Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Sabtu, 30 Juni 2012

Hanya Dengan Mengingat Allah Hati Menjadi Tenang

23.29 Posted by Unknown 1 comment

Oleh : Ustadz Abdullah Taslim. MA
 
Seiring dengan makin jauhnya jaman dari masa kenabian Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.
Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan”[2].
Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.
Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki
Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
{الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ}
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].
Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Ta’ala[4].
Salah seorang ulama salaf berkata: “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”, maka ada yang bertanya: “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?”, Ulama ini menjawab: “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].
Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – : “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[6].
Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Ta’ala[7].
Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[9].
Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].
Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.
Allah Ta’ala berfirman:
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali ‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[12].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS Yuunus:57).
Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah I yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…”[13].
Ketenangan Batin yang Palsu
Kalau ada yang berkata: Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.
Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.
Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah Ta’ala. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir:8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].
Dalam ayat lain Dia Ta’ala berfirman:
{وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا}
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].
Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.
Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah membuat perumpaan hal ini[16] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.
Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa)”[17].
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itulah (tanda) kemurnian iman”[18].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
-          Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya
-          Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya[19].
Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ketika ada yang mengatakan kepada beliau: Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[20].
Nasehat dan Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya.
Allah Ta’ala berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)…Maka kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[22].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Catatan Kaki:

[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim rahimahullahdalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq Syaikh Salim al-Hilali hafidhahullah).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[4] Ibid.
[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).
[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).
[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).
[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).
[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).
[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).
[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (3/180).
[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).
[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).
[18] HSR Mualim (no. 132).
[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).
[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).
[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

Bersabarlah Wahai Saudaraku…

23.08 Posted by Unknown No comments
"Seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan, yaitu bila dia mendapat nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat cobaan maka dia bersabar dan bila berbuat dosa maka dia beristighfar. Sungguh menakjubkan keadaan seorang muslim. Bagaimanapun keadaannya dia tetap masih bisa menuai pahala".

Betapa Mulianya Sabar 
 
Diantara ketiga keadaan ini datangnya cobaan demi cobaan terkadang membuat hati kita mendongkol, lisan menggerutu dan tangan melayang lempar sana, lempar sini, tonjok kanan tonjok kiri. Lalu apa hasilnya?

Ingatlah saudaraku semoga Alloh merahmatimu, sesungguhnya Alloh menjanjikan kebersamaan-Nya yang istimewa bagi orang-orang yang mau bersabar. Alloh Ta’ala berfirman, “Dan bersabarlah kalian sesunguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.” (Al Anfal: 46).

Inilah kebersamaan khusus yang Alloh janjikan berupa penjagaan, pertolongan dan pembelaan di saat yang dibutuhkan. Bahkan dengan kesabaran jugalah kepemimpinan dalam agama bisa diraih. Alloh Ta’ala berfirman, “Dan Kami telah menjadikan pemimpin-pemimpin di kalangan mereka (Bani Isro’il) yang membimbing dengan petunjuk dari Kami tatkala mereka mau bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (As Sajdah: 24).

Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dengan sabar dan yakin itulah akan bisa diraih imamah/kepemimpinan dalam ad dien.”

Dan sifat sabar termasuk salah satu ciri yang melekat pada diri para Rosul manusia-manusia paling mulia di atas muka bumi. Alloh Ta’ala berfirman, “Sungguh para Rosul sebelum engkau (Muhammad) telah didustakan maka mereka pun bersabar terhadap pendustaan itu, dan mereka disakiti hingga tibalah pertolongan Kami.” (Al An’am: 34).

Demikianlah betapa agungnya sabar. Sampai-sampai Rosul bersabda, “Sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran.” (Arba’in no. 19)

Pengertian Sabar dan Macam-Macamnya

Sabar adalah menahan jiwa dari mendongkol, menahan lisan dari berkeluh kesah dan marah serta menahan anggota badan dari melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan seperti menampar-nampar pipi atau merobek-robek kerah baju (Al Jadid fi Syarhi Kitab At Tauhid, hlm. 314).

Sabar ada tiga macam;
(1) Sabar dalam ketaatan,
(2) Sabar dalam menahan diri dari melakukan kemaksiatan, dan
(3) Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.

Di antara ketiga macam sabar ini, Sabar dalam ketaatan adalah macam sabar yang tertinggi. Namun adakalanya bersabar dalam menahan diri dari kemaksiatan justeru lebih berat daripada bersabar dalam ketaatan.

Syaikh Al Utsaimin menjelaskan, Seperti misalnya cobaan yang menimpa seorang laki-laki berupa godaan wanita cantik yang mengajaknya untuk berzina di tempat sunyi yang tidak diketahui siapapun selain Alloh, sementara laki-laki ini masih muda dan memendam syahwat dalam dirinya. Maka bersabar agar tidak terjatuh dalam maksiat seperti ini menjadi lebih sulit bagi jiwanya. Bisa jadi mengerjakan sholat seratus rokaat itu lebih ringan baginya daripada harus menghadapi beratnya ujian semacam ini. (Al Qoulul Mufid, Syaikh Al Utsaimin)

Alloh Ta’ala berfirman, “Alloh mencintai orang-orang yang sabar.” (Ali Imron: 146).

Ujian demi ujian hendaknya justeru menempa kepribadian kita agar menjadi hamba yang semakin dicintai oleh Alloh Ta’ala, yang bersyukur bila mendapat nikmat, bertaubat bila berdosa dan bersabar dalam ketaatan, dalam menghindari maksiat dan tatkala menghadapi musibah. Wallohul musta’aan.

***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
arsip : muslim.or.id


Amalan Sunah Ketika Sya’ban

23.00 Posted by Unknown No comments

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apakah ada amalan khusus ketika Sya’ban? Mohon pencerahannya.
Dari: Ariqqa

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Ada beberapa hadis shahih yang menunjukkan anjuran amal tertentu di bulan Sya’ban, di antara amalan tersebut adalah:
Pertama, memperbanyak puasa sunnah selama bulan Sya’ban
Ada banyak dalil yang menunjukkan dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Di antara hadis tersebut adalah:
Dari Aisyah radhiallahuanha, beliau mengatakan,
يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Aisyah mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (H.R. Al Bukhari dan Msulim)
Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Ummu Salamah radhiallahuanha mengatakan,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i dan disahihkan Al Albani)
Hadis-hadis di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, melebihi puasa di bulan lainnya.

Apa Hikmahnya?

Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini.
Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadis dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)
Kedua, memperbanyak ibadah di malam nishfu Sya’ban
Ulama berselisish pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut keterangannya:
Pendapat pertama, tidak ada keuatamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11)
Pendapat kedua, terdapat keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani).
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syaikhul Islam mengatakan, “…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Madzhab Hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu…” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 247).
Keterangan lebih lengkap tentang amalan malam nisfu Sya’ban, bisa anda simak di: Shalat Nishfu Sya’ban
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Read more about Ibadah by www.konsultasisyariah.com

Jumat, 29 Juni 2012

Mencari Pemimpin yang Adil dan Amanah

05.59 Posted by Unknown No comments
Ad-Dzahabi mengungkapkan dalam menuturkan biografi Khalifah Abbasiyah, al-Mustanjid billah, "Seorang pemimpin, apabila memiliki kecerdasan dan agama yang kuat, urusan pemerintahannya akan berlangsung baik. Apabila kemampuan akalnya lemah dan agamanya bagus, kecemburuan agamanya akan mendorong dirinya untuk bermusyawarah dengan orang-orang yang konsekuen, sehingga urusannya juga bisa berlangsung baik, kondisinya juga akan berjalan baik. Namun apabila agamanya rusak meski otaknya cemerlang, negara beserta rakyatnya akan sengsara. Kecerdasan otaknya tidak jarang malah mendorongnya untuk memperbaiki kekuasaannya beserta rakyatnya untuk urusan dunia saja, bukan untuk ketakwaan. Sementara apabila kemampuan otaknya lemah, agama dan persepsinya juga lemah, akan banyak terjadi kerusakan, rakyat akan terbengkalai, dan mereka semua akan menjadi korbannya, kecuali bila masih ada keberanian, ketangkasan dan kharisma, kondisinya bisa sedikit diperbaiki.

