritakan dari kisah perjalanan ilmiyah beliau dalam menuntut ilmu syar’i. Yang mana kisah-kisah tersebut penuh dengan pelajaran untuk kita sekalian, dan yang akan paling dapat merasakan bagian terbesar dari pelajaran tersebut adalah para “pelajar ilmiyyah” yaitu yang mengkhususkan diri-diri mereka untuk menuntut ilmu agama Allah secara lebih tafsil.

Yang kisah tersebut ana dan beberapa orang teman dapatkan langsung dari beliau ditempat dan waktu yang berbeda-beda ketika sedang bersama beliau, itu tadi yang ana jelaskan diawal karena kesempatan yang Allah berikan kepada ana dan sebagian ikhwan untuk dapat mempunyai hubungan yang lebih dari yang lain dengan beliau al ustadz yang kami cintai karena Allah.

Perlu antum sekalian ketahui akhi yang dimuliakan oleh Allah atas sebab Islam , bahwa kecintaan beliau terhadap ilmu islam adalah semenjak beliau masih kanak-kanak yakni dibangku sekolah dasar yang merupakan pendidikan formal satu-satunya yang beliau lalui. Oleh karena itu beliau pernah mengatakan di majelis hadits shahih bukhari yang beliau pimpin yang maknanya bahwa beliau hanyalah lulusan S1 yaitu SD karena “S”nya cuma satu.

Akan tetapi bukankah jalan menempuh ilmu itu banyak yang pada zaman ini telah disempitkan oleh sebagian manusia dimana mereka mengatakan bahwa kalau seseorang itu tidak memiliki gelar-gelar dari pendidikan formal maka dia bukan orang yang berpendidikan meskipun telah jelas sekali dihadapan matanya akan luasnya ilmu orang tersebut.

Maka beliau memutuskan untuk fokus menuntut ilmu syar’i setelah selesai beliau dibangku sekolah dasar. Perlu antum ketahui akhi bahwa keputusan beliau untuk memfokuskan menuntut ilmu syar’i adalah atas dasar prinsip beliau sendiri yang ketika itu masih anak-anak, namun SUBHANALLAH beliau sudah memiliki prinsip yang seperti itu bahkan semenjak sekolah dasar.

Beliaupun sudah mempunyai prinsip yang kuat yang diterapkan oleh seorang yang masih kanak-kanak pada waktu itu yaitu beliau tidak mau mengikuti pelajaran yang sekiranya tidak bermanfaat buat beliau seperti kalau sekarang namanya pelajaran ppkn dan beberapa pelajaran yang lainnya.

Maka beliau tidak lanjutkan pendidikan beliau ke jenjang formal SMP, namun beliau memilih untuk mendalami ilmu agama yang pada awal perjalanan beliau belajar disalah satu pesantren milik seorang kiyai terkenal di jakarta yaitu kyai Abdullah Syafi’i yang merupakan guru-guru awal beliau, namun beliau oleh ayahnya tidak di izinkan untuk berasrama dipesantren tersebut.

Akan tetapi ayahnya meminta kepada pihak pesantren agar beliau pulang pergi saja agar ayahnya lebih dapat mengurus keperluan beliau dengan lebih baik. Maka belajarlah beliau disana sampai karena suatu sebab beliau tidak belajar lagi di tempat tersebut dan pindah ke tempat yang lain di jakarta juga yang saat ini tempat tersebut telah menjadi masjid Istiqlal yang pada saat beliau belajar belum di bangun.

Dan beliau mengatakan bahwa beliau bersyukur kepada Allah bahwa beliau tidak belajar terus ditempat belajar beliau yang pertama, karena kalau sampai terus disana mungkin beliau akan berada diatas pemahaman quburiyyun dan kesesatan dalam beragama seperti umumnya pemahaman islam di negri kita ini.

Maka ditempat barunya ini beliau nampak sekali kecerdasan beliau sehingga beliau selalu loncat langsung ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga beliau mengatakan yang maknanya bahwa “saya adalah yang paling kecil diantara teman-teman belajar saya”.

Beliau pernah pada saat kewafatan ibunda beliau beberapa tahun lalu tepatnya ketika khutbah kematian setelah dikuburkan jenazah ibunda beliau ke dalam tanah, maka beliau langsung berkhutbah dan ada disalah satu yang beliau sampaikan di khutbah tersebut yang membuat beliau sangat sedihnya dan mulai berlinang airmata beliau dan juga air mata para ikhwan yang hadir yang mendengarkan khutbah yang sangat bagus dan bermanfaat tersebut tentang hakikat kematian yaitu beliau menceritakan tentang jasa ibunda beliau yang membelikan kepada beliau kitab shahih muslim yang merupakan kitab hadits pertama yang beliau miliki atas hadiah dari ibunda beliau. Kitab tersebut masih ada sampai saat ini pada beliau dan telah berumur tua.

Beliau mengatakan bahwa itulah di antara sebab yang mengantarkan beliau cinta kepada hadits-hadits musthafa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mulai mendalami ilmu hadits.

Kemudian ringkas kata dari kisah ini diantaranya juga beliau mendalami ilmu qira’at (bacaan qur’an) kepada salah seorang guru besar ahli qira’at di indonesia yang merupakan juri nasional dan internasional qira’at alqur’an pada waktu itu.

Beliaupun belajar sampai meninggal dunia guru tersebut. Beliau pernah ditawarkan oleh guru beliau tersebut untuk menjadi qari nasional namun beliau menolak dengan mengatakan secara baik-baik kepada guru beliau bahwa ajarkan saja saya ilmu tentang qira’at alqur’an.

Oleh karena itu dalam ilmu qira’at beliau memiliki ilmu yang cukup. Terkadang di dalam majelis beliau suka memberikan penjelasan sedikit berikut contohnya tentang macam baacan-bacaan alqur’an.

Kemudian beliau pernah menuturkan bahwa kalau ada seorang imam shalat kemudian pas kebetulan dibelakang imam tersebut ada guru qira’at beliau sebagai makmumnya, maka setelah shalat imam tersebut akan diberikan kritikan ilmiyyah tentang kesalahanya dalam bacaan qur’an dan rata-rata tidak ada yang lulus dari kesalahan, kata beliau.

Dan perlu antum sekalian ketahui akhi bahwa ada guru beliau yang paling berkesan bagi beliau dan amat beliau cintai dari guru-guru beliau yang lainnya, dia adalah sebagaimana dijelaskan oleh al ustadz merupakan ahli tafsir di negri kita ini yang sangat disegani oleh para kiayi dinegri ini.

Al ustadz belajar ilmu tafsir alqur’an kepada beliau bertahun-tahun sampai guru beliau meninggal dunia. Tahukah antum sekalian akhi bahwa sebelum mempelajari tafsir dengan sang guru maka yang dipelajari terlebih dahulu adalah pengantar ilmu tafsir qur’an dan itu selama beberapa tahun baru kemudian masuk kepada ilmu tafsir qur’an selama beberapa tahun sampai wafatnya guru beliau.

Maka senantiasa ana merasa heran kepada sebagian orang yang atas dasar ketidaktahuannya mengatakan bahwa al ustadz adalah orang yang belajar agama secara otodidak, seharusnya orang yang tidak tahu tugasnya adalah mencari tahu bukannya berbicara atas dasar kebodohannya dan malah menyebarkanya kepada manusia.

Maka sesungguhnya Allah akan membalas atas apa yang dilakukan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al -Israa ayat 33: “…sesungguhnya pendengaran penglihatan dan apa yang ada dalam hati akan dimintai pertanggungan jawabnya”.

Ada beberapa kisah yang menarik antara beliau dan guru tafsir beliau yang ingin ana ceritakan secara ringkas kepada antum sekalian.

Kisah Pertama bahwa guru beliau sebagaimana yang beliau ceritakan sangat pakar dalam tafsir qur’an akan tetapi lemah dalam ilmu hadits, karena tidak seorang alimpun yang sempurna ilmunya yang menguasai seluruh disiplin ilmu di dalam islam. Maka apabila guru beliau ingin mengajar atau berceramah dan membawakan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka ia meminta kepada al ustadz untuk terlebih dahulu memeriksa tentang keadaan hadits tersebut apakah sah atau tidak hadits yang akan guru beliau bawakan.

Kisah yang kedua adalah pada waktu itu beliau telah mulai banyak menulis risalah-risalah tentang permasalahan-permasalahan agama diantaranya tentang hadits, maka diantara risalah yang beliau tulis adalah mengenai hadits-hadits tentang ancaman berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (tulisan beliau ini di kemudian hari beliau masukan dalam kitab beliau diantaranya al masaail jilid yang pertama dengan judul ancaman berdusta atas nama rasulullah), maka tulisan beliau ini di baca oleh guru beliau dan guru beliau amat tertarik dengan tulisan beliau ini. Maka tanpa sepengetahuan beliau, guru beliau memfotokopikan tulisan beliau tersebut kemudian beliau bagikan kepada para kiayi di negri ini dalam rangka memberikan masukan ilmiyyah kepada para kiayi tentang permasalahan tersebut. Insya Allah bersambung akhi …

Judul asli :
Kisah Perjalanan Guru Yang Kami Cintai Karena Allah bag.1
 
sumber :

1. kiriman email dari facebook fakta salafi
Sumber: http://inilahfakta.wordpress.com/2011/01/30/kisah-perjalanan-guru-yang-kami-cintai-karena-allah-bag-1/

