Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Selasa, 25 Desember 2012

Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits

05.47 Posted by Unknown , No comments
Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,

فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).

Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

KENYATAAN UMAT

Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.

Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].

RUJUKAN MEMAHAMI NASH

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].

Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.

Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:

- Menafsirkan Alquran dengan Alquran.
- Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in.
- Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab.

Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Alquran ialah:

- Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
- Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
- Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
- Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
- Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).

Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:

Firman Allah Ta’ala,

وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).

Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).

Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.

Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].

Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].

Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].

Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.

Penulis: Abu Isma’il Muslim al Atsari
Artikel www.muslim.or.id

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
- Menafsirkan Alquran dengan Alquran.
- Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in.
- Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Alquran ialah:
- Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
- Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
- Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
- Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
- Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Penulis: Abu Isma’il Muslim al Atsari
Artikel www.muslim.or.id

Minggu, 23 Desember 2012

KEBATILAN PASTI AKAN TERSINGKIR

03.49 Posted by Unknown , No comments
Oleh :
Ustadz Arief B. bin Usman Rozali


أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ ۚ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan. [Ar Ra'd/13:17]

Para ulama berselisih pendapat tentang tempat diturunkannya surat Ar Ra'd yang mulia ini. Di antara mereka ada yang mengatakan makkiyah, ada yang mengatakan madaniyah, ada yang mengatakan sebagian besarnya makkiyah kecuali beberapa ayat, dan ada pula yang mengatakan sebagian besarnya madaniyah kecuali beberapa ayat [1].

PENJELASAN BEBERAPA ULAMA TENTANG AYAT DI ATAS
A. Penjelasan al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah
Beliau berkata:[2]
Ayat yang mulia ini mengandung dua perumpamaan, satu untuk menggambarkan kekokohan dan keabadian al haq, dan satu untuk menggambarkan kebinasaan dan kefanaan al bathil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ

"Allah telah menurunkan air dari langit …".

Maksudnya adalah air hujan.

Dan firman-Nya:

فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا

"…maka mengalirlah air itu di lembah-lembah menurut ukurannya…".

Maksudnya, setiap lembah menampung air hujan tersebut sesuai dengan ukurannya. Jika lembah tersebut besar (luas), maka bisa mampu menampung air dalam jumlah yang banyak. Dan jika lembah tersebut kecil (sempit), maka akan menampung air hujan tersebut sesuai ukurannya. Semua ini, merupakan isyarat terhadap hati manusia dan perbedaannya. Diantara hati manusia, ada yang dapat menampung ilmu yang banyak, dan di antara hati manusia, ada pula yang tidak dapat menampung ilmu dalam kapasitas yang banyak. Bahkan ia sempit untuk menampungnya.

Adapun firman-Nya:

فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَدًا رَابِيًا

"…maka arus (air) itu membawa buih yang mengambang…".

Maksudnya; arus air yang mengalir di lembah-lembah tersebut membawa buih-buih yang mengambang di atasnya. Inilah perumpamaan pertama.

Dan firman-Nya:

وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ

"…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api…".

Inilah perumpamaan kedua. Yaitu, dari apa-apa yang mereka lebur di dalam api seperti emas atau perak.

Firman-Nya:

ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ

"… untuk membuat perhiasan…".

Maksudnya, tatkala mereka melebur logam-logam untuk membuat perhiasan dari perunggu atau besi, maka akan mengambanglah sisa-sisa (karat) dari logam tersebut sebagaimana buih-buih tadi mengambang di atas aliran air.

Firman-Nya:

كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

"…Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil…".

Maksudnya. apabila keduanya berkumpul, maka sesuatu yang bathil tidak akan bertahan dan abadi. Sebagaimana buih-buih itu tidak akan pernah menetap berada di atas air. Dan sebagaimana sisa-sisa (karat) tidak akan pernah bercampur bersama logam yang asli ketika dilebur dalam api, bahkan akan hilang dan habis.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً

"…Adapun buih itu, maka dia akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya…".