Namun apabila ia seorang pengecut yang lemah agamanya, miskin gagasan, banyak memaksakan diri, berarti ia mengorbankan dirinya untuk menerima bencana segera. ; bisa jadi karena ia akan dikucilkan bahkan dipenjara dan dibunuh. Dunia pun tak dapat ia raih, sementara noda dan dosa sudah memenuhi dirinya. Ia pun -demi Allah- akan menyesal di saat penyesalan tiada berguna. Sementara kita pada hari ini amat pesimis untuk dapat memiliki  pemimpin yang dapat petunjuk dari Allah dalam segala sisi kepemimpinannya. Kalaupun Allah memudahkan jalan untuk munculnya pemimpin yang memiliki banyak kebaikan dan sedikit kesalahan, kapankah kita berjodoh mendapatkannya? Ya Allah, perbaikilah rakyat dan penguasa ini, sayangilah hamba-hambaMu, dan tolonglah pemimpin mereka dan bimbinglah dirinya dengan taufikMu , aamiin ..

(Siyar A'lam an-Nurbala)

Kamis, 28 Juni 2012

Hubungan Ilmu Tahsin (Tajwid) dan Ilmu Qira’at

18.09 Posted by Unknown No comments
Ilmu Tajwid tidak bisa dilepaskan keberadaannya dari ilmu Qiraat. Keberagaman cara membaca lafazh-lafazh Al Qur’an merupakan dasar bagi kaidah-kaidah dalam Ilmu Tajwid. Ilmu qiraat adalah ilmu yang membahas bermacam-macam bacaan (qiraat) yang diterima dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan menjelaskan sanad serta penerimaannya dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Dalam ilmu ini, diungkapkan qiraat yang shahih serta tidak shahih seraya menisbatkan setiap wajah bacaannya kepada seorang imam qiraat.[1]
Asal mula terjadinya perbedaan ini adalah karena bangsa Arab dahulu memiliki berbagai dialek bahasa (lahjah) yang berbeda antara satu kabilah dengan kabilah lainnya. Dan al qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa kepada Rasulnya Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam menjadi semakin sempurna kemu’jizatannya karena ia mampu menampung berbagai macam dialek tersebut sehingga tiap kabilah dapat membaca, menghafal, dan memahami wahyu Allah.[2]
Qiraat yang bermacam-macam ini telah mantap pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam dan beliau mengajarkannya kepada para shahabat radliallaahu ‘anhum sebagaimana beliau menerimanya dari Jibril ‘Alayhissalaam. Kemudian pada masa shahabat muncul para ahli qiraat Al qur’an yang menjadi panutan masyarakat. Yang termahsyur diantara mereka antara lain Ubay bin Ka’b, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abu Musa Al Asy’ari radliallaahu ‘anhum. Mereka lah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian besar shahabat dan tabi’in.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan qiraat ini menghadapi masalah yang serius karena munculnya banyak versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Nabi Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Untuk itu dilakukanlah penelitian dan pengujian oleh para pakar qira’at dengan menggunakan kaidah dan kriteria dari segi sanad, rasm ‘utsmani, dan tata bahasa arab.
Setelah melalui upaya yang keras serta penelitian dan pengujian yang mendalam terhadap berbagai qira’at Al qur’an yang banyak beredar tersebut, ternyata yang memenuhi syarat mutawatir[3], menurut kesepakatan para ulama ada tujuh qiraat. Tujuh qira’at ini selanjutnya dikenal dengan sebutan qira’ah sab’ah (bacaan yang tujuh)
Qiraat sab’ah ini masing masih dibawa dan dipopulerkan oleh seorang imam qira’at, sehingga seluruhnya berjumlah tujuh orang imam qiraat. Sebagai penghargaan dan agar mudah diingat, nama-nama mereka selanjutnya diabadikan pada qiraahnya masing-masing (contohnya : Qiraat ‘ashim, Qira’at Nafi’dan seterusnya). Patut dipahami, hal ini bukan berarti bahwa merekalah yang menciptajan qiraat sendiri, namun qiraat yang mereka anut dan gunakan tetap bersumber dari rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam yang diperolehnya secara talaqqi dari generasi-generasi sebelumya.
Berikut nama Imam qiraat sab’ah dan para perawi yang mahsyur meriwayatkan qiraat darinya[4] :  
  1.  ‘Abdullah bin Amir Al Yahsabi (Imam Ibnu ‘Amir)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu dan ‘Utsman mengambilnya dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya antara lain : Hisyam bin ‘Ammar Ad Dimasyqi (Hisyam) serta Abu ‘Amir “abdullah bin Ahmad Bin Basyir bin Zakwan Ad Dimasyqi (Ibnu Zakwan)
  2. Abu Ma’bad ‘Abdullah bin Katsir Al Makki (Imam Ibnu Katsir)
    Beliau mengambil qiraat dari Ubay bin Ka’b dan ‘Umar bin Khattab radliyallaahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam melalui ‘Abdullah bin Sa’id Al Makhzumi. Para perawinya yang terkenal antara lain Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Abu Bazzah (Al Bazzi) serta muhammad bin ‘Abdurrahman bin Muhammad Al Makhzumi (Qunbul)
  3. Abu Bakr ‘Ashim bin Abin Nujud Al Asadi (Imam ‘Ashim)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ubay bin Ka’b, dan Zaid bin Tsabit radliyallaahu ‘anhum dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam melalui Abu Abdurrahman bin Hubaib As Sulami. Para perawinya yang terkenal antara lain Abu Bakr Syu’bah bin ‘Ayyasy bin Salim Al Asadi (Syu’bah) dan Abu ‘Amr Hafs bin Sulaiman bin Al Mughirah (Hafs)
  4. Zabban bin al ‘Ala bin ‘ammar (Imam Abu Amr)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Umar bin Khattab dan ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhuma melalui Abu Ja’far Yazid bin Al Qa’qa dan Hasan Al Bashri. Hasan Al Bashri mengambil qiraat dari Haththan dan Abul ‘Aliyyah, Abul ‘Aliyyah dari Umar bin Khattab dan ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara Abu ‘Umar Hafs bin ‘Umar (Ad Duri) dan Abu Syu’aib shalih bin Zaiyad As Susi (As Susi)
  5. Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim Al Laitsi (Imam Nafi’)
    Beliau mengambil qiraat dari banyak guru, diantaranya ‘Abdurrahman bin Hurmuz yang mengambil qirat dari ‘Abdullah bin Abbas dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma yang mengambil qiraah dari Ubay bin Ka’b radliyallaahu’anhu. ‘Ubay bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara lain Abu Musa ‘Isa bin Mina (Qalun) dan “utsman bin Sa’id Al Mishri (Warsy)
  6. Hamzah bin Hubaib Az Zayat (Imam Hamzah)
    Beliau mengambil qiraat dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu melalui Abu Muhammad bin Sulaiman bin Mahran Al ‘Amasyi yangmengambil qiraat dari Abu Muhammad Yahya Al Asdi dari Alqamah bin Qais. Alqamah bin Qais talaqqi dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallaahu ‘Alayhi Wa Sallam. Para perawinya yang terkenal antara Abu Muhammad Khalaf bin Hisayam Al Bazzaz (Khalaf) dan Abi ‘Isa Khallad bin Khalid As Sairafi (Khallad)
  7. Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah Al Kisa’i (Imam Al Kisa-i)
    Beliau mengambil qiraat dari Imam Hamzah dan juga talaqqi kepada Muhammad bin Abu Laili dan ‘Isa bin ‘Umar. Sementara ‘Isa Bin ‘Umar mengambil qiraat dari Imam ‘Ashim. Para perawi Imam Al Kisa-i yang terkenal antara lain Al Lais bin Khalid Al Baghdadi (abu Harits) serta Abu ‘Umar Hafsh bin ‘Umar (ad Duri al Kisa-i)
Qiraat Al qur’an yang dibawa oleh ketujuh imam qiraat diatas bukanlah hasil ijtihad, melainkan perkara tauqifi yang berpegangkepada riwayat-riwayat mutawaatir[5]Qiraat yang banyak dipelajari dan dipakai oleh kaum Muslimin di Indonesia adalah qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh thariqah Syatibiyyah. Riwayat Hafs memiliki 2 thariqah yaitu thariqah Syatibiyah dan thariqah Thayyibatun Nasyr. Lebih lanjut tentang kaidah qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh thariqah Syatibiyyah dan dan sedikit kaidah dari thariqah Thayyibatun Nasyr akan dibahas pada pembahasan ilmu tahsin/tajwid selanjutnya. Wallahu a’lam.

Maraji’ :
Ensiklopedi Islam
Diambil dari Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, Ustadz Acep Iim A.
Kaidah Qiraat Tujuh
Metode Asy Syafi’i, Abu Ya’la Kurnaedi Lc., dan Nizar Sa’ad Jabal Lc., M.Pd. 