2. http://kitabdanherbal.blogspot.com/2011/02/biografi-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir.html

http://ahlussunnah-batang.blogspot.com/2011/03/biografi-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir.html
Alhamdulillah ya akhi bahwa ana termasuk diantara yang dekat dengan beliau yaitu al ustadz Abdul hakim bin Amir Abdat hafizhahullah dari sekian banyak kaum muslimin dinegri ini. Dan wajib bagi ana ya akhi untuk menceritakan sebagian tentang riwayat beliau yang ana ketahui karena ana adalah diantara orang yang mengetahui atau mendapatkan kisah dari beliau apa yang kaum muslimin yang lain tidak mengetahuinya agar mereka tahu dan dapat berpijak dengan ilmu dan keadilan tentang seorang yang telah banyak berjasa dalam menyebarkan dakwah sunnah, dakwah salafiyah mubarakah di negri tercinta ini. Ada banyak kisah-kisah menarik dan penuh dengan ibrah sebenarnya yang ingin ana ceritakan dari kisah perjalanan ilmiyah beliau dalam menuntut ilmu syar’i. Yang mana kisah-kisah tersebut penuh dengan pelajaran untuk kita sekalian, dan yang akan paling dapat merasakan bagian terbesar dari pelajaran tersebut adalah para “pelajar ilmiyyah” yaitu yang mengkhususkan diri-diri mereka untuk menuntut ilmu agama Allah secara lebih tafsil. Yang kisah tersebut ana dan beberapa orang teman dapatkan langsung dari beliau ditempat dan waktu yang berbeda-beda ketika sedang bersama beliau, itu tadi yang ana jelaskan diawal karena kesempatan yang Allah berikan kepada ana dan sebagian ikhwan untuk dapat mempunyai hubungan yang lebih dari yang lain dengan beliau al ustadz yang kami cintai karena Allah. Perlu antum sekalian ketahui akhi yang dimuliakan oleh Allah atas sebab Islam , bahwa kecintaan beliau terhadap ilmu islam adalah semenjak beliau masih kanak-kanak yakni dibangku sekolah dasar yang merupakan pendidikan formal satu-satunya yang beliau lalui. Oleh karena itu beliau pernah mengatakan di majelis hadits shahih bukhari yang beliau pimpin yang maknanya bahwa beliau hanyalah lulusan S1 yaitu SD karena “S”nya cuma satu. Akan tetapi bukankah jalan menempuh ilmu itu banyak yang pada zaman ini telah disempitkan oleh sebagian manusia dimana mereka mengatakan bahwa kalau seseorang itu tidak memiliki gelar-gelar dari pendidikan formal maka dia bukan orang yang berpendidikan meskipun telah jelas sekali dihadapan matanya akan luasnya ilmu orang tersebut. Maka beliau memutuskan untuk fokus menuntut ilmu syar’i setelah selesai beliau dibangku sekolah dasar. Perlu antum ketahui akhi bahwa keputusan beliau untuk memfokuskan menuntut ilmu syar’i adalah atas dasar prinsip beliau sendiri yang ketika itu masih anak-anak, namun SUBHANALLAH beliau sudah memiliki prinsip yang seperti itu bahkan semenjak sekolah dasar. Beliaupun sudah mempunyai prinsip yang kuat yang diterapkan oleh seorang yang masih kanak-kanak pada waktu itu yaitu beliau tidak mau mengikuti pelajaran yang sekiranya tidak bermanfaat buat beliau seperti kalau sekarang namanya pelajaran ppkn dan beberapa pelajaran yang lainnya. Maka beliau tidak lanjutkan pendidikan beliau ke jenjang formal SMP, namun beliau memilih untuk mendalami ilmu agama yang pada awal perjalanan beliau belajar disalah satu pesantren milik seorang kiyai terkenal di jakarta yaitu kyai Abdullah Syafi’i yang merupakan guru-guru awal beliau, namun beliau oleh ayahnya tidak di izinkan untuk berasrama dipesantren tersebut. Akan tetapi ayahnya meminta kepada pihak pesantren agar beliau pulang pergi saja agar ayahnya lebih dapat mengurus keperluan beliau dengan lebih baik. Maka belajarlah beliau disana sampai karena suatu sebab beliau tidak belajar lagi di tempat tersebut dan pindah ke tempat yang lain di jakarta juga yang saat ini tempat tersebut telah menjadi masjid Istiqlal yang pada saat beliau belajar belum di bangun. Dan beliau mengatakan bahwa beliau bersyukur kepada Allah bahwa beliau tidak belajar terus ditempat belajar beliau yang pertama, karena kalau sampai terus disana mungkin beliau akan berada diatas pemahaman quburiyyun dan kesesatan dalam beragama seperti umumnya pemahaman islam di negri kita ini. Maka ditempat barunya ini beliau nampak sekali kecerdasan beliau sehingga beliau selalu loncat langsung ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga beliau mengatakan yang maknanya bahwa “saya adalah yang paling kecil diantara teman-teman belajar saya”. Beliau pernah pada saat kewafatan ibunda beliau beberapa tahun lalu tepatnya ketika khutbah kematian setelah dikuburkan jenazah ibunda beliau ke dalam tanah, maka beliau langsung berkhutbah dan ada disalah satu yang beliau sampaikan di khutbah tersebut yang membuat beliau sangat sedihnya dan mulai berlinang airmata beliau dan juga air mata para ikhwan yang hadir yang mendengarkan khutbah yang sangat bagus dan bermanfaat tersebut tentang hakikat kematian yaitu beliau menceritakan tentang jasa ibunda beliau yang membelikan kepada beliau kitab shahih muslim yang merupakan kitab hadits pertama yang beliau miliki atas hadiah dari ibunda beliau. Kitab tersebut masih ada sampai saat ini pada beliau dan telah berumur tua. Beliau mengatakan bahwa itulah di antara sebab yang mengantarkan beliau cinta kepada hadits-hadits musthafa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mulai mendalami ilmu hadits. Kemudian ringkas kata dari kisah ini diantaranya juga beliau mendalami ilmu qira’at (bacaan qur’an) kepada salah seorang guru besar ahli qira’at di indonesia yang merupakan juri nasional dan internasional qira’at alqur’an pada waktu itu. Beliaupun belajar sampai meninggal dunia guru tersebut. Beliau pernah ditawarkan oleh guru beliau tersebut untuk menjadi qari nasional namun beliau menolak dengan mengatakan secara baik-baik kepada guru beliau bahwa ajarkan saja saya ilmu tentang qira’at alqur’an. Oleh karena itu dalam ilmu qira’at beliau memiliki ilmu yang cukup. Terkadang di dalam majelis beliau suka memberikan penjelasan sedikit berikut contohnya tentang macam baacan-bacaan alqur’an. Kemudian beliau pernah menuturkan bahwa kalau ada seorang imam shalat kemudian pas kebetulan dibelakang imam tersebut ada guru qira’at beliau sebagai makmumnya, maka setelah shalat imam tersebut akan diberikan kritikan ilmiyyah tentang kesalahanya dalam bacaan qur’an dan rata-rata tidak ada yang lulus dari kesalahan, kata beliau. Dan perlu antum sekalian ketahui akhi bahwa ada guru beliau yang paling berkesan bagi beliau dan amat beliau cintai dari guru-guru beliau yang lainnya, dia adalah sebagaimana dijelaskan oleh al ustadz merupakan ahli tafsir di negri kita ini yang sangat disegani oleh para kiayi dinegri ini. Al ustadz belajar ilmu tafsir alqur’an kepada beliau bertahun-tahun sampai guru beliau meninggal dunia. Tahukah antum sekalian akhi bahwa sebelum mempelajari tafsir dengan sang guru maka yang dipelajari terlebih dahulu adalah pengantar ilmu tafsir qur’an dan itu selama beberapa tahun baru kemudian masuk kepada ilmu tafsir qur’an selama beberapa tahun sampai wafatnya guru beliau. Maka senantiasa ana merasa heran kepada sebagian orang yang atas dasar ketidaktahuannya mengatakan bahwa al ustadz adalah orang yang belajar agama secara otodidak, seharusnya orang yang tidak tahu tugasnya adalah mencari tahu bukannya berbicara atas dasar kebodohannya dan malah menyebarkanya kepada manusia. Maka sesungguhnya Allah akan membalas atas apa yang dilakukan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al -Israa ayat 33: “…sesungguhnya pendengaran penglihatan dan apa yang ada dalam hati akan dimintai pertanggungan jawabnya”. Ada beberapa kisah yang menarik antara beliau dan guru tafsir beliau yang ingin ana ceritakan secara ringkas kepada antum sekalian. Kisah Pertama bahwa guru beliau sebagaimana yang beliau ceritakan sangat pakar dalam tafsir qur’an akan tetapi lemah dalam ilmu hadits, karena tidak seorang alimpun yang sempurna ilmunya yang menguasai seluruh disiplin ilmu di dalam islam. Maka apabila guru beliau ingin mengajar atau berceramah dan membawakan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka ia meminta kepada al ustadz untuk terlebih dahulu memeriksa tentang keadaan hadits tersebut apakah sah atau tidak hadits yang akan guru beliau bawakan. Kisah yang kedua adalah pada waktu itu beliau telah mulai banyak menulis risalah-risalah tentang permasalahan-permasalahan agama diantaranya tentang hadits, maka diantara risalah yang beliau tulis adalah mengenai hadits-hadits tentang ancaman berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (tulisan beliau ini di kemudian hari beliau masukan dalam kitab beliau diantaranya al masaail jilid yang pertama dengan judul ancaman berdusta atas nama rasulullah), maka tulisan beliau ini di baca oleh guru beliau dan guru beliau amat tertarik dengan tulisan beliau ini. Maka tanpa sepengetahuan beliau, guru beliau memfotokopikan tulisan beliau tersebut kemudian beliau bagikan kepada para kiayi di negri ini dalam rangka memberikan masukan ilmiyyah kepada para kiayi tentang permasalahan tersebut. Insya Allah bersambung akhi … Judul asli : Kisah Perjalanan Guru Yang Kami Cintai Karena Allah bag.1 sumber : 1. kiriman email dari facebook fakta salafi Sumber: http://inilahfakta.wordpress.com/2011/01/30/kisah-perjalanan-guru-yang-kami-cintai-karena-allah-bag-1/ 2. http://kitabdanherbal.blogspot.com/2011/02/biografi-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir.html