Maksudnya, tidak dapat dimanfaatkan lagi. Buih tersebut akan berpencar-pencar dan berada di tepi-tepi lembah, atau menyangkut pada pepohonan, atau dihembus oleh angin. Demikian pula sisa-sisa (karat) logam, baik berasal dari emas, perak, perunggu, atau pun besi, maka ia akan hilang dan binasa. Tidak tersisa suatu apapun juga. Yang tersisa hanyalah aliran air atau logam-logam yang dapat dimanfaatkan.

Oleh sebab itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ

"…adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan".

Juga sebagaimana firman-Nya :

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [al-'Ankabût/29:43].

Sebagian ulama salaf mengatakan : "Jika aku membaca (ayat yang berisi) perumpamaan dalam Al Qur'an, lalu aku tidak memahaminya, aku menangisi diriku sendiri. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

…dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu [al-'Ankabût/29:43]

Kemudian, beliau (Imam Ibnu Katsîr rahimahullah ) menjelaskan penafsiran ayat di atas dari 'Abdullah bin 'Abbâs Radhiyallahu anhu , dan menjelaskan pula bahwa tafsir serupa diriwayatkan dari Mujâhid, al-Hasan al-Bashri, 'Athâ', Qatâdah, dan para ulama Salaf lainnya. Sebagaimana yang juga telah dibawakan sebelum beliau dengan sanad-sanadnya oleh Imam ath-Thabari t di dalam tafsirnya.[3]

B. Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
Setelah membawakan ayat di atas, beliau mengatakan :[4]
(Dalam ayat ini) Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan ilmu dengan air yang turun dari langit. Karena dengan ilmu, hati akan hidup, sebagaimana badan akan hidup dengan air. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memperumpamakan hati dengan lembah. Karena hati merupakan tempat ilmu, sebagaimana lembah merupakan tempat air. Maka, di antara hati (manusia), ada yang mampu menampung ilmu yang banyak, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang dapat menampung air yang banyak. Dan di antara hati (manusia), ada yang hanya mampu menampung sedikit ilmu, sebagaimana di antara lembah-lembah ada yang hanya dapat menampung sedikit air.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menjelaskan bahwa pada air tersebut terdapat buih yang mengambang setelah bercampur-baur dengannya. Namun, lama-kelamaan menipis dan menghilang. Dan hal-hal yang masih bermanfaat bagi manusia, ia tetap eksis di bumi. Maka, demikianlah keadaan hati, ia pun dapat tercampuri oleh syahwat dan syubhat. Akan tetapi, tatkala yang tumbuh berkembang dalam hati tersebut adalah al-Haq (kebenaran), maka syahwat dan syubhat pun akan sirna. Dan yang tersisa di dalam hati hanyalah keimanan dan al-Qur'ân yang bermanfaat bagi pemilik hati tersebut dan juga orang lain.

Firman-Nya:

ۚ وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ زَبَدٌ مِثْلُهُ ۚ كَذَٰلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ

…Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil…

Penggalan ayat ini, merupakan perumpamaan yang kedua -setelah perumpamaan yang pertama di atas-. Dan ini merupakan perumpamaan dengan api. Perumpamaan pertama menunjukkan kehidupan, dan perumpamaan yang kedua menunjukkan cahaya yang menerangi. Terdapat perumpamaan yang semisal dengan dua perumpaan di atas, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala terangkan dalam surat Al Baqarah/2, ayat 17-19:

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ ۚ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. .

Maka, adapun orang kafir, sesungguhnya ia berada di dalam kegelapan kekufuran dan kesyirikan. Ia tidak hidup. Seandainya pun ia hidup, kehidupannya bagaikan kehidupan hewan ternak. Sungguh, ia kehilangan kehidupan ruh yang hakiki dan tinggi, yang sebabnya adalah keimanan. Dengan keimanan itulah seseorang dapat merasakan kebahagiaan di dunia dan akherat.

Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para Rasul sebagai perantara antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hamba-Nya, dalam menerangkan kepada mereka apa-apa yang bermanfaat dan berbahaya bagi mereka. Para Rasul telah menyempurnakan kehidupan umat mereka masing-masing, baik yang berkaitan dengan kehidupan mereka di dunia, maupun di akherat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus mereka semua agar mereka mengajak umat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala , menerangkan jalan yang dapat menyampaikan umat mereka kepada-Nya, dan menjelaskan keadaan umat mereka setelah sampai kepada-Nya.

C. Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
Beliau -setelah menjelaskan ayat di atas, dengan keterangan yang sangat mirip dan serupa dengan penjelasan gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,- berkata:[5]

Maksud -dari semua penjelasan di atas-, bahwa kebaikan sebuah hati (seseorang), kebahagiaan, dan keberuntungannya bergantung pada dua pokok perumpamaan di atas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ ۚ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah layak baginya, Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan. Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya), dan supaya pastilah (ketetapan azdab) terhadap orang-orang kafir. [Yâsîn/36:69-70].

Melalui ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa mengambil manfaat dan peringatan dari al- Qur'ân, hanyalah dapat dilakukan oleh orang yang hidup hatinya. Hal ini seperti (yang ditunjukkan) firman-Nya pada ayat yang lain:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya. [Qâf/50:37].

Dan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu…". [al-Anfâl, 8:24].

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa kehidupan kita hanyalah tergantung pada apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya serukan kepada kita, berupa ilmu dan iman. Sehingga dari sini, dapat diketahui bahwa kematian sebuah hati dan kebinasaan adalah dengan sebab hilangnya ilmu dan iman itu (dari hatinya).

BEBERAPA HADITS SHAHIH YANG BERKAITAN DENGAN TAFSIR AYAT DI ATAS DAN PENJELASAN ULAMA TERHADAPNYA
A. Hadits Abu Musa al-Asy'ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ، كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً، فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ، قَبِلَتِ الْمَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوْا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا، وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانُ، لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْساً وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ

Sesungguhnya perumpamaan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya berupa petunjuk dan ilmu, bagaikan hujan deras yang menimpa bumi. Maka, di antara bumi ada yang baik, menyerap air dan menumbuhkan pepohonan kecil dan rerumputan yang banyak. Dan di antara bagian bumi, ada yang keras (gersang), ia menyerap air. Allah pun memberikan manfaat kepada orang-orang dengannya. Mereka dapat minum darinya, mengambil air darinya, dan menggembalakan (hewan ternak mereka). Dan di antara bumi, ada pula yang bebatuan keras, tidak menyerap air dan tidak pula menumbuhkan pepohonan kecil. Itulah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah, Allah memberikan manfaat kepadanya dengan apa-apa yang Allah mengutusku dengannya. Maka ia pun mengetahui (petunjuk dan ilmu tersebut) dan mengajarkannya. Dan itulah pula perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali (terhadap petunjuk dan ilmu tersebut), dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.[6]

Setelah Imam Ibnul Qayyim t menjelaskan hadits di atas dan membagi manusia menjadi tiga golongan, beliau berkata:[7]

"Hadits yang mulia ini mengandung peringatan bahwa ilmu sangatlah mulia, demikian pula mengajarkannya. Ilmu begitu agung pengaruhnya. Sekaligus mengandung peringatan bahwa orang yang bukan ahlinya akan celaka dan sengsara. Hadits yang mulia ini pun menyebutkan golongan-golongan manusia. Di antara mereka ada yang celaka, dan di antara mereka ada pula yang bahagia. Dan yang bahagia di antara mereka, ada yang senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan, dan ada pula yang pertengahan (dalam kebaikan).[8]

Pada hadits ini juga terdapat dalil bahwa kebutuhan hamba akan ilmu seperti kebutuhan mereka kepada hujan, bahkan lebih besar lagi. Dan mereka, jika kehilangan ilmu ini, maka mereka bagaikan bumi yang kehilangan hujan. Imam Ahmad t berkata: "Kebutuhan manusia akan ilmu lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari hanya sekali atau dua kali saja, sedangkan ilmu dibutuhkan sejumlah nafas".

Kemudian Imam Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan ayat ke-17 dari surat Ar Ra'd di atas.

B. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلِيْ وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَاراً، فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا، وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا، وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُوْنَ مِنْ يَدِيْ

Perumpamaan