[1] Ensiklopedi Islam Jilid IV:142

[2] Kaidah Qiraat Tujuh : 1

[3] Kaidah Qiraat Tujuh : 5

[4] Kaidah qiraat Tujuh 6-10

[5] Kaidah Qiraat Tujuh :14

arsip :  tashfiyah.or.id

Selasa, 26 Juni 2012

KESEMUTAN PERTANDA PENYAKIT SERIUS ?!

18.26 Posted by Unknown No comments
Terkadang kita merasakan kesemutan ketika sedang mengetik atau duduk bersila terlalu lama. Kesemutan memang sudah tidak asing lagi bagi kita, karena hamper semua orang pernah merasakannya. Walaupun kelihatannya sepele, kesemutan sering menimbulkan rasa tidak nyaman. Selain itu, kesemutan juga bisa menjadi salah satu tanda adanya gangguan saraf dan gejala penyakit serius. Pada kesempatan kali ini, diangkat pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesemutan, termasuk beberapa kiat untuk mencegahnya.

APAKAH KESEMUTAN ITU?
Kesemutan dalam ilmu kedokteran merupakan sebuah gejala gangguan pada fungsi saraf atau aliran darah yang mengakibatkan terjadinya perubahan sensasi yang dirasakan seseorang. Semula dari sensasi yang tidak terasa menjadi kesemutan, baal (sensasi tebal), atau sedikit nyeri bila anggota tubuh bergerak sedikit saja. Gangguan fungsi saraf bisa terjadi karena ada kerusakan pada saraf. Ada pula karena gangguan aliran darah yang menimbulkan pemberian makanan di saraf terhambat dan menyebabkan kesemutan. Penyebabnya bermacammacam, bisa hanya karena tangan kita tertekuk (terlipat) lama atau tertindih sehingga menghambat aliran darah dan menjadi kesemutan atau bisa juga karena adanya penyakit-penyakit tertentu.

KAPAN HARUS WASPADA?
Kita harus waspada jika ada tanda-tanda seperti kesemutan yang tidak hilang setelah bagian tubuh digerak-gerakkan, atau bila pada awalnya hanya terasa di dua jari kemudian menjalar ke semua jari, lalu merambat ke tangan, atau semula hanya dialami sebagian kecil organ tubuh namun kemudian merambat ke bagian tubuh yang lebih luas, atau bila semula hanya terjadi sekali-sekali kemudian menjadi semakin sering, atau bila kesemutan menjadi rasa kebal (mati rasa). Jika kita mengalami gejala-gejala semacam ini, sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter. Dokter akan menyelidiki bagian tubuh yang mengalami kesemutan, meliputi luasnya, tempat awal kesemutan, dan perkembangan kesemutan itu sejak awal. Semua informasi ini akan menunjukkan penyebab terjadinya kesemutan. Barangkali ada gangguan pada saraf tepi, otot, sumsum tulang belakang, atau mungkin otak.

GEJALA PENYAKIT SERIUS
Kita perlu mengetahui beberapa penyakit serius yang ditandai dengan gejala kesemutan, antara lain:

1. Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Gejalanya berupa kesemutan yang menyerang ujung jari (biasanya tangan kanan) dan kemudian berkembang menjadi rasa tebal saat digunakan beraktivitas. Gejala kesemutan ini berkaitan dengan rongga di pergelangan tangan (karpal) yang mengalami pembesaran otot-otot sehingga menekan saraf yang melewati terowongan tersebut. CTS bisa menjadi gangguan lebih serius bila dibiarkan cukup lama, misalnya 1 sampai 2 tahun. Pada tahap ini tekanan otot sudah mengganggu aliran darah ke tangan, dan mengakibatkan otot-otot yang mengalami kekurangan nutrisi akan mengecil, dan akibatnya bisa melemahkan otot.

2. Diabetes mellitus (kencing manis). Pada penderita kencing manis, kesemutan adalah gejala kerusakan pembuluh-pembuluh darah. Akibatnya, darah yang mengalir di ujung-ujung saraf berkurang. Gejala yang dirasakan biasanya telapak kaki terasa tebal, kadang-kadang panas, dan kesemutan di ujung jari terus-menerus. Kemudian disertai rasa nyeri yang menikam, seperti ditusuk-tusuk di ujung telapak kaki, terutama pada malam hari.

3. Radang sumsum tulang belakang (myelitis). Terjadi pada orang dewasa, kadang-kadang gejala kesemutan didahului oleh flu berat. Kesemutan yang dirasakan akan menghebat, naik dari ujung jari kaki sampai ke pusar (perut tengah). Gejalanya berkembang menjadi rasa tebal di permukaan kulit. Setelah fase ini, penderita akan mengalami kesulitan berjalan. Ini adalah gejala radang sumsum tulang belakang, yang terjadi karena serangan virus bernama cytomegalovirus (CMV). Pada kasus seperti ini, penderita menjadi tidak bisa mengontrol buang air kecil, dan buang air besar juga sulit. Penyakit ini dapat disembuhkan total, dapat pula cuma sembuh sebagian, tetapi ada juga yang sampai lumpuh.

4. Jantung. Pada penderita sakit jantung, kesemutan dapat juga timbul karena komplikasi jantung dan sarafnya.

5. Rematik. Penyakit yang satu ini juga bisa menimbulkan kesemutan atau rasa tebal. Gejala kesemutan karena rematik ini akan hilang bila rematiknya sembuh.

6. Stroke. Pada penderita stroke, bila yang terserang sistem motorik, maka bisa berakibat lumpuh. Namun, bila yang terserang sistem sensorik, yang dirasakan penderita hanya kesemutan atau baal sebelah, yang disebut sensorik stroke.

ANAK-ANAK JUGA BISA MENGALAMINYA
Jika si kecil mengeluh kesemutan, besar kemungkinan akibat kekurangan vitamin B. Biasanya ini diderita anak-anak yang agak besar. Berbeda dengan orang dewasa, kesemutan pada anak jarang terjadi, karena jaringan sarafnya masih fleksibel dan anak-anak biasanya lebih aktif bergerak. Untuk mencegahnya, kita bisa memberikan makanan yang banyak mengandung vitamin B seperti daging, hati, sayuran hijau, dan kacang-kacangan. Vitamin B bisa membantu mengaktifkan sistem saraf dengan membantu produksi neurotransmitter-koenzim pembawa rangsangan pesan dari satu sel saraf ke sel saraf yang lain.

KIAT MENGHINDARI KESEMUTAN
Ada beberapa kiat yang bisa kita praktekkan untuk menghindari kesemutan, antara lain :

1. Jika sedang duduk bersila, sesekali ubahlah posisi, jika awalnya kaki kanan diatas kaki kiri, maka lakukan sebaliknya. Selain itu, hindari duduk di kursi dengan menyilangkan kaki terlalu lama.

2. Bagi yang bekerja dengan menggunakan komputer, sebaiknya membiasakan mengetik dengan pergelangan tangan tidak menyentuh meja. Untuk itu, hendaknya mengetik dengan posisi duduk di kursi yang tingginya proporsional dengan meja dan keyboard (papan ketik).

3. Hindari kebiasaan bertopang dagu dan berdiri disamping meja sambil menopang badan dengan sebelah tangan.

4. Jika anda termasuk orang yang banyak melakukan gerakan-gerakan ketika sedang tertidur, sebaiknya pilih alas tidur yang tidak keras. Supaya tidak terjadi benturan yang bisa menyebabkan gangguan saraf.

5. Hindari posisi tidur dengan meletakkan tangan di belakang kepala atau tertidur sambil duduk dengan posisi ketiak di sandaran kursi/sofa.

6. Jangan menulis dengan posisi tengkurap, tapi duduklah di kursi dengan pantat merapat ke belakang dan punggung lurus menempel pada sandaran.

7. Sebagai umat Muslim, maka hendaklah kita menjauhi minuman keras. Allah subhânahu wa ta’âla dan Rasul-Nya telah melarang meminum khamr/minuman keras karena dapat menimbulkan kemadharatan (bahaya). Di antaranya, para penggemar minuman keras lebih mudah mengalami kesemutan, bila takaran alkohol yang merasuki tubuhnya terlalu banyak. Hal ini akibat alcohol merusak metabolisme vitamin B. Pada saat yang bersangkutan kekurangan vitamin B1, timbullah gangguan pada saraf. Tentu saja, karena vitamin ini salah satu unsur yang diperlukan untuk penghantaran rangsang listrik pada saraf.

8. Banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin B untuk menjaga kesehatan saraf.

JIKA MENGALAMI KESEMUTAN
Untuk mengatasi kesemutan, caranya cukup mudah, yaitu dengan memperbaiki aliran darah di bagian tubuh yang kesemutan. Caranya, secara perlahan digerak-gerakkan saja bagian yang kesemutan tadi hingga hilang. Bisa juga dengan memijat atau melepaskan bendungan yang jadi penghambat aliran darah.

JANGAN ANGGAP SEPELE
Kesemutan yang biasa kita alami ternyata bisa menjadi sinyal kalau ada sesuatu yang salah dengan aliran darah atau saraf kita. Bahkan, kesemutan juga bisa menjadi gejala penyakit serius. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika kita berusaha mencegah terjadinya kesemutan. Berolah raga secara teratur, menjaga sikap tubuh yang baik, mempertahankan pola makan sehat, dan menghindari stres insyaAllâh dapat membantu mencegah kesemutan. Semoga bermanfaat dan mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan nikmat kesehatan bagi kita semua.

(dr. Avie Andriyani Ummu Shofiyyah)

Sumber :
- Prof. Dr. dr. Lumbantobing, Sp.S, Neurologi Klinik , 2006, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
- Kelompok studi serebrovaskuler, Guidelines Stroke 2004 edisi ketiga, PERDOSSI

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

Senin, 25 Juni 2012

MANUSIA BERJALAN DI BULAN

10.40 Posted by Unknown No comments


Benarkah Manusia Pernah Ke Bulan?

“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (sulthon)”
[ArRahman (55) : 33]
“Dan bagi kamu di bumi ini ada “MUSTAQAR” (tempat menetap yang telah di tetapkan) dan kesenangan hidup sampai waktu yang telah di tentukan”.
(QS Al Baqarah:36 & Al A`raaf:24)
Terlepas dari sudah pernah ataukah belum manusia menginjakkan kakinya ke bulan, ada penjelasan menarik sekali dari Syaikh Al Utsaimin -rahimahullahu ta’aala- ketika beliau memberikan penjelasan tafsir surat Shaad ayat 9 dan 10 :
أَمْ عِندَهُمْ خَزَائِنُ رَحْمَةِ رَبِّكَ الْعَزِيزِ الْوَهَّابِ. أَمْ لَهُم مُّلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَلْيَرْتَقُوا فِي الْأَسْبَابِ
“Atau apakah mereka itu mempunyai perbendaharaan rahmat Tuhanmu Yang Maha Perkasa lagi Maha Pemberi? Atau apakah bagi mereka kerajaan langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya? (Jika ada), maka hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit). “
Beliau Syaikh Al Utsaimin -rahimahullah- berkata :
Sebagian ulama ada yang menarik faedah dari ayat ini, yaitu ketidakmungkinan (seseorang) sampai ke bulan, karena Allah berfirman:
(فَلْيَرْتَقُوا فِي الأسْبَابِ)
(maka hendaklah mereka menaiki tangga-tangga (ke langit))
dan firman-Nya selanjutnya:
(جُنْدٌ مَا هُنَالِكَ مَهْزُومٌ مِنَ الأحْزَابِ )
(Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan- golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan),
dan telah dimaklumi bahwa bulan ada di langit**** (penjelasan tentang definisi langit ada setelah perkataan beliau -rahimahullah- di bawah tulisan ini), bila orang-orang yang dituntut untuk menaiki tangga-tangga ke langit adalah para tentara yang terhina lagi terkalahkan (di ayat selanjutnya; ayat 11), maka tidaklah mungkin mereka dapat sampai ke bulan. Pertanyaannya, bisakah dari ayat ini diambil kesimpulan bahwa manusia tidak dapat sampai ke bulan? Dari zahir ayat ini justru bisa kita mungkinkan sebagai dalil bahwa manusia bisa sampai ke bulan, maknanya ayat ini menunjukkan kemungkinan sampainya manusia ke bulan.
Dan ini tentunya bertolak belakang dengan pengambilan dalil sebagian orang, yang sebenarnya tidak tepat ayat ini dipakai sebagai dalil untuk menyatakan ketidakmungkinan manusia sampai ke bulan, karena bulan di langit, yang maknanya di atas, bukan maksudnya di langit yang menjadi atap yang kokoh terjaga. Dan ini adalah masalah yang diketahui kepastiannya dan tidak diperselisihkan.
Jika mendung bisa diungkapkan ia berada di langit, ia bisa disebut di langit, sebagaimana firman Allah:
(أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا )
(Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya) (ar-Ra’du: 17),
Hal itu dikuatkan dengan realita dimana orang-orang sekarang bisa naik di atas langit yaitu di atas awan. Sebagian besar orang biasa naik pesawat di atas awan, awan berada di bawah pesawat, demikian pula bulan di langit,
Allah berfirman,
تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا
“Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (al-Furqan: 61).
Tidak ragu lagi bahwa bulan di langit, namun pertanyaannya, apakah langit yang dimaksud disini adalah langit yang menjadi atap kokoh terjaga (bagi bumi) yang tidak mampu ditembus malaikat-malaikat yang mulia dan manusia pilihan (para rasul) kecuali apabila diizinkan? jawaban pastinya, bukan, tetapi bulan sangat jauh sekali dibawahnya.
Karena itu kita katakan: bahwa dalam ayat di atas tidak terdapat dalil untuk memustahilkan manusia sampai ke bulan, lagi pun juga bukan dalil untuk memungkinkan manusia sampai ke bulan, dan mengabaikan masalah ini dari realita.
Bila memang benar manusia sampai ke bulan, maka syari’at pun tidak pernah mengingkari, sebaliknya, bila dikatakan bahwa manusia tidak sampai ke bulan maka syari’at pun tidak akan menetapkannya. Misalnya berita menyebutkan: Kami sampai ke bulan, dan memang benar demikian, maka kita katakan: alhamdulillah, masalah ini tidak bertolakbelakang dengan syari’at kami, tidak itu dengan kitabullah ataupun sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimaklumi lagi bahwa bulan di bawah bintang-bintang. Mengenai bintang ini Allah menerangkan:
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang.” (al-Mulk: 5).
Tetapi bulan letaknya di bawah bintang, kami dan selain kami pun menyaksikan adakalanya pandangan kita terhadap bintang terhalangi oleh bulan.
Kami dengan mata kepala pernah menyaksikan peredaran bulan dengan bintang (dibelakangnya) yang biasa disebut bintang subuh, dan telah dimaklumi bulan bergeser lebih lambat daripada bintang. Pada saat bintang tadi melewati bulan ternyata (sejenak) hilang dari pandangan. Jadi kejadiannya seperti awan yang menghalangi penglihatan kita dari melihat bulan.
Ada seseorang yang aku percayai bercerita padaku: sesungguhnya kejadian serupa kadang-kadang terjadi dan kami biasa melihatnya. Singkat kata, bulan letaknya bukan di langit yang merupakan atap kokoh (bagi bumi) yang terjaga, bila memang benar ada yang sampai ke bulan, maka hal itu bukan hal yang aneh. Dan tentunya ayat ini bukan dalil untuk meniadakan sampainya (manusia) ke bulan.
—-sekian perkataan beliau—-
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
tambahan :
Definisi langit atau السماء dalam AlQuran memiliki dua makna, yaitu
(1) . Langit yang berarti segala sesuatu yang berada di atas bumi; maka awan, bulan, bintang matahari termasuk bagian dari as samaa’ . Misalnya pada firman Allah Ta’ala : “dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit (As Samaa)” Qs. 2 : 22; As Samaa’ di ayat ini berarti mendung, karena lafadz As Samaa’ adalah bentuk masdar dari سَمَا يَسْمُوْ yang artinya tinggi. Maka as- Sama’ dapat berarti semua yang lebih tinggi. (Tafsir Ibnu Katsi 1/176; dinukil dari buku Matahari mengelilingi Bumi -Ahmad Sabiq)
Berkata Imam Fairuz Abadi rahimahulloh ” سَمَا سُمُوًا artinya adalah tinggi, dan as sama’ adalah sesuatu yang sudah diketahui bersama bisa di mudzakarkan dan juga bisa di muannatskan, juga bbisa berarti atap dari segala sesuatu”
Berkata Syaikh Ibn baaz -rahimahulloh- : Dalil mengenai masalah ini dari firman Allah dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam serta ucapan para ulama tafsir dan ahli bahasa yang menggunakan lafadz as samaa’ untuk sesuatu yang tinggi, sangat banya” (al-adillah an-Naqliyyah hal 10.; dinukil dari buku Matahari Mengelilingi Bumi – Ahmad Sabiq)
(2) . Langit dalam arti makhluq yang mempunyai fisik tertentu yang diciptakan oleh Allah ta’ala tujuh lapis,mempunyai pintu serta tidak bisa ditembus kecuali oleh yang dikehendaki Allah. Diantara yang menunjukkan atas ini semua ialah :
Firman Allah ta’ala :
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” Qs 67 : 3 dan ayat ayat yang senada dengan ini amatlah banyak. Sedangkan dalil dari Hadits Rasululloh shalallahu ‘alayhi wasallam adalah sebuah hadits panjang ketika isra’ mi;raj :
“Kemudian Jibril membawa naik Rasulullah ke langit dunia, lalu Jibril mengetuk salah satu pintunya …Yang saya ingat bahwa Nabi Idris di langit kedua, Harun di langit keempat, seorang Nabi yang saya tidak hafal namanya di langit kelima, Ibrahim di langit keenam dan Musa di langit ketujuh. Maka Nabi Musa berkata, ‘Ya Allah, saya tidak menyangka kalau ada yang melebihi tempatku’. Kemudian Rasulullah naik hingga tiba di Sidratul Muntaha dan Allah mendekat sehingga Rasulullah dengan Allah sedekat anak panah atau malah lebih dekat lagi” (HR. al Bukhari no. 3570 dan 7517, Muslim no. 162-164 dan lainnya)
-dinukil dari buku ‘Matahari Mengelilingi Bumi-
arsip:al'quran dan sain, irilaslogo.wordpress