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu
Alhamdulillah ya akhi bahwa ana termasuk diantara yang dekat dengan beliau yaitu al ustadz Abdul hakim bin Amir Abdat hafizhahullah dari sekian banyak kaum muslimin dinegri ini. Dan wajib bagi ana ya akhi untuk menceritakan sebagian tentang riwayat beliau yang ana ketahui karena ana adalah diantara orang yang mengetahui atau mendapatkan kisah dari beliau apa yang kaum muslimin yang lain tidak mengetahuinya agar mereka tahu dan dapat berpijak dengan ilmu dan keadilan tentang seorang yang telah banyak berjasa dalam menyebarkan dakwah sunnah, dakwah salafiyah mubarakah di negri tercinta ini. Ada banyak kisah-kisah menarik dan penuh dengan ibrah sebenarnya yang ingin ana ceritakan dari kisah perjalanan ilmiyah beliau dalam menuntut ilmu syar’i. Yang mana kisah-kisah tersebut penuh dengan pelajaran untuk kita sekalian, dan yang akan paling dapat merasakan bagian terbesar dari pelajaran tersebut adalah para “pelajar ilmiyyah” yaitu yang mengkhususkan diri-diri mereka untuk menuntut ilmu agama Allah secara lebih tafsil. Yang kisah tersebut ana dan beberapa orang teman dapatkan langsung dari beliau ditempat dan waktu yang berbeda-beda ketika sedang bersama beliau, itu tadi yang ana jelaskan diawal karena kesempatan yang Allah berikan kepada ana dan sebagian ikhwan untuk dapat mempunyai hubungan yang lebih dari yang lain dengan beliau al ustadz yang kami cintai karena Allah. Perlu antum sekalian ketahui akhi yang dimuliakan oleh Allah atas sebab Islam , bahwa kecintaan beliau terhadap ilmu islam adalah semenjak beliau masih kanak-kanak yakni dibangku sekolah dasar yang merupakan pendidikan formal satu-satunya yang beliau lalui. Oleh karena itu beliau pernah mengatakan di majelis hadits shahih bukhari yang beliau pimpin yang maknanya bahwa beliau hanyalah lulusan S1 yaitu SD karena “S”nya cuma satu. Akan tetapi bukankah jalan menempuh ilmu itu banyak yang pada zaman ini telah disempitkan oleh sebagian manusia dimana mereka mengatakan bahwa kalau seseorang itu tidak memiliki gelar-gelar dari pendidikan formal maka dia bukan orang yang berpendidikan meskipun telah jelas sekali dihadapan matanya akan luasnya ilmu orang tersebut. Maka beliau memutuskan untuk fokus menuntut ilmu syar’i setelah selesai beliau dibangku sekolah dasar. Perlu antum ketahui akhi bahwa keputusan beliau untuk memfokuskan menuntut ilmu syar’i adalah atas dasar prinsip beliau sendiri yang ketika itu masih anak-anak, namun SUBHANALLAH beliau sudah memiliki prinsip yang seperti itu bahkan semenjak sekolah dasar. Beliaupun sudah mempunyai prinsip yang kuat yang diterapkan oleh seorang yang masih kanak-kanak pada waktu itu yaitu beliau tidak mau mengikuti pelajaran yang sekiranya tidak bermanfaat buat beliau seperti kalau sekarang namanya pelajaran ppkn dan beberapa pelajaran yang lainnya. Maka beliau tidak lanjutkan pendidikan beliau ke jenjang formal SMP, namun beliau memilih untuk mendalami ilmu agama yang pada awal perjalanan beliau belajar disalah satu pesantren milik seorang kiyai terkenal di jakarta yaitu kyai Abdullah Syafi’i yang merupakan guru-guru awal beliau, namun beliau oleh ayahnya tidak di izinkan untuk berasrama dipesantren tersebut. Akan tetapi ayahnya meminta kepada pihak pesantren agar beliau pulang pergi saja agar ayahnya lebih dapat mengurus keperluan beliau dengan lebih baik. Maka belajarlah beliau disana sampai karena suatu sebab beliau tidak belajar lagi di tempat tersebut dan pindah ke tempat yang lain di jakarta juga yang saat ini tempat tersebut telah menjadi masjid Istiqlal yang pada saat beliau belajar belum di bangun. Dan beliau mengatakan bahwa beliau bersyukur kepada Allah bahwa beliau tidak belajar terus ditempat belajar beliau yang pertama, karena kalau sampai terus disana mungkin beliau akan berada diatas pemahaman quburiyyun dan kesesatan dalam beragama seperti umumnya pemahaman islam di negri kita ini. Maka ditempat barunya ini beliau nampak sekali kecerdasan beliau sehingga beliau selalu loncat langsung ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga beliau mengatakan yang maknanya bahwa “saya adalah yang paling kecil diantara teman-teman belajar saya”. Beliau pernah pada saat kewafatan ibunda beliau beberapa tahun lalu tepatnya ketika khutbah kematian setelah dikuburkan jenazah ibunda beliau ke dalam tanah, maka beliau langsung berkhutbah dan ada disalah satu yang beliau sampaikan di khutbah tersebut yang membuat beliau sangat sedihnya dan mulai berlinang airmata beliau dan juga air mata para ikhwan yang hadir yang mendengarkan khutbah yang sangat bagus dan bermanfaat tersebut tentang hakikat kematian yaitu beliau menceritakan tentang jasa ibunda beliau yang membelikan kepada beliau kitab shahih muslim yang merupakan kitab hadits pertama yang beliau miliki atas hadiah dari ibunda beliau. Kitab tersebut masih ada sampai saat ini pada beliau dan telah berumur tua. Beliau mengatakan bahwa itulah di antara sebab yang mengantarkan beliau cinta kepada hadits-hadits musthafa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mulai mendalami ilmu hadits. Kemudian ringkas kata dari kisah ini diantaranya juga beliau mendalami ilmu qira’at (bacaan qur’an) kepada salah seorang guru besar ahli qira’at di indonesia yang merupakan juri nasional dan internasional qira’at alqur’an pada waktu itu. Beliaupun belajar sampai meninggal dunia guru tersebut. Beliau pernah ditawarkan oleh guru beliau tersebut untuk menjadi qari nasional namun beliau menolak dengan mengatakan secara baik-baik kepada guru beliau bahwa ajarkan saja saya ilmu tentang qira’at alqur’an. Oleh karena itu dalam ilmu qira’at beliau memiliki ilmu yang cukup. Terkadang di dalam majelis beliau suka memberikan penjelasan sedikit berikut contohnya tentang macam baacan-bacaan alqur’an. Kemudian beliau pernah menuturkan bahwa kalau ada seorang imam shalat kemudian pas kebetulan dibelakang imam tersebut ada guru qira’at beliau sebagai makmumnya, maka setelah shalat imam tersebut akan diberikan kritikan ilmiyyah tentang kesalahanya dalam bacaan qur’an dan rata-rata tidak ada yang lulus dari kesalahan, kata beliau. Dan perlu antum sekalian ketahui akhi bahwa ada guru beliau yang paling berkesan bagi beliau dan amat beliau cintai dari guru-guru beliau yang lainnya, dia adalah sebagaimana dijelaskan oleh al ustadz merupakan ahli tafsir di negri kita ini yang sangat disegani oleh para kiayi dinegri ini. Al ustadz belajar ilmu tafsir alqur’an kepada beliau bertahun-tahun sampai guru beliau meninggal dunia. Tahukah antum sekalian akhi bahwa sebelum mempelajari tafsir dengan sang guru maka yang dipelajari terlebih dahulu adalah pengantar ilmu tafsir qur’an dan itu selama beberapa tahun baru kemudian masuk kepada ilmu tafsir qur’an selama beberapa tahun sampai wafatnya guru beliau. Maka senantiasa ana merasa heran kepada sebagian orang yang atas dasar ketidaktahuannya mengatakan bahwa al ustadz adalah orang yang belajar agama secara otodidak, seharusnya orang yang tidak tahu tugasnya adalah mencari tahu bukannya berbicara atas dasar kebodohannya dan malah menyebarkanya kepada manusia. Maka sesungguhnya Allah akan membalas atas apa yang dilakukan manusia sebagaimana firman-Nya dalam surat al -Israa ayat 33: “…sesungguhnya pendengaran penglihatan dan apa yang ada dalam hati akan dimintai pertanggungan jawabnya”. Ada beberapa kisah yang menarik antara beliau dan guru tafsir beliau yang ingin ana ceritakan secara ringkas kepada antum sekalian. Kisah Pertama bahwa guru beliau sebagaimana yang beliau ceritakan sangat pakar dalam tafsir qur’an akan tetapi lemah dalam ilmu hadits, karena tidak seorang alimpun yang sempurna ilmunya yang menguasai seluruh disiplin ilmu di dalam islam. Maka apabila guru beliau ingin mengajar atau berceramah dan membawakan hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka ia meminta kepada al ustadz untuk terlebih dahulu memeriksa tentang keadaan hadits tersebut apakah sah atau tidak hadits yang akan guru beliau bawakan. Kisah yang kedua adalah pada waktu itu beliau telah mulai banyak menulis risalah-risalah tentang permasalahan-permasalahan agama diantaranya tentang hadits, maka diantara risalah yang beliau tulis adalah mengenai hadits-hadits tentang ancaman berdusta atas nama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (tulisan beliau ini di kemudian hari beliau masukan dalam kitab beliau diantaranya al masaail jilid yang pertama dengan judul ancaman berdusta atas nama rasulullah), maka tulisan beliau ini di baca oleh guru beliau dan guru beliau amat tertarik dengan tulisan beliau ini. Maka tanpa sepengetahuan beliau, guru beliau memfotokopikan tulisan beliau tersebut kemudian beliau bagikan kepada para kiayi di negri ini dalam rangka memberikan masukan ilmiyyah kepada para kiayi tentang permasalahan tersebut. Insya Allah bersambung akhi … Judul asli : Kisah Perjalanan Guru Yang Kami Cintai Karena Allah bag.1 sumber : 1. kiriman email dari facebook fakta salafi Sumber: http://inilahfakta.wordpress.com/2011/01/30/kisah-perjalanan-guru-yang-kami-cintai-karena-allah-bag-1/ 2. http://kitabdanherbal.blogspot.com/2011/02/biografi-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir.html

Copy the BEST Traders and Make Money : http://bit.ly/fxzulu

Minggu, 17 Januari 2016

AKHIRNYA KUGAPAI HIDAYAH (Kisah nyata Ustadz Zainal Abidin, Lc)

17.50 Posted by Unknown , No comments

Oleh Ustadz Zainal Abidin, Lc.