Syiah mengkafirkan Ahlu Sunnah Wal-Jamaah

10.35 Posted by Unknown No comments
1. Syiah menganggap golongan Ahli Sunnah wal-Jamaah sebagai Nasibi(نَاصِبِي) “Penipu, Pembangkang atau penentang Ali bin Abi Talib” karena mereka mendahulukan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman sebagai khalifah. Begitu juga ulama Syiah mengkafirkan pengikut mazhab Syafie, Hambali, Maliki dan Hanafi karena mereka digolongkan sebagai an-Nasibi. Menurut ulama Syiah lagi:
“Dalam kalangan ulama (Ahli Sunnah) dari Malik, Abi Hanifah, Syafie, Ahmad dan Bukhari semua mereka kafir dan terlaknat”.[1]
Keyakinan Syiah yang sesat ini diambil dari keterangan ulama mereka Syeikh Husein al-’Usfur ad-Darazi al-Bahrani. Beliau menegaskan:
“Riwayat-riwayat para imam menyebutkan bahwa an-Nasibi (si Kafir) adalah mereka yang digelar Ahli Sunnah wal-Jamaah”.[2]

2. Syiah menganggap seluruh Ahli Sunnah wal-Jamaah kafir yang setara dengan orang-orang kafir musyrikin dan najis. Berkata Abu Qasim al-Musawi al-Khuri (ulama besar Syiah):
“Najis ada sepuluh jenis, yang ke sepuluh adalah orang kafir, yaitu yang tidak beragama atau yang beragama bukan Islam atau beragama Islam menolak yang datang dari Islam. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara murtad, kafir asli, kafir zimmi, Khawarij yang ghalu atau an-Nasibi (Ahli Sunnah wal-Jamaah)”.[3]
Berkata Ruhullah al-Musawi (ulama Syiah):
“Sesungguhnya an-Nasibi (Ahli Sunnah wal-Jamaah) dan Khawarij dilaknati Allah Subhanahu wa-Ta’ala. Keduanya adalah najis tanpa diragukan lagi”.[4]

3. Syiah mengkafirkan Ahli Sunnah kerana tidak mengimani Imam Dua Belas. Berkata Yusuf al-Bahrani (ulama Syiah):
“Tidak ada perbedaan antara orang yang kafir kepada Allah Subhanahu wa-Ta’ala, RasulNya dan yang kafir kepada para Imam Dua Belas”.[5]
Dan berkata Kamil Sulaiman (ulama Syiah):
“barangsiapa yang meyakini para Imam Dua Belas maka dia adalah orang yang beriman dan barangsiapa yang mengingkarinya dia adalah kafir”.[6]
Syiah menghalalkan darah dan harta Ahli Sunnah. Berkata Muhammad bin Ali Babawaihi al-Qummi, dia meriwayatkan dari Daud bin Farqad:
“Aku bertanya kepada Abu Abdullah ‘alaihis salam: Bagaimana pendapat engkau membunuh an-Nasibi (Ahli Sunnah wal-Jamaah)? Dia menjawab: Halal darahnya akan tetapi lebih selamat bila engkau sanggup menimpakan dengan tembok atau menenggelamkan (mati lemas) ke dalam air supaya tidak ada buktinya. Aku bertanya lagi: Bagaimana dengan hartanya? Dia menjawab: Rampas sahaja semampu mungkin”.[7]
Berkata Abu Ja’far ath-Thusi (ulama Syiah):
“Berkata Abu Abdullah ‘alaihis salam (Imam as-Sadiq): Ambillah harta an-Nasibi (Ahli Sunnah wal-Jamaah) dari jalan apapun kamu mendapatkannya dan berikan kepada kami seperlima”.[8]
Yusuf al-Bahrani berkata (ulama Syiah):
“Dari dahulu sehinggalah sekarang, bahwa an-Nasibi kafir dan najis secara hukum, dibolehkan mengambil segala harta benda mereka bahkan dihalalkan membunuhnya”.[9]
Begitulah sikap golongan Syiah terhadap Ahli Sunnah wal-Jamaah yang mereka gelar sebagai an-Nasibi. Mereka bukan sahaja memusuhi Ahli Sunnah malah mengistiharkan bunuh dan rampas harta benda Ahli Sunnah wal-Jamaah. Dan rampasan tersebut dianggap oleh mereka sebagai ganimah (harta rampasan perang).

Footnote  :
[1]. Lihat: Asy-Syiah wa as-Sunnah. Hlm. 7. Ihsan Ilahi Zahiri.
[2]. Lihat: Al-Masail al-Khurasaniyah. Hlm. 147.
[3]. Lihat: Manhaj Shalihin. (1/116).
[4]. Lihat: Tahrirul al-Wasilah. (1/116). Cetakan Beirut.
[5]. Lihat: Al-Hadiq an-Nadirah. (28/153). Cetakan Beirut.
[6] Lihat: Kitabul Khalash Fi Zilli al-Qaimmul Mahdi. Hlm. 44. Cetakan Beirut, Lebanon.
[7]. Lihat: ‘Ilal asy-Syar’i. Hlm. 44. Cetakan Beirut.
[8]. Lihat: Tahzibul Ahkam. (1V/122) Cetakan Tehran.
[9]. Lihat: Al-Hadiq an-Nadirah Fi Ahkam al-Atraf at-Tahirah. (X11/323-324).

JALAN INI BERAT

10.32 Posted by Unknown No comments

Setiap hamba akan di uji oleh Alloh Subhanahu wa-ta'ala dengan perkara2 syari dan perkara2 takdir yg di ujikan kpd hambanya.
Bagaimana kita setelah menuntut ilmu syari lalu mengamalkan setiap perintah dari Alloh lewat Rasul Nya .Allah menuntut kita tunduk dan patuh kpd perintah Nya dalam perkara yg kita sukai maupun yg tidak disukai. Totalitas semua itu adalah ujian berat yg di ujikan kpd kita , siapa yg paling taat dan tunduk akan perintah Nya.

Allah berfirman :

"Apakah kalian mengira kalian akan masuk surga, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah". Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah (2): 214)

Jalan ini berat ..
Hawa nafsumu kadang mengatakan ketaatan, kadang hawa nafsu membawamu kepada kemaksiatan. dan kita selalu berperang di dalamnya.Sudahkah kita merasa aman setelah melewati semua ujian itu?

Jalan ini berat..
setelah melewati turunan dan tanjakan disertai lobang2 yg dalam, disertai penyakit, onak dan duri, bahkan sakit hati yg menikam.

Jalan ini berat ..
Nabi Nuh 950 th merintih dalam cacian dan makian, namun beliau terus mendaki dan berjalan di atas jalan yg lurus menuju Tuhannya.
Nabi Musa hampir2 saja binasa oleh pasukan firaun ,
Nabi Ibrahim di masukan ke dalam api karena mempertahankan Tauhidnya.
Namun jalan inilah jalan yg ditempuh oleh para syuhada, para mujtahid, orang2 sholeh dan orang yg menanamkan tauhid dan sunnah dalam hidupnya.

Rasulullah telah memberitahukannya kpd kita ;
“Saya wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati (penguasa) walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak belian. Dan sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang (masih) hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan Sunnah (jalan atau cara hidup)-ku dan sunnah para Al-Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan adalah sesat.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan lainnya, dari Al-’Irbadh bin Sariyah )

Dan ingatlah berita gembira yg disampaikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman Nya :

“Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)


catatan dari kajian audio  'jalan ini berat' (ustadz Abu Zubeir Al-Hawaary)
Bandung, 13 februari 2012

Ahlul Bid’ah Pemecah Belah Umat

10.30 Posted by Unknown No comments
Tafsir QS. Hud 118-119 :

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat). Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka … .” (QS. Hud : 118-119)

I.                Makna Lafadh

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu … .”
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa Dia Maha Kuasa untuk menjadikan mereka semua sebagai umat yang satu di atas keimanan atau kekufuran. Demikian perkataan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 2/481 ketika menerangkan ayat Allah yang mulia ini.
Imam Qatadah rahimahullah menjelaskan : “Kalau Allah menghendaki, tentu Dia akan menjadikan seluruh umat manusia ini sebagai Muslimin.” (Jami’ul Bayan 7/137 nomor 18712)

“Mereka senantiasa berikhtilaf (berselisih pendapat) … .”
Para ulama Ahli Tafsir di kalangan Salaf berbeda pendapat di dalam menerangkan maksud ikhtilaf yang ada dalam ayat ini dalam beberapa pendapat sebagai berikut :
1.      Sebagian ada yang menyatakan bahwa ikhtilaf yang dimaksud adalah ikhtilaf dalam masalah agama dan ahwa (hawa nafsu).
Menurut Al Hasan Al Bashri : “Seluruh umat manusia berselisih dalam beraneka ragam agama kecuali yang dirahmati oleh Rabbmu karena orang yang dirahmati tidak akan berselisih.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18715)
Kata Imam ‘Atha’ : “Mereka (orang-orang yang ikhtilaf) adalah yahudi, nashrani, dan majusi, sedangkan Al Hanafiyah (kaum Muslimin) adalah orang-orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla.” (Jami’ul Bayan 7/137 nomor 18713 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)

Kata Ikrimah, murid Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma : “Mereka senantiasa ikhtilaf dalam hawa nafsu.” Hal ini seperti yang dinukilkan oleh Imam Ibnu Jarir At Thabari dalam Tafsir-nya, Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18727 dan Imam As Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur 4/492.

2.      Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa ikhtilaf yang dimaksud dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam masalah rizki, sebagian ada yang kaya dan yang lain fakir miskin.
Dalam sebuah riwayat dari Al Hasan Al Bashri disebutkan bahwa beliau rahimahullah mengatakan : “Yakni mereka berikhtilaf dalam masalah rizki sehingga sebagian mereka mengejek dan menghinakan sebagian yang lain.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18732 dan Ibnu Katsir 2/482)

3.      Sebagian lagi ada yang menyebutkan bahwa ikhtilaf dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam hal rahmat dan maghfirah (ampunan) seperti yang dibawakan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya, Jami’ul Bayan 7/139.
Dari tiga pendapat yang disebutkan oleh para pakar tafsir di atas, yang paling rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikhtilaf dalam ayat ini adalah ikhtilaf dalam beraneka ragam agama dan hawa nafsu, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam tafsirnya. Beliau mengatakan : “Pendapat yang paling kuat dalam menerangkan pengertian ikhtilaf yang tersebut dalam ayat ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa umat manusia ini senantiasa berikhtilaf dalam perkara agama dan hawa nafsu mereka. Sehingga agama, hawa nafsu, dan kelompok mereka beraneka ragam bentuknya, kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla, yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan membenarkan para Rasul-Nya. Hal ini karena mereka tidak pernah berikhtilaf dalam mengesakan Allah, membenarkan para Rasul dan risalah yang mereka bawa. (Jami’ul Bayan 7/139)
Pendapat ini juga dikuatkan dan dishahihkan oleh Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya 2/481.
Oleh sebab itu, para Ahli Tafsir menjelaskan bahwa mukhtalifin (orang-orang yang ikhtilaf) dalam ayat ini adalah yahudi, nashrani, majusi, dan ahlul bathil (ahlul bid’ah) dari kalangan Muslimin.
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu menjelaskan : “Mereka (orang-orang yang ikhtilaf) adalah ahlul bathil.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18725 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)

Keterangan senada juga dijelaskan oleh murid beliau, Mujahid bin Jabr Al Makki, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abu Ishaq Asy Syathibi dalam kitabnya Al I’tisham 1/62.

“Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabbmu … .”
Orang yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah Ahlul Qiblat (Muslimin), pengikut para Rasul alaihimus shalatu was salam, Ahlul Haq Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu mengatakan : “Mereka adalah Ahlul Haq.” (Jami’ul Bayan 7/138 nomor 18725 dan Ad Durrul Mantsur 4/491)

Pernyataan senada juga ditegaskan oleh para Ahli Tafsir jaman dahulu semisal Mujahid dan Abdullah bin Al Mubarak, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ul Bayan 7/138.
Ikrimah radliyallahu 'anhu mengatakan : “Mereka adalah Ahlul Qiblah (kaum Muslimin).” (Ad Durrul Mantsur 4/492)
Beliau juga menegaskan : “Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” (Al I’tisham 1/62)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan : “Yakni orang yang dirahmati dari pengikut para Rasul, orang-orang yang berpegang teguh dengan norma-norma agama yang diperintahkan kepada mereka. Para Rasul sejak dahulu telah mengajarkan kepada umatnya segala permasalahan agama dan kebiasaan mereka ini terus berjalan sampai penutup para Nabi dan Rasul.
Maka para pengikutnya pun mengikutinya, membenarkan, dan membelanya, akhirnya mereka pun sukses memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, merekalah Al Firqatun Najiah. (Ibnu Katsir 2/481-482)

“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka … .”
Para Ahli Tafsir terdahulu berbeda pendapat dalam menerangkan maksud dan tujuan Allah menciptakan mereka dalam ayat mulia ini.
1.    Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk berikhtilaf sehingga diketahui mana yang bahagia dan mana yang sengsara.
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu mengatakan : “Allah menciptakan mereka menjadi dua golongan. Segolongan dirahmati sehingga mereka tidak berikhtilaf dan yang lain tidak dirahmati sehingga mereka berikhtilaf.” (Jami’ul Bayan 7/140 nomor 18739 dan Ad Durrul Mantsur 4/492)

Imam Malik rahimahullah mengatakan : “Allah menciptakan mereka supaya mereka menjadi dua kelompok. Sekelompok dalam Surga dan yang lain dalam neraka.” (Jami’ul Bayan 7/140 nomor 18742)
Al Hasan Al Bashri menegaskan : “Allah menciptakan mereka untuk ikhtilaf.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18737)
2.    Sebagian lagi ada yang menyatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk dirahmati, tidak untuk diadzab.
Mujahid dan Qatadah mengatakan : “Allah menciptakan mereka untuk dirahmati.” (Jami’ul Bayan 7/140-141 nomor 18743 dan 18747)

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa beliau mengatakan : “Allah menciptakan mereka untuk dirahmati, bukan untuk diadzab.” (Jami’ul Bayan 7/141 nomor 18751)
Ibnu Jarir At Thabari dalam Jami’ul Bayan 71141 mengatakan : “Pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat di atas ialah pendapat yang mengatakan bahwa Allah menciptakan mereka untuk berikhtilaf sehingga diketahui mana yang bahagia dan mana yang sengsara. Karena Allah menyebutkan adanya dua kelompok dari makhluknya, sekelompok ahlul ikhtilaf ahlul bathil dan yang lain Ahlul Haq. Kemudian setelah itu Allah menyatakan : ‘Untuk itulah Dia menciptakan mereka.’ Dalam pernyataan itu, Allah mengumumkan sifat dua kelompok tersebut, lalu Allah mengabarkan bahwa dua kelompok itu dimudahkan untuk menjalani tujuan mereka diciptakan.”