Dahulu aku gemar baca kitab Barzanji dan Daiba’.
Dahulu aku tukang Tahlilan dan Yasinan.
Dahulu aku pelopor pemuda dan pemudi untuk acara Maulidan dan Nuzul Qur’an.
Berbagai jimat dan barang betuang aku kumpulkan dengan harapan mendapat kesaktian. Dengan bekal itu katanya bisa sukses dalam berdakwah.
Akhirnya orang pintar alias dukun aku banggakan. Baju onto kusumo, wesi kuning, keris nabi Adam, watu Kul Buntet, Cincin nabi Sulaiman dan berbagai jimat aku rawat baik-baik.
Agar aku bisa mendapat kesaktian, aku belajar ngelmu (angel ditemu) karomah dengan menghidupkan dulur limo

ADI ARI-ARI
KAKANG KAWAH
SUKMO SEJATI
RUH SEJATI
GURU SEJATI

Tempat kramat aku datangi hingga kuburan Sunan Giri aku kunjungi dengan sepeda Gunung alias Ontel saat aku umur 14 tahun yang jaraknya dari desaku ke Gresik cukup lumayan, dengan keyakinan mendapatkan barakohnya dan ketularan medan mahnit spiritual para wali.
Aku berpikir saat itu juru dakwah sukses harus sakti, harus kebal, harus bisa shalat jumat di Mekah dan seambrek Karomah.
Bahkan wali dalam benakku harus SEKTI MONDRO GUNO ORA TEDAS PALUNING PANDE OTOT KAWAT BALUNG WESI BERJAYA WIJAYAN.
Ibadah paforitku yang paling shahih adalah

Tahlilan
Yasinan
Tawasulan
Marhabaan
Shalawatan
Rasulan
Istighasahan
Tingkeban
Ruwatan

Kemudian aku mendengar ada sekolah yang gratis malah dapat bayaran.
Heran, kagum, tak masuk akal kok ada belajar model gituan.
Hati kecilku bergumam “Hebat banget……Kayak banget ya negara Saudi” bisa membuat sekolah gratis di negeri orang lain.
Cuma yang menjadi ganjalan adalah pesan para Kyai agar hati-hati terhadap tiga firqah sesat:
Khawarij tokohnya Ibnu Taimiyah?
Rafidhah Ibnu Qayyim?
Wahabi Muhammad bin Abdul Wahhab?
Kalau masuk LIPIA hati-hati ambil bahasanya apalagi Reyalnya saring Aqidahnya.
MEMANG BENAR… PENGALAMAN SPRITUAL ORANG BEDA-BEDA
Proses penerimaan Mahasiswa ku ikuti, sambil merokok aku masuk LIPIA untuk menengok pengumuman hingga namaku masuk daftar yang diterima.
Kelas persiapan bahasa menjadi awal pengalamanku, kebat-kebit hatiku….. penasaran diriku…kayak apa sih Wahabi itu.
Aku ikuti pelajaran Aqidah dengan seksama…. tiap diskusi tauhid kita terlibat aktif… hingga tiap syubhat tauhid aku tanyakan dan gulirkan kadang membuat haduh di kelas.
Aku merasa perubahan dan peralihan agamaku amat terasa dengan pelajaran AQIDAH atau TAUHID.

Hati tersentak…..
Tatkala tahlilan dan makanan kematian diharamkan.
Maulid Nabi, Nuzul Qur’an dan Isra’ miraj dibid’ahkan.
Istighatsah, tarekat, shalawat badar dan nariyah serta shalawat burdah dipersoalkan.
Membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir, membaca berzanji dan Daiba’ disalah-salahkan.
Saat di rumah kontrakan aku sering berdiskusi dan berdebat dengan kakak kelas soal amalan tradisi katanya peninggalan nenek moyang tapi menurutku ajaran para wali nan sembilan.
Berbagai jamaah dan ormas islam ku masuki untuk mengasah ketajaman agama tapi selalu tak maksimal.

Akhirnya daurah syariyah tahun dengan Syekh Ibrahim ad-Duwaisy yang diadakan Yayasan al-Sofwa, Jakarta sebagai awal perkenalan dengan para juru dakwah salafiyah.
Hatiku tertawan dan pikiranku tersungging dengan argumen mereka terutama Syekh Ibrahim tentang penetapan masalah aqidah dan manhaj ahli sunnah.
Setelah lulus LIPIA Alhamdulillah aku bisa mendapatkan kesempatan ke Riyadh untuk mengabdi dakwah di MAKTAB JALIYAT sambil belajar di SYEKH BIN BAZ.
Menurutku yang paling membekas, berkesan, menarik dan membalikkanku setelah taufiq dari Allah dari dakwah ini adalah:

SUMBER PENGAMBILAN DALIL YANG BENAR.
METODE PENGAMBILAN DALIL YANG BENAR.
CARA MEMAHAMI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH YANG BENAR.
BERAQIDAH DAN BERTAUHID SECARA BENAR.
LANDASAN DAKWAH TEGAS DAN BENAR.

Kalau akhlak dulu sudah aku pelajari.
Penyakit hati sudah amat sering dibahas dipesantrenku lewat Ihya Ulumuddin.
Rumah tangga SAMARA jamiyahku juga lebih mantap dan matang penyampaiannya.
Semangat berbisnis dan etika mencari harta para motivator kawakan lebih hebat bahkan dengan non muslim hanya bidang halal haram yang berbeda.
Yang tidak ada di jamiyah masa laluku dan ada di dakwah salafiyah dan sangat menawan hatiku adalah:

Aqidah lurus
Cara beragama benar
Tauhid bersih dari TBC
Ibadah tanpa bidah
Ikhlas menyampaikan kebenaran sunnah
Berani bicara haq dengan berbagai macam resikonya.
Sabar dan tegar dalam mengemban amanah dakwah anti syirik, anti bidah dan anti maksiat tanpa basa-basi.
Dan dalam hidupku pengalaman dakwah paling membekas adalah orang tuaku sebelum meninggal……
SUDAH MENINGGALKAN
Kebiasaan merokok yang sudah kecanduan 40 tahun.
Meninggalkan tahlilan, yasinan dan maulidan serta shalawatan hingga kebiasaan ziarah makan sunan-sunan.

Dan paling berat meninggalkan tarikat dengan berbagai hujatan.
Semoga dakwah ini dan juru dakwahnya masih tetap istiqamah dalam menyampaikan
Aqidahnya
Tauhidnya
Manhajnya
Anti syiriknya
Anti TBC nya

DENGAN TETAP MELURUSKAN NIATNYA DAN MEMPERBAIKI CARANYA
Memang berat…memang panas….memang terasing
Saat fitnah dakwah menghadang maka kita hanya bisa bersikap seperti nasehat ulama mulia.
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺬﻫﺒﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ :
“ ﺇﺫﺍ ﻭﻗﻌﺖ ﺍﻟﻔﺘﻦ ؛
ﻓﺘﻤﺴﻚ ﺑﺎﻟﺴﻨﺔ
ﻭﺍﻟﺰﻡ ﺍﻟﺼﻤﺖ
ﻭﻻ ﺗﺨﺾ ﻓﻴﻤﺎ ﻻﻳﻌﻨﻴﻚ
ﻭﻣﺎﺃﺷﻜﻞ ﻋﻠﻴﻚ ﻓﺮﺩﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ
ﻭﻗﻒ ، ﻭﻗﻞ : ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ “.
[ ﺍﻟﺴﻴﺮ ( 20/141 ) ]

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata,
“Jika terjadi berbagai fitnah, maka berpeganglah dengan As Sunnah, diamlah, dan jangan membicarakan perkara yang tidak berguna bagimu. Dan perkara apa saja yang masih musykil, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam serta berhentilah dan katakanlah, “Wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui).”
(As Siyar)
Insya Allah kita dakwah
Bukan cari masa
Bukan cari popularitas
Bukan cari aman
Bukan cari senang orang
Bukan cari pujian jammaah
Bukan posisi dunia
TAPI CARI RIDHA ALLAH
INSYA ALLAH…..

Dikisahkan oleh Ust Zainal Abidin di Grup Multaqō ad-Du’ât ilallâh

Sabtu, 16 Januari 2016

Nasihat Syaikh Ali Hasan Al-Halabi untuk Para Pendukung Paham Takfiri

18.12 Posted by Unknown , 2 comments

Nasihat oleh: Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

Alhamdulillah, berikut bisa kami hadirkan rekaman ceramah singkat yang disampaikan oleh Syaikh Ali Hasan Al-Halabi pada Sabtu pagi, 10 Shafar 1435 / 14 Desember 2013, pukul 09:00-10:30 WIB di Radio Rodja dan RodjaTV, bersama penerjemah adalah Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi.

Nasehat sekaligus penjelasan terhadap pemutarbalikan fakta yang disebarkan beberapa media online terhadap apa yang terjadi di LP Nusakambangan.

Semoga bermanfaat.
Biografi Syaikh Ali Hasan Al-Halabi (Ditulis oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc.)

Syaikh ‘Ali Hasan Bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi adalah seorang ulama Ahlus Sunnah dari Yordania, salah satu dari murid Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Beliau diundang berkunjung ke Indonesia, terhitung dari tanggal 7-14 Desember 2013 bersama 2 undangan lainnya dari Mesir oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Agama, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM untuk memberikan pencerahan kepada narapidana kasus terorisme dari mereka yang memiliki syubhat pemikiran takfir (pengkafiran tanpa ilmu).

Tetapi sungguh sangat disayangkan, kedatangan beliau membuat para pendukung pemahaman takfir ini membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap beliau melalui media online yang mereka miliki, di antara tuduhan keji mereka adalah: Syaikh adalah seorang Murji’ah, Syaikh sudah ditahdzir oleh Komisi Fatwa (Lajnah Daimah) Saudi Arabia, dan tuduhan-tuduhan lain dalam rangka mendiskreditkan beliau agar manusia lari dan tidak menerima nasihatnya yang penuh dengan manfaat.
Benarkah Syaikh Ali Al-Halabi Seorang Murji’ah?