II.           Tafsir Ayat
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa bila Dia menghendaki untuk menjadikan umat manusia ini sebagai umat yang satu di atas keislaman maupun kekufuran, niscaya Dia akan mampu melakukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan dalam ayat lain :
“Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. Yunus : 99)
Tapi sunnatullah telah menetapkan bahwa umat manusia akan berpecah dan berikhtilaf disebabkan kedhaliman, kesesatan, dan penyimpangan mereka.
“Dahulu manusia itu adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan). Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan … .” (QS. Al Baqarah : 213)
Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu menjelaskan : “Jarak antara Nuh dan Adam ada sepuluh qurun (generasi). Semuanya di atas syariat yang Haq, lalu mereka berikhtilaf. Maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/310)
“Mereka berikhtilaf karena telah terjadi di kalangan mereka beragam kesyirikan dan penyimpangan, lalu Allah mengutus para Nabi untuk mengembalikan umat manusia kepada agama tauhid yang mereka anut sebelum terjadi ikhtilaf.” Demikian kata Syaikh Ahmad Sallam dalam bukunya Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi halaman 16.
Dalam buku yang sama, beliau menegaskan : “Perpecahan ini merupakan sunnatullah yang berlaku atas para pembangkang dan penyimpang. Hal ini merupakan hakikat yang dinyatakan dalam Al Qur’an secara qath’i (pasti).” (Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi halaman 15)
Masalah ini pun telah diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam haditsnya :
“Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari ahlul kitab berpecah menjadi 72 millah (agama/syariat), sedangkan umat ini akan berpecah menjadi 73 millah, 72 di neraka dan yang satu di Surga, yaitu Al Jamaah.” (HR. Abu Dawud 12/340, At Tirmidzi 7/397, dan dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam Ash Shahihah nomor 204)
Ikhtilaf (perselisihan) dan perpecahan yang terjadi di umat manusia adalah perpecahan dalam masalah syariat agama dan prinsip-prinsip pijakan beragama, seperti yang disebutkan oleh para Ahli Tafsir ketika menjelaskan surat Hud ayat 118-119 di atas. Inilah yang menyebabkan firqah-firqah (golongan) sesat yang ada di setiap umat terpisah dari Al Jamaah, pengikut para Nabi dan Rasul. Karena ini pulalah mereka disebut sebagai firqah (kelompok sempalan).
Abu Ishaq As Syathibi rahimahullah menjelaskan : “Golongan-golongan ini disebut sebagai firqah karena mereka menyelisihi Al Firqatun Najiah (golongan yang selamat) dalam prinsip agama dan kaidah syariat … .” (Al I’tisham 2/200)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala mengecualikan orang-orang yang Dia rahmati dari perpecahan yang menimpa seluruh umat manusia.
Imam Qatadah rahimahullah menjelaskan : “Orang-orang yang dirahmati Allah adalah Ahlul Jamaah (bersatu) sekalipun rumah, daerah, dan jasad mereka berpisah. Sedangkan orang-orang yang mendurhakai Allah adalah ahlul furqah meskipun rumah, daerah, dan jasad mereka bersatu.” (Jami’ul Bayan 7/139 nomor 18727 dan Ad Durrul Mantsur 4/492)
Ahlul Jamaah akan senantiasa ada, ditolong, dibela, dan dirahmati Allah ‘Azza wa Jalla sampai menjelang hari kiamat nanti. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang ditolong, tidak memudlaratkan mereka orang yang menghinakan mereka sampai menjelang terjadinya kiamat.” (HR. Ahmad 4/436, At Tirmidzi 2287, Ibnu Majah 6, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah 1/3/135)
Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menegaskan kembali bahwa Dia menciptakan umat manusia untuk berikhtilaf agar diketahui orang bahagia yang akan mendapatkan Surga-Nya dan orang sengsara yang mendapatkan siksa-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan ijin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka, ada pula yang bahagia. Adapun orang-orang yang celaka maka tempatnya di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Rabbmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia maka tempatnya di dalam Surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain), sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Hud : 105-108)

III.      Ahlul Bid’ah Penyebab Perpecahan Umat
Bila kita membuka lembaran kitab suci Al Qur’an, mengkaji hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan menelaah kitab-kitab para Imam Ahlus Sunnah baik dulu maupun sekarang, kita akan menjumpai beberapa sebab timbulnya perpecahan umat.
“Di antara sekian banyak penyebab perpecahan umat adalah bid’ah dan ahlul bid’ah, karena setiap bid’ah pasti bergandengan dengan furqah (perpecahan) dan sunnah pasti bergandengan dengan jamaah (persatuan).” Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Istiqamah 1/42.
Syaikh Abdus Salam Barjas menegaskan : “Ahlul bid’ah adalah ahlul ikhtilaf dan iftiraq (penyebab perselisihan dan perpecahan) sebab mereka meninggalkan sunnah dan mengikuti subul (jalan-jalan yang menyimpang).” (Dlaruratul Ihtimam bis Sunnah 55)
Syaikh Tsaqil bin Shalfiq Al Qasimi ketika menjelaskan tentang keadaan ikhwanul muslimin dan jamaah tabligh sebagai contoh jamaah bid’ah yang ada di dunia ini menyatakan : “Dua jamaah ini beserta pecahan-pecahannya tatkala muncul di negeri kaum Muslimin semuanya menyebabkan terjadinya perpecahan di kalangan kaum Muslimin, menimbulkan hizbiyah-hizbiyah, permusuhan, kebencian, dan ashabiyah (fanatisme) … dan hal ini termasuk ciri khas ahlul bid’ah … .” (Sallus Suyuf wal Asinnah 120)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’am : 159)
“Dhahir ayat (di atas) menunjukkan bahwa setiap orang yang mengada-adakan bid’ah dalam agama, baik khawarij maupun yang lainnya termasuk dalam ayat ini. Karena bila mereka telah mengadakan bid’ah maka mereka akan saling berdebat lalu mereka pun berpecah menjadi bergolong-golongan.” Demikian kata Al Qadli Ismail sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Ishaq Asy Syathibi dalam Al I’tisham 1/61.
Ibnu Athiyah rahimahullah menegaskan : “Ayat ini mencakup semua ahlul ahwa, ahlul bid’ah, orang-orang yang menyimpang, dan juga orang-orang yang ta’ammuq (berlebih-lebihan) dalam berdebat dan berkecimpung dalam ilmu kalam.”
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya 2/196 menjelaskan : “Ayat ini mencakup semua orang yang memecah belah agama Allah dan menyelisihinya, karena Allah telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang Haq untuk dimenangkan di atas semua agama yang lain. Sedangkan syariat Allah hanya satu, tidak ada ikhtilaf ataupun iftiraq (perpecahan) padanya. Barangsiapa berikhtilaf dalam syariat dan menjadi syiya’ (kelompok-kelompok) semisal ahlul hawa, kelompok-kelompok sesat, dan pengikut millah-millah (agama-agama) sesat, maka Allah telah membebaskan tanggung jawab Rasul-Nya dari mereka semua.”
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan siksa yang berat.” (QS. Ali Imran : 105)
Imam Qatadah menjelaskan : “Yang dimaksud oleh Allah dalam ayat ini adalah ahlul bid’ah.” (Lihat Dlaruratul Ihtimam bis Sunnah halaman 55)
Penutup
Dari uraian di atas, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa salah satu penyebab perpecahan umat adalah ahlul bid’ah, karena termasuk ciri khas dan syiar mereka adalah furqah (perpecahan).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : “ … adapun firqah-firqah lainnya, mereka adalah orang-orang yang menyimpang, biang perpecahan, ahlul bid’ah, dan ahlul hawa … sedangkan syiar mereka adalah mufaraqah (meninggalkan) Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.” (Majmu’ Fatawa 3/345-346)
Dengan demikian, dengan tegas kita menyatakan : Di mana ada kebid’ahan, baik bid’ah ‘amaliyah, bid’ah i’tiqadiyah, maupun bid’ah pemikiran, maka di situ pasti ada perpecahan. Dan di mana terjadi perpecahan maka di situ pasti terjadi bid’ah sebagai biangnya.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dakwah Salafiyah dakwah tauhid dan dakwah sunnah beserta dai-dainya adalah biang perpecahan umat, berarti orang tersebut menuduh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabat pengikutnya sebagai biang perpecahan umat. Inilah ciri khas pada ahlul bid’ah sejak dahulu sampai sekarang.
Orang semacam ini telah menentang dan menyelisihi banyak ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa biang perpecahan umat adalah bid’ah dan ahlul bid’ah.
Kalau ada orang yang mempunyai keyakinan semacam ini maka dia akan terjerumus ke dalam berbagai kebid’ahan yang akan mengantarkan dia kepada kemunafikan dan kekafiran.
Orang semacam ini mustahil akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya, padahal Allah telah mengancam :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya lalu mengikuti selain jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Oleh karena itu mari kita amalkan nasihat yang disampaikan oleh Abul Aliyah, beliau menasihatkan : “Hati-hatilah kalian terhadap kebid’ahan-kebid’ahan yang menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan manusia ini!”
Al Hasan Al Bashri berkomentar : “Mudah-mudahan Allah merahmati dia (Abul Aliyah), dia benar dan telah memberi nasihat.” (Lihat Al Bida’ wan Nahyu ‘Anha halaman 32-33)
Ya Allah, jagalah kaum Muslimin dengan agama-Mu dan Sunnah Nabi-Mu dari berbagai ikhtilaf dalam Al Haq, dari ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu), mengikuti jalan-jalan kesesatan, perkara-perkara yang masih samar (syubhat), penyimpangan, dan perdebatan. Amin, Ya Rabbal Alamin.
Wallahu A’lam Bis Shawab.

geocities.ws/dmgto/tafsir201

BENTUK-BENTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

07.17 Posted by Unknown No comments
Oleh :
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah
Bentuk-Bentuk Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua Adalah :
Pertama.
Bergaul dengan keduanya dengan cara yang baik. Di dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwa memberikan kegembiraan kepada seorang mu’min termasuk shadaqah, lebih utama lagi kalau memberikan kegembiraan kepada kedua orang tua kita.

Dalam nasihat perkawinan dikatakan agar suami senantiasa berbuat baik kepada istri, maka kepada kedua orang tua harus lebih dari kepada istri. Karena dia yang melahirkan, mengasuh, mendidik dan banyak jasa lainnya kepada kita.
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa ketika seseorang meminta izin untuk berjihad (dalam hal ini fardhu kifayah kecuali waktu diserang musuh maka fardhu ‘ain) dengan meninggalkan orang tuanya dalam keadaan menangis, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kembali dan buatlah keduanya tertawa seperti engkau telah membuat keduanya menangis” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i] Dalam riwayat lain dikatakan : “Berbaktilah kepada kedua orang tuamu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Kedua.
Yaitu berkata kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut. Hendaknya dibedakan berbicara dengan kedua orang tua dan berbicara dengan anak, teman atau dengan yang lain. Berbicara dengan perkataan yang mulia kepada kedua orang tua, tidak boleh mengucapkan ‘ah’ apalagi mencemooh dan mencaci maki atau melaknat keduanya karena ini merupakan dosa besar dan bentuk kedurhakaan kepada orang tua. Jika hal ini sampai terjadi, wal iya ‘udzubillah.
Kita tidak boleh berkata kasar kepada orang tua kita, meskipun keduanya berbuat jahat kepada kita. Atau ada hak kita yang ditahan oleh orang tua atau orang tua memukul kita atau keduanya belum memenuhi apa yang kita minta (misalnya biaya sekolah) walaupun mereka memiliki, kita tetap tidak boleh durhaka kepada keduanya.
Ketiga.
Tawadlu (rendah diri). Tidak boleh kibir (sombong) apabila sudah meraih sukses atau mempunyai jabatan di dunia, karena sewaktu lahir kita berada dalam keadaan hina dan membutuhkan pertolongan. Kedua orang tualah yang menolong dengan memberi makan, minum, pakaian dan semuanya.
Seandainya kita diperintahkan untuk melakukan pekerjaan yang kita anggap ringan dan merendahkan kita yang mungkin tidak sesuai dengan kesuksesan atau jabatan kita dan bukan sesuatu yang haram, wajib bagi kita untuk tetap taat kepada keduanya. Lakukan dengan senang hati karena hal tersebut tidak akan menurunkan derajat kita, karena yang menyuruh adalah orang tua kita sendiri. Hal itu merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik selagi keduanya masih hidup.
Keempat.
Yaitu memberikan infak (shadaqah) kepada kedua orang tua. Semua harta kita adalah milik orang tua. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat Al-Baqarah ayat 215.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infakkan. Jawablah, “Harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapakmu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu perbuat sesungguhnya Allah maha mengetahui”
Jika seseorang sudah berkecukupan dalam hal harta hendaklah ia menafkahkannya yang pertama adalah kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tua memiliki hak tersebut sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah di atas. Kemudian kaum kerabat, anak yatim dan orang-orang yang dalam perjalanan. Berbuat baik yang pertama adalah kepada ibu kemudian bapak dan yang lain, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
“Artinya : Hendaklah kamu berbuat baik kepada ibumu kemudian ibumu sekali lagi ibumu kemudian bapakmu kemudian orang yang terdekat dan yang terdekat” [Hadits Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 3, Abu Dawud No. 5139 dan Tirmidzi 1897, Hakim 3/642 dan 4/150 dari Mu'awiyah bin Haidah, Ahmad 5/3,5 dan berkata Tirmidzi, "Hadits Hasan"]
Sebagian orang yang telah menikah tidak menafkahkan hartanya lagi kepada orang tuanya karena takut kepada istrinya, hal ini tidak dibenarkan. Yang mengatur harta adalah suami sebagaimana disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. Harus dijelaskan kepada istri bahwa kewajiban yang utama bagi anak laki-laki adalah berbakti kepada ibunya (kedua orang tuanya) setelah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kewajiban yang utama bagi wanita yang telah bersuami setelah kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kepada suaminya. Ketaatan kepada suami akan membawanya ke surga. Namun demikian suami hendaknya tetap memberi kesempatan atau ijin agar istrinya dapat berinfaq dan berbuat baik lainnya kepada kedua orang tuanya.
Kelima.
Mendo’akan orang tua. Sebagaimana dalam ayat “Robbirhamhuma kamaa rabbayaani shagiiro” (Wahai Rabb-ku kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil). Seandainya orang tua belum mengikuti dakwah yang haq dan masih berbuat syirik serta bid’ah, kita harus tetap berlaku lemah lembut kepada keduanya. Dakwahkan kepada keduanya dengan perkataan yang lemah lembut sambil berdo’a di malam hari, ketika sedang shaum, di hari Jum’at dan di tempat-tempat dikabulkannya do’a agar ditunjuki dan dikembalikan ke jalan yang haq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Apabila kedua orang tua telah meninggal maka :
Yang pertama : Kita lakukan adalah meminta ampun kepada Allah Ta’ala dengan taubat yang nasuh (benar) bila kita pernah berbuat durhaka kepada kedua orang tua sewaktu mereka masih hidup.
Yang kedua : Adalah mendo’akan kedua orang tua kita.
Dalam sebuah hadits dla’if (lemah) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apakah ada suatu kebaikan yang harus aku perbuat kepada kedua orang tuaku sesudah wafat keduanya ?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu shalat atas keduanya, kamu istighfar kepada keduanya, kamu memenuhi janji keduanya, kamu silaturahmi kepada orang yang pernah dia pernah silaturahmi kepadanya dan memuliakan teman-temannya” [Hadits ini dilemahkan oleh beberapa imam ahli hadits karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang lemah dan Syaikh Albani Rahimahullah melemahkan hadits ini dalam kitabnya Misykatul Mashabiih dan juga dalam Tahqiq Riyadush Shalihin (Bahajtun Nazhirin Syarah Riyadush Shalihin Juz I hal.413 hadits No. 343)]
Sedangkan menurut hadits-hadits yang shahih tentang amal-amal yang diperbuat untuk kedua orang tua yang sudah wafat, adalah :
[1] Mendo’akannya
[2] Menshalatkan ketika orang tua meninggal
[3] Selalu memintakan ampun untuk keduanya.
[4] Membayarkan hutang-hutangnya
[5] Melaksanakan wasiat yang sesuai dengan syari’at.
[6] Menyambung tali silaturrahmi kepada orang yang keduanya juga pernah menyambungnya
[Diringkas dari beberapa hadits yang shahih]
Sebagaimana hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma.
“Artinya : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman bapaknya sesudah bapaknya meninggal” [Hadits Riwayat Muslim No. 12, 13, 2552]
Dalam riwayat yang lain, Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma menemui seorang badui di perjalanan menuju Mekah, mereka orang-orang yang sederhana. Kemudian Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada orang tersebut dan menaikkannya ke atas keledai, kemudian sorbannya diberikan kepada orang badui tersebut, kemudian Abdullah bin Umar berkata, “Semoga Allah membereskan urusanmu”. Kemudian Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhumua berkata, “Sesungguhnya bapaknya orang ini adalah sahabat karib dengan Umar sedangkan aku mendengar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Artinya : Sesungguhnya termasuk kebaikan seseorang adalah menyambung tali silaturrahmi kepada teman-teman ayahnya” [Hadits Riwayat Muslim 2552 (13)]
Tidak dibenarkan mengqadha shalat atau puasa kecuali puasa nadzar [Tamamul Minnah Takhrij Fiqih Sunnah hal. 427-428, cet. III Darul Rayah 1409H, lihat Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal 213-216, cet. Darul Ma'arif 1424H]
[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

arsip : almanhaj.or.id