Ini adalah tuduhan keji dari kaum takfiriyyin terhadap beliau agar pemahaman takfir mereka bisa leluasa menyebar di tengah-tengah umat. Sebenarnya tidak aneh kalau Syaikh ‘Ali Hasan dituduh dengan tuduhan keji tersebut, karena guru beliau yaitu Syaikh Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani pernah dituduh murji’ah, sehingga Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata, “Orang yang menuduh Syaikh Albani murji’ah telah melakukan kesalahan, bisa jadi dia adalah orang yang tidak kenal dengan Albani (atau) bisa jadi dia tidak mengerti Murji’ah. Tuduhan tersebut tidak benar sama sekali, beliau bukanlah seorang Murji’ah, tidaklah beliau berbicara melainkan dengan apa yang diyakini oleh Salaf Shalih, perhatikanlah perkataan Syaikh Al-Albani rahimahullah ketika menjawab pertanyaan Syaikh Abu Hammam As-Salafi tentang sebagian dari para penulis yang menyifati beliau, bahwa Syaikh ‘Ali Hasan berkata dengan perkataan Murji’ah, dibangun di atas hal ini maka beliau disebut sebagai Mubtadi’ (Ahlul Bid’ah).

Syaikh Albani rahimahullah menjawab, “Kami tidak berkata bahwa seseorang di antara kita bisa lepas dari kesalahan dan kealpaan, sifat maksum hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul saja. Akan tetapi saya katakan tentang hubungannya dengan masalah Aqidah bahwa kami tidak mengetahui sesuatu keburukan padanya. Medan tuduhan sangatlah luas, oleh karena itu kami berkata, “Semoga Allah mengampuni orang yang berkata dengan sesuatu yang berbeda dari apa yang diyakini tentang saudaranya se-Islam.” Saudara kami (‘Ali Hasan Al-Halabi) bukan Murji’ah, dan tidaklah beliau berkata melainkan sesuai dengan apa yang diyakini oleh Salaf Shalih. Orang yang menuduhnya dengan tuduhan tersebut, minimalnya dia telah melampaui (menyelisihi) adab Islam. Akan tetapi saya khawatir perkaranya lebih parah dan lebih berbahaya dari hal tersebut, yaitu menisbatkan kepadanya sebuah keyakinan yang dia berlepas diri darinya sebagaimana halnya “serigala (yang tidak tahu-menahu) berlepas diri dari darah putra Ya’kub” (perumpamaan masa lalu untuk tuduhan yang tidak sesuai dengan kenyataan) …” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 27-28)

Adapun fatwa Lajnah Daimah tentang tahdzir terhadap 2 kitab Syaikh ‘Ali Hasan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin pernah berkata:
“Ini merupakan kesalahan Lajnah, saya menyayangkan fatwa tersebut, sesungguhnya fatwa tersebut telah memecah belah kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, sampai (kaum muslimin) dari Amerika dan Eropa telah menghubungiku. Tidak ada yang mengambil faedah dari fatwa ini melainkan TAKFIRIYYUN DAN PARA PEMBERONTAK.” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 25)

Syaikh Dr. Husain bin ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh berkata, “Sesungguhnya fatwa Lajnah tidak disebutkan padanya pernyataan mereka (para ulama) bahwa Syaikh ‘Ali adalah seorang Murji’ah, sama sekali tidak, mereka tidak berkata demikian, mereka berbicara (mendiskusikan) tentang sebuah kitab, dan tidaklah dialog di antara salaf melainkan bagian dari lawazim cinta mengenal Sunnah dan dalam rangka menjaganya, tetapi hanya mendiskusikan tentang satu bagian dari kitab tersebut. Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh (Mufti Biladil Haramain) adalah orang yang mencintai Syaikh ‘Ali, saya mengetahui hal itu, bahkan menghormatinya, mendoakannya, sampai setelah pertemuan Syaiikh ‘Ali dengan Samahatusy Syaikh (Mufti Saudi). Seandainya kita sepakat di atas hawa nafsu, niscaya kita semua keluar, akan tetapi ini merupakan kelaziman, dan kecintaan yang benar, kejujuran, dan saling menasehati. Adapun orang-orang lain yang membawa fatwa Lajnah senang dengan sesuatu yang bisa mendukung mereka (yang sesuai dengan hawa nafsu mereka), dan tidak mengambil hal-hal yang bertentangan dengan mereka, maka ini adalah kebiasaan Ahlul Bid’ah.” (Al-Hujjatul Qaimah, hal. 143-144)
Bahayanya Pemahaman Takfir

Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Ali Syaikh hafidzhahullah berkata, “Seluruh penyimpangan yang terjadi pada hari ini, anda lihat sebabnya adalah terkait masalah berhukum dengan selain hukum Allah, seluruh penyimpangan Islam, jama’ah-jama’ah Islamiyah, jama’ah jihad, jama’ah takfir … pengeboman, pengkafiran negeri-negeri, semuanya menyangkut masalah hukum.” (Al-Hujjatul Qaimah fii Nushrati Al-Lajnah Ad-Daimah, hal. 110-111)

Inilah terjemahan nasehat Syaikh ‘Ali Hasan Al-Halabi pada hari sabtu 10 Shafar 1435 H bertepatan dengan 14 Desember 2013 M:

الحَمْدُ لِلَّهِ وَ الصَّلَاةُ وَ السَّلَام عَلَى رَسُولِ اللهِ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحبِهِ وَ مَن وَالَاه وَاتَّبَعَ هُدَاهُ إِلَى يَوم نَلقَاهُ , أمَّا بَعْدُ

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)

“Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 1-3)

Ayat-ayat yang mulia ini, walaupun datang dengan lafadzh khabas, akan tetapi ada padanya bimbingan yang agung sekali, bagi kaum mu’minin dan muslimin untuk saling nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran.

Gambaran yang paling tinggi dan bentuk yang paling indah bagi Al-Haq adalah Al-Kitab dan As-Sunnah, keduanya merupakan pokok dan asas yang wajib dengannya bagi manusia untuk saling nasihat-menasihati.
Walaupun kebenaran itu datang dari musuh Anda, maka hukum asalnya adalah wajib untuk Anda terima. Karena wajib atas setiap muslim untuk tunduk terhadap hujjah, mengikuti dan meninggalkan selainnya, ya (betul) kita mengetahui bahwa di sana ada penghalang-penghalang yang mencegah (manusia) untuk menerima kebenaran. Di antaranya: Su’u dzhan (buruk sangka) terhadap manusia, jika anda berburuk sangka terhadap salah satu dari manusia, maka hal ini akan mengahalangi Anda dari menerima kebenaran yang ada padanya.

Di antaranya juga adalah kesombongan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ وَ غَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”

Di antara penghalang: Melihat kepada para pengikut,
Di antara penghalang: Hubbur riasah (suka untuk menjadi pemimpin),
Di antara penghalang: Takut mendapatkan perkataan yang buruk dari manusia,
Di antara penghalang: Membenarkan isu-isu atau kedustaan-kedustaan yang mendukung atau yang menentang.
Hal ini semuanya atau sebagiannya wajib untuk tidak membuat seorang muslim menghalanginya dari kebenaran, apalagi menolak kebenaran tersebut, dan inilah makna dari FirmanNya Ta’ala:

… وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (العصر: ٣)

“… Saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashr [103]: 3)

Dan dalam ayat lain:

… وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِ (البلد: ١٧)

“Dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (Q.S. Al-Balad [90]: 17)

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan taufikNya kepada kami untuk bisa berkunjung beberapa kali ke negeri Indonesia ini, dan ini merupakan kunjungan yang ke-15, sejak hampir 15 tahun (yang lalu). Dalam kunjungan-kunjungan ini semuanya dalam rangka mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengajarkan mereka Aqidah yang lurus, mengajarkan manhaj yang haq, semua itu dalam rangka saling nasehat-menasehati untuk mentaati kebenaran, untuk menetapi kebenaran dan untuk saling berkasih sayang.

Kaum Muslimin semuanya merupakan kesatuan. Orang yang rendah dari mereka, memiliki urusan yang sama seperti orang yang lebih mulia darinya. Masalah-masalah yang dihadapi kaum muslimin juga sama. Negeri mereka satu, walaupun saling berjauhan, sebagaimana Aqidah, Ilah (sesembahan), Nabi, Al-Qur’an, dan kiblat mereka juga satu.

Oleh karena itu pada kunjungan kali ini, (didasari) dengan datangnya saudara-saudara yang mulia (dari Indonesia), mereka berkata kepada kami, “Kami akan membuka kesempatan kepada Anda untuk berdialog dengan sebagian pemuda Muslim yang terpengaruh dengan sebagian dari pemikiran-pemikiran yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah.” Hal tersebut membuat kami senang dan gembira, karena ini merupakan bentuk dari apa yang telah kami sebutkan, yakni saling nasihat-menasihati untuk mentaati kebenaran dan saling berpesan untuk menetapi kesabaran.

Dengan selalu mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

لَا يَهْدِي اللهُ بِكَ رجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ عُمرِ النِّعَم

“Allah memberikan hidayah dengan perantaraan Anda kepada seseorang, maka hal itu lebih baik dari unta merah.”

Di sela-sela perkenalan dan komunikasi yang terjalin tersebut adalah dimudahkannya bagi kami –walhamdulillah– untuk berjumpa dengan sekelompok saudara-saudara (kami) tersebut (yakni para napi di Nusa Kambangan).

Saya katakan mereka adalah saudara walaupun menyelisihi kami dalam Manhaj dan Aqidah, karena persaudaraan Islam-lah yang mengumpulkan kita, kami merasa sayang dan belas kasihan terhadap mereka, kami menginginkan kebaikan untuk mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُم حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah salah satu di antara kalian dikatakan sempurna keimanannya sehingga mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.”

Saya berkata Walhamdulillah, bahwa kami mendapati dari kebanyakan pemuda-pemuda yang bermajelis dengan kami, akhlak yang baik, antusias terhadap kebaikan, menerima kebenaran, serta interaksi (yang baik) dalam berdialog, yang menunjukkan jiwa-jiwa mereka yang baik dan bagus, (tetapi) sedikit dari mereka menempuh cara yang menyelisihi (menyimpang) dari cara tersebut, tidak mau duduk dan tidak mau menerima, maka baginya adalah jauhnya (dia) dari bermajelis dan tidak ada keridhaan dengannya.

Sebagian (kelompok ini) dari yang menolak diskusi dan dialog, menyampaikan kalimat-kalimat yang singkat yang kemudian membuatnya meninggalkan majelis, bahkan maaf kalau saya katakan “lari dari majelis”, kalimat-kalimat yang disampaikan olehnya adalah hanya syubhat-syubhat yang lemah.

Adapun poin yang pertama: Dia berkata, “Kami ingin berdebat dan tidak menginginkan ceramah”
Padahal tentang hal ini sudah saya katakan sebelumnya pada majelis, dan telah saya ulang beberapa kali, akan tetapi saya (dalam majelis tersebut) menyampaikan beberapa patah kata tidak lebih dari 10 menit yang dengannya saya ingin melembutkan (mendinginkan) suasana dan ingin melunakkan hati, sama sekali belum masuk pada dialog tentang masalah-masalah ini, dan ternyata (kemudian tiba-tiba saya dikejutkan) dengan penukilannya terhadap pernyataan saya, yang berbeda dengan apa yang saya maksud dan berbeda dengan fakta yang ada.

Poin kedua: Dia beralasan dengan sesuatu yang sangat aneh, pada saat itu (di majelis) tersebut saudara-saudara yang lain dalam keadaan duduk di atas lantai, di sana juga hadir sebagian orang yang terpandang di masyarakat di tengah-tengah manusia, mereka juga duduk di atas lantai. DI AWAL MAJELIS, saya meminta izin kepada yang memiliki tempat, untuk menghadirkan sebuah kursi agar saya bisa duduk di atasnya, dengan alasan kalau banyak duduk di atas lantai, 2 kaki saya sakit, dan saya ulang permintaan izin ini kepada saudara-saudara (yang hadir saat itu) semua sampai 2 kali.

Tiba-tiba penyanggah ini berkata, “Anda duduk di atas kursi seperti layaknya seorang raja, anda berdialog dengan kami di atas kursi seperti raja.”

Maka saya jawab, “Alangkah buruknya suudzan ini, seandainya saya langsung duduk pertama kali di atas kursi tanpa izin (‘udzur), maka tidak boleh bagi Anda berburuk sangka, bagaimana halnya dengan ‘udzur dan izin yang telah saya minta 2 atau bahkan 3 kali?”

(Poin ketiga:)
Kemudian dia berkata, “Anda datang dari utusan pemerintah.”

Saya jawab, “Apa masalahnya? Apakah kita mampu masuk ke Indonesia tanpa visa dan tanpa persetujuan dari pemerintah? Dan anda (sekarang), berada di tempat anda, bukankah atas persetujuan dari pemerintah? Anda makan, minum, ada listrik dan air, bukankah semua itu atas persetujuan pemerintah? Atau apakah boleh bagi Anda dan tidak boleh bagi orang lain?”

Tidak penting bagi Anda, wahai saudaraku Muslim, Anda berkata orang ini atau orang itu dari pemerintah atau bukan dari pemerintah, yang penting adalah Anda lihat apa yang dia bawa dari kebenaran, yang penting Anda lihat perkataannya apakah sesuai dengan kebenaran yang kemudian Anda terima, atau justru menyelisihi kebenaran yang kemudian Anda tolak.

Jika datang kepada Anda kebenaran dari musuh, wajib untuk Anda terima, dan jika datang kebatilan dari teman tercinta wajib untuk ditolak. Adapun bersandar pada syubhat-syubhat yang lemah, yakni apakah Anda datang dari pemerintah atau bukan dari pemerintah, ini merupakan syubhat yang rusak, yang tidak memiliki dasar baik dalam Al-Qur’an dan Sunnah begitu juga menurut akhlaq, dan saya tidak memandangnya melainkan bergantung pada tali dan sebab (alasan) yang paling lemah.

Kemudian di antara yang dia katakan dan ini barangkali merupakan poin yang keempat dan bisa jadi poin yang terakhir dari apa yang disebutkan, karena pada hakikatnya, saya belum mengingat (seluruh) perkataannya, dan saya kira ini cukup sempurna dari apa yang telah diucapkannya.

Dia berkata (poin ke-4), “Lajnah Daimah telah mentahdzir Anda.” Bersamaan dengan ucapan dia ini, terjadi tanaqud (pertentangan) setelahnya dengan ucapan dia sendiri secara langsung, di mana dia berkata, “Saya tidak percaya dengan Lajnah Daimah” atau ucapan yang semakna dengan ini.

(Saya katakan), “Jika Anda tidak percaya dengannya (yakni dengan Lajnah Daimah) mengapa Anda berdalil dengan perkataannya (fatwanya)??? Jika saya katakan Anda percaya, kemudian Anda berdalil dengan fatwanya, dan Anda percaya dengannya, pertanyaannya: Apakah dia (Lajnah) berada di atas kebenaran pada seluruh pernyataannya di setiap zaman dan tempat? Atau apakah ia –atas keutamaan dari ulama dan masyayikhnya- merupakan Lajnah dari (sejumlah) manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar?”

Kami bersama penghormatan kami terhadap Masyayikh yang empat dalam Lajnah Daimah, begitu juga sebelum mereka dari Imam yang empat semuanya bisa salah dan bisa benar, akan tetapi perbedaan antara pandangan kami dan pandangan mereka terhadap Lajnah Daimah yang mulia ini adalah bahwa pada dasarnya Lajnah Daimah dibangun di atas ilmu dan kebenaran dan dibangun di atas Sunnah, tetapi cara pandang mereka ini terhadap Lajnah Daimah adalah berburuk sangka terhadapnya, pandangan tasykik (membuat keraguan terhadap mereka) dan tasyakkuk (pandangan keraguan), ini saja sudah cukup untuk menunjukkan perbedaan antara kami dengan mereka.

Dan sungguh pada saat itu juga saya menjawabnya bahwa Lajnah Daimah telah mentahdzir 2 kitab dari kitab-kitabku dan itu pun pada 6 tempat (poin) dan 6 poin tersebut secara global (tertulis) pada satu setengah halaman, dan saya berkata, “Apakah Anda sudah membaca bantahan saya terhadap Lajnah lebih dari 1300 halaman?”
Dia menjawab, “Saya belum membacanya,” kemudian dia berkata setelahnya, “Anda belum rujuk (dari pendapat Anda)?”
Saya jawab, “Saya tidak rujuk, karena saya meyakini saya benar,” dan saya katakan sekarang, dan sebenarnya sudah saya katakan di majelis tersebut tetapi dengan cepat, secara pengamalan, (ketahuilah) justru Lajnah yang rujuk (dari pernyataannya), secara khusus 2 (dua) Syaikh yang mulia yaitu Al-Mufti Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ali Syaikh dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan. Kedua Syaikh yang mulia tersebut telah menulis muqaddimah bagi risalah Magister dengan judul “Al-Jarimatu wa Shilatuha bi Musykilati At Takfir” (yang dimaksud beliau adalah “Shilatul Ghuluwwi fit-Takfir bil Jarimah“), buah karya dari penulis yang mulia dari muridnya yang bernama ‘Abdussalam As-Sulaiman.

Poin yang paling penting yang mereka kritik dalam kitabku, telah disebutkan oleh penulis tersebut pada kitabnya tentang masalah tahdzir (peringatan) dari fitnah pengkafiran terhadap hukkaam (penguasa), dan tentang penjelasan bahwa kafir itu terbagi 2 bagian, dan menukil kalam dari sebagian Aimmatul ‘Ilmi (para ulama) tentang hal tersebut, semisal Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah. Inilah perkara yang paling penting yang dikritik oleh Lajnah dalam fatwa tersebut.

Bahkan penulis, ‘Abdussalam As-Sulaiman, telah menukil dalam kitabnya dari kitab saya yang berjudul “At-Tahdzir min Fitnati At-Takfir“, padahal kitab tersebut, kitab yang ditahdzir sebagian tempatnya oleh Lajnah. Dan kitab buah karya Al-Akh As-Sulaiman ini muncul 5 tahun setelah keluarnya fatwa Lajnah.

Tentunya saya ucapkan perkataan ini secara ringkas, kemudian dia pergi (pergi meninggalkan majelis).

Saya berkata, “Hadza jahlun (ini merupakan kebodohan), duduklah dan berdialoglah!”
Tetapi (sayangnya) dia menukil perkataanku bahwa saya berkata “Anda bodoh”.
Saya katakan (sekarang): Orang yang menolak dialog dan beralasan dengan syubhat-syubhat yang lemah, ini betul-betul bodoh, walaupun saya tidak menyifatinya (saat itu) bahwa dia itu bodoh di tempat itu, maka sekarang saya menyifatinya dia itu bodoh.
Dan berikutnya, perkara ini harus dilihat dari 2 sisi:

Pertama: Kata jahl (kebodohan) dan jahil (orang bodoh) dari sisi asal kata

Kedua: Orang yang berpaling dari menerima kebenaran dan menolak dialog, maka
betul-betul ia itu orang bodoh, sekiranya dia punya ilmu, dan saya tidak betul berkata dia orang ‘alim, niscaya dia mau menerima dialog dan duduk.

Kemudian anehnya, dia bangun perubahannya terhadap perkataannku kepada hal yang lebih dahsyat dan lebih pahit.
Dia berkata, “Apakah ini merupakan akhlaqnya para Syaikh?” (Sambil) berkata kepadaku, “Wahai orang bodoh”.
Saya jawab, “Ya, ini akhlaqnya para Syaikh, bahkan ini akhlaq Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, telah tsabit dalam Sunnah yang shahih bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah duduk bersama para sahabat pada sebuah majelis, salah satu sahabat bertanya tentang buah-buah Surga, bagaimana keluarnya dari pepohonan surga? Maka sahabat yang sedang duduk tertawa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kenapa kalian tertawa? (Apakah kalian tertawa) karena orang bodoh bertanya kepada ‘alim?” Lafadz ini telah diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau lebih baik dari saya di tengah-tengah (sahabat), orang-orang yang lebih baik dari dia (Aman Abdurrahman). Akan tetapi, ini merupakan musibahnya para pengikut hawa nafsu, secara khusus jika mereka adalah orang-orang yang bodoh, lebih khusus lagi para pemimpinnya.

Anehnya saat dia mengingkari perkataanku atas perkataan jahilnya dengan tanpa hak, dia menuduh saya bahwa saya adalah ‘amiil (antek-antek) pemerintah, (saya bertanya): “Apakah ini adalah akhlaqnya Muslim?” Saya tidak berkata akhlaqnya para Syaikh, “Apakah ini akhlaqnya Muslim menuduhku antek-antek?” Tuduhan yang tersirat makna pengkhianatan. Oleh karena itu, saya katakan, hikayat dari firyah (pengada-adaan) ini cukup bagiku untuk membantah, membatalkan, dan mendiskusikannya.

Ini adalah gambaran global dari apa yang telah terjadi bersama orang ini (Aman Abdurrahman) yang lari dari dialog, atau berusaha melarikan diri (dari dialog).

Dan gambaran global dari apa yang ditulis di sebagian situs-situs Internet dari persaksian dan riwayat-riwayatnya yang terjadi di antara kita pada majelis tersebut.

Dia, sebagaimana telah melakukan kebatilan pada hal pertama, telah melakukan kebatilan juga pada hal yang kedua, walaupun demikian saya berkata kepada ikhwah (saudara-saudara) Indonesia semuanya, sesungguhnya cela yang ada pada orang ini, tidak berpengaruh sama sekali terhadap diri saya dan pandangan saya terhadap yang lainnya dari yang bermajelis yang jumlahnya lebih banyak dan lebih utama dari dia. Sebagaimana yang sudah saya katakan, saya tidak jumpai (dari mereka) melainkan mencari ilmu dan mencari kebenaran, interaksi yang baik dengan kebenaran, berdiri bersama dalil, kebaikan jiwa (mereka), yang berbeda dengan orang yang sombong ini, walaupun demikian, demi Allah saya berharap kebaikan baginya, saya berdo’a kepada Allah Ta’ala agar memberikan hidayah kepada kami dan dia kepada kebenaran. Tidak ada di antara kita, satu pun yang lebih berhak dengan kebenaran daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak ada salah satu di antara kita yang lebih jauh (darinya) daripada ahlul batil dari orang-orang Quraisy Watsaniyyah para penyembah berhala, walaupun demikian Allah perintahkan NabiNya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((إِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ))
“sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”
Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء … (آل عمران: ٦٤)

“Katakanlah (Muhammad), Wahai ahli kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama …” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 64)

Mudah-mudahan kalimat yang saya ucapkan di majelis yang diberkahi ini, di pagi hari yang baik ini, sampai kepada saudara ini (Aman Abdurrahman), atau sampai kepada pengikutnya, atau sahabat-sahabatnya yang saya kira mereka lebih baik darinya, untuk menyampaikan kepadanya kebaikan ini, untuk menyampaikan antusias ini, untuk menyampaikan ajakan, sekali lagi untuk bermajelis pada kunjungan di lain waktu untuk sama-sama saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran.

Adapun berusaha lari dari majelis pertemuan, kemudian bersembunyi di belakang syubhat-syubhat yang lemah dan kalimat-kalimat yang kosong, maka ini sebuah hal yang saya tidak ridha / rela untuk diri saya dan untuk saudaraku, walaupun saya menyelisihinya dan dia menyelisihi saya. Dan terakhir, tidak saya ucapkan kecuali dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita, “Yaa Allah, Rabb Jibrail, Mikail, dan Israfil, berikanlah petunjuk kepada kami dari perselisihan kepada al-haq dengan izinMu, sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِين
Pertanyaan dan Jawaban
Pertanyaan 1:

Di antara syubhat takfiriyyin, Indonesia tidak berhukum dengan hukum Allah. Oleh karena itu, Indonesia adalah Negara kafir. Apa pendapat Syaikh?
Jawaban:

Ini adalah perkataan yang bathil, yang Allah tidak menurunkan hujjah tentangnya, permasalahan negeri Kafir atau negeri Islam merupakan permasalahan fiqh, yang diperbincangkan oleh ulama mutaakhirin, tidak satu pun dari mereka yang memiliki dalil, tetapi ia merupakan hasil ijtihad-ijtihad dan pendapat-pendapat (semata).
Seandainya kita bertanya kepada orang yng memiliki pendapat ini yang hanya sekedar berpegang kepada hawa nafsu dan kesewenang-wenangan, apa dalilnya Anda menghukuminya demikian? (Alasannya) karena ia berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan.

Ya, kita mengagungkan hukum Allah, kita berpendapat bahwa hal itu merupakan kewajiban dan merupakan perkara syari’at yang penting. Tetapi (sayangnya) yang tergambar (pada pikiran mereka) bahwa berhukum dengan selain hukum Allah hanya pada masalah huddud (undang-undang hukum had), mereka lupa shalat, puasa, zakat, dan haji, padahal ini semuanya ada di negeri ini.

Semuanya terjaga oleh rakyat dan penguasanya, seperti pada negeri-negeri yang lainnya dari negeri kaum Muslimin.
Kita tidak mengetahui satu pun negeri Islam yang memerangi shalat, melarang masjid-masjid, melarang zakat, memerangi puasa, atau melarang haji. Dan mungkin kalian mengetahui, bahwa negeri ini adalah negeri yang terbesar untuk jama’ah haji daripada negeri-negeri yang lainnya dari negeri-negeri kaum Muslimin. Pemerintah langsung yang mengaturnya, memepersiapkannya, dan mengawasinya, tentunya hal ini tidak menafikan dari kesalahan yang ada. Tetapi berbeda antara kita katakan kafir, dengan kita katakan ada kekurangan dan maksiat padanya, sebagaimana halnya dengan individu Muslim padanya ada ketaatan dan kemaksiatan, maka begitu juga dengan lembaga pemerintah, yayasan yang memiliki kesalahan dan ketaatan. Yang berkata bahwa negeri ini kafir tidak punya dalil melainkan hanya ra’yu (pendapat) semata.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika ditanya tentang negeri Maridin, negeri yang hukum di dalamnya bukan hukum Islam, dan penduduknya Muslim, beliau tidak menyatakan bahwa negeri tersebut negeri kafir, tetapi beliau berkata negeri ini murakkab, dan hasilnya tetap beliau menganggapnya dengan Dar Islamiyah (negeri Islam). Ini adalah jawaban sangat singkat dan cepat terhadap syubhat yang lemah ini.
Pertanyaan:

Apa makna firman Allah Ta’ala:

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (النور: ٥٥)

“Allah telah menjanjikan orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembahKu, dengan tidak mempersekutukanKu dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur [24]: 55)
Jawaban:

Makna ayat ini adalah seperti makna dari ayat yang mulia:

… نَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ … (الرعد: ١١)

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’du [13]: 11)

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji kepada kaum mukminin dan orang-orang yang beribadah dengan ibadah yang benar, dengan kedudukan yang tinggi di atas muka bumi, kekokohan dan keamanan. Ini juga seperti apa yang Allah sifatkan dalam nash yang lain:

الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ … (الحج: ٤١)

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat …” [Q.S. Al-Hajj [22]: 41)

Oleh karena itu, hal ini merupakan karunia dan taufik dari Allah, (kebaikan-kebaikan dari janji Allah tersebut) tidak dicapai dengan cara berkhianat, membunuh orang-orang buta, mengebom, mengkhianati perjanjian, dan tidak juga dengan cara membunuh kaum Muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hancurnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seseorang di bumi.”
Pertanyaan:

Allah Ta’ala berfirman:

… وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (المائدة: ٤٤)

Bukankah ini merupakan nash akan kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah?
Jawaban:

Saya jawab: Bisa ya, bisa juga tidak. Adapun jawaban ya, karena pada ayat tersebut ada lafadz “kufur”, adapun jawaban tidak, hal ini karena 2 alasan.

Pertama: kufur (kekafiran) itu terbagi 2 jenis, yaitu: (1.) kekafiran yang mengeluarkan (seseorang) dari agama dan (2.) kekafiran yang tidak mengeluarkan dari agama.

Kedua: Bahwa pengkhususan ayat tersebut kepada para pemimpin (penguasa) adalah batil, ayat tersebut umum tentang seluruh orang (atau siapa saja) yang berhukum dan mencakup seluruh hukum, (jadi) pengkhususannya terhadap penguasa adalah batil, lafadz (مَا dan مِن) adalah huruf dari bahasa arab yang memiliki arti umum.
Pertanyaan:

Apakah benar pembagian ulama kepada ulama jihadi dan ulama kitab?
Jawaban:

Ini adalah pembagian yang batil. Ulama adalah ulama. Waktu untuk ilmu dan kitab maka itulah waktu ilmu dan kitab. Waktu jihad dan memerangi musuh maka waktu itu digunakan untuk berjihad dan memerangi musuh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ia berada di depan (kaum Muslimin) ketika memerangi pasukan Tartar, dan beliau adalah orang yang paling banyak menulis kitab-kitab bantahan terhadap Firqah Jahmiyah, Mu’tazilah, dan lainnya dari firqah-firqah sesat.

Akan tetapi, sebagian manusia dikarenakan mereka tidak memahami jihad dengan pemahaman yang benar, telah membagi ulama dengan dasar pandangannya yang batil ini. Kalau betul-betul sebagai ulama niscaya paling mengetahui tentang waktu jihad dan waktu kitab.

Akan tetapi, yang diinginkan dari pembagian ini adalah memberikan TASYKIK (keragu-raguan) terhadap ulama (yang mereka sebut) dengan ulama kitab, kemudian mereka menyifati orang-orang yang bukan ulama dengan sebutan ulama jihadi dengan dasar hanya semata-mata sama dalam pandangan keliru mereka tentang masalah jihad.

Seandainya kita bertanya kepada mereka, sebutkanlah oleh kalian ulama-ulama jihadi kalian, niscaya mereka tidak akan sanggup menjawabnya. Tetapi kalau kita ditanya tentang ulama-ulama yang sejalan dengan kita, yang mereka membuat keraguan tentangnya dengan menyebutnya sebagai ulama kitab, niscaya kita jawab dengan penuh kejelasan dan ketegasan, mereka adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad, dan Syaikh Shalih Al-Fauzan, mereka semua adalah ulama yang berada di atas ilmu yang bisa kita ambil atau tolak, sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah: “Tidak ada di antara kita melainkan pendapatnya bisa diterima atau ditolak kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Pertanyaan:

Mohon nasihat, sejatinya manhaj Salaf dalam melihat penyimpangan terhadap para pemimpin sehingga tidak salah.
Jawaban:

Sikap kita dalam menghadapi kesalahan-kesalahan para pemimpin menurut manhaj Salaf terbangun di atas 2 perkara:
1. Menasehati mereka secara sembunyi-sembunyi dalam hal yang kita sanggup, mendoakan agar mereka menjadi baik, dan hendaknya kita menjadi da’i-da’i yang sukses di masyarakat, sehingga masyarakat yang baik akan membantu mereka untuk menegakkan syari’at.
2. Adapun melawan mereka, mencela mereka, memerangi mereka, merampas dan mengebom, hal ini tidaklah memberikan kepada mereka melainkan keburukan dan akan menambah kerusakan pada masyarakat.
Pertanyaan:

Jihad apa yang paling utama di zaman ini? Sebagian pemuda salafiyyin berkata: “Kami berada di atas manhaj Salaf akan tetapi tidak mempraktekkan jihad seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam“?
Jawaban:

Mereka yang berkata demikian tidak memahami manhaj Salaf, tidak mengetahui hakikat tentang sikap-sikap ulama kita yang Rabbani dalam memahami jihad. Jawaban tentang hal ini, saya balik bertanya, apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika di fase Mekkah memerangi orang kafir? Tentu jawabannya tidak, pertanyaannya, mengapa tidak memerangi mereka?

Ada satu jawaban tentang hal ini, yaitu Nabi dan para sahabatnya saat itu masih lemah. Setiap orang yang berakal tahu, bahwa keadaan kita dewasa ini sejak beberapa abad yang lalu, dalam keadaan lemah, bahkan lebih lemah daripada fase Mekkah ketika Nabi hidup.

Sebagaimana dikatakan bahwa timbangan kekuatan (antara 2 kelompok) saat itu tidak jauh berbeda, yakni ada kuda, pedang, pisau, batu, dan pepohonan. Berbeda halnya dengan sekarang ini, ada bom, senjata kimia, pesawat-pesawat tempur, pasukan yang canggih, di mana pasukan kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan walaupun sepersepuluh dari kekuatan kafir. Di sini, wajib diketahui tentangsesuatu yang penting sekali, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berjihad melainkan setelah adanya daulah, dan sebelum berjihad Nabi melakukan dakwah terlebih dahulu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika kalian diminta untuk berperang, maka berperanglah.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Imam adalah tameng.”

Jihad merupakan tugas daulah, bukan tugas individu-individu tertentu, bahkan merupakan tugasnya kalangan khusus dari orang-orang yang paham politik dan para tentara di daulah.

Kami melihat sekarang orang-orang yang menyelisihi manhaj Salaf tentang jihad, mereka lalai terhadap sesuatu yang mampu untuk mereka perbuat dari ilmu, ta’lim, dakwah dan beramar ma’ruf nahi mungkar, justru mereka malah melakukan hal yang tidak mereka sanggupi dari berjihad dan berperang.
Pertanyaan:

Ada tuduhan-tuduhan keji tentang Syaikh yang disebutkan di Internet, seperti Syaikh adalah seorang plagiator, dituduh pencuri (karya ilmiah), berdusta atas nama Ibnu Taimiyyah, mentahrif (mengubah) perkataan ulama, di antaranya seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Faishal Ar-Rajihi dalam buku Al-Fariq bainal Muhaqqiq was Saariq.
Jawaban:

Ini adalah syubhat-syubhat yang lemah. Syubhat-syubhat yang sudah lama. Saya telah membantah Ibnu Faishal Ar-Rajihi 7 atau 8 tahun yang lalu di Internet. Mereka itu seperti pedagang yang bangkrut, mencari-cari pada catatan-catatan lama (barangkali mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan modal untuk menjelek-jelekkan, Pen) seandainya mereka menginginkan kebenaran, niscaya mereka membaca bantahan sebagaimana mereka membaca kritikan, akan tetapi mereka memandang hanya menggunakan satu mata.

Adapun tuduhan pencuri, tentunya maksudnya adalah pencurian karya ilmiah, bukan pencurian harta. Tuduhan ini dibangun di atas kedustaan, di mana dia menuduhku mencuri kitab An-Nihayah karya Ibnul Atsir. Hal tersebut sama sekali tidak benar, saya tidak mengklaim bahwa saya adalah pentahqiqnya, bukan juga penulis atau yang menyebarkannya. Hanya saja ia merupakan hasil upaya sekelompok para penuntut ilmu, yang kemudian aku tuliskan kata pengantar untuk mereka atas usaha mereka. Bagaimana dia berkata saya pentahqiq kitab tersebut padahal tidak, akan tetapi ini merupakan adat kebiasaan pengikut hawa nafsu dahulu dan sekarang, mereka membawa manusia dengan syubhat yang paling rendah.

Adapun tuduhan mengubah perkataan ulama, atau perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ini juga merupakan perkataan yang batil, saya telah membantahnya tiga kali, bukan hanya sekali saja. Terakhir saya bantah satu setengah tahun yang lalu, dalam kitab saya yang berjudul Al-Hujjatul Qaimah fii Nushrati Al-Lajnah Ad-Daimah, maksud dari makna Nushrah (pertolongan) di sini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tolonglah saudaramu baik yang mendzhalimi atau yang terdzhalimi.”

Pada kitab tersebut saya menggunakan metode baru dan tersendiri, yaitu saya langsung memfotokopi nash-nash dari kitab-kitab secara langsung, tidak saya nukil dengan cara dicetak (seperti biasanya). Kemudian, saya meminta kepada para penuduh untuk mendatangkan (membuktikan) tuduhannya. Mereka menuduh: “Anda telah mengubah-ubah perkataan Ibnu Taimiyyah.” Oleh karena itu saya datangkan langsung perkataan Ibnu Taimiyyah dengan nukilan dari perkataan Ibnu Taimiyyah, tanpa tulisan atau cetakan yang baru, tetapi nukilannya persis sama dengan asalnya, kemudian saya berkata kepada setiap yang berakal, manakah perbedaan yang diklaim tersebut?

Akan tetapi jika hal itu tercampur di atas tuduhan-tuduhan dan syubhat-syubhat semata, maka bagaimana hasilnya? Apa jawabannya? Klaim yang bisa membuat tertawa ibu yang kehilangan anaknya.
(Akhirnya) saya berkata: Apakah yang didakwahkan oleh orang yang melakukan safar untuk mengajarkan diin kepada manusia, setiap tahunnya bisa sampai 5 atau 6 kali di beberapa negeri, baik di Timur atau di Barat?
(Coba perhatikan) apakah kita menyeru kepada kebinasaan, kefasikan, dan kefajiran. Ataukah menyeru kepada firman Allah dan sabda RasulNya?
Lebih baik dari 230 kitab yang sudah ditulis dari risalah sampai kitab berjilid-jilid, apakah isi dari tulisan-tulisan tersebut?
Apa yang kita dakwahkan kepada manusia di sela-sela ribuan durus, ceramah, fatwa, dan makalah yang ada? Bukankah mengajak kepada apa yang Allah turunkan dan kepada sabda Rasulullah?
Apakah yang Allah turunkan (dari kitabNya) dari apa yang kita dakwahkan berbeda dengan apa yang Allah turunkan dari apa yang didakwahkan oleh orang yang menyangkal tersebut?
Sungguh saya bisa pastikan, bahwa tidaklah yang dia maksudkan dari masalah berhukum dengan hukum Allah melainkan pengkafiran terhadap para penguasa (pemimpin), jika inilah definisi dari yang dia maksud tentang berhukum kepada hukum Allah, maka kita tidak menyetujui pengkafiran terhadap para penguasa tersebut dengan pengkafiran secara mutlak, kecuali setelah diperinci dan dengan dasar ilmu. Sebagaimana perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah pada akhir kitab Ar-Ruh, beliau berkata: “Berhukum dengan selain hukum Allah adalah hukum mubaddal (hukum yang diubah-ubah), ada yang kafir, ada yang dzhalim, dan ada yang fasik.” Beliau tidak menyamaratakan bagi setiap hukum tersebut menjadi kafir semua.

Berbeda halnya dengan orang ini dan yang serupa dengannya menjadikan semuanya menjadi kafir, mirip dengan Khawarij, saya nyatakan ini semua, dengan tetap menekankan dan menegaskan bahwa berhukum dengan hukum Allah merupakan kewajiban, dan tidak boleh menyepelekannya.
Penutup

Adapun nasehat saya kepada kaum Muslimin dan para da’i agar mengetahui bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memuliakan mereka dengan ilmu, Sunnah, dan hidayah. Ini merupakan kebaikan yang besar wajib untuk dijaga. Dan tidak ada jalan untuk menjaganya melainkan dengan saling nasihat-menasihati, menetapi kebenaran, dan untuk tetap sabar.

Adapun ghuluw (berlebih-lebihan), keras, ekstrim, pembunuhan, dan pengeboman ini, yang pertama: menyelisihi syari’at dan yang kedua: bertolak belakang dengan maslahat. Sebagai contoh, cobalah lihat mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut, hasilnya adalah penjara, maka faedah apa yang telah mereka berikan untuk diri mereka sendiri, kepada keluarga, masyarakat, dan agama mereka? Tetapi saya katakan sesungguhnya mereka telah memudharatkan diri mereka, keluarga, masyarakat, dan diri mereka sendiri.

Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Jihad merupakan perkara yang agung, tetapi tidak lebih besar dari haji. Haji yang lebih besar darinya tidak diwajibkan melainkan dengan syarat mampu, maka tentunya jihad lebih layak dengan syarat tersebut. Maka orang yang berjihad dengan tanpa (memenuhi) syarat-syarat jihad yang syar’i adalah seperti orang yang melakukan ibadah haji di bulan Muharram (bukan bulan musim haji), sebagaimana hal ini fasid (rusak/batil) maka hal tersebut (jihad tanpa memenuhi syarat-syarat jihad) juga fasid.

وصلّى الله وسلّم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أسجمعين وآخر دعوانا أن الحمدلله رب العالمين

Artikel : radiorodja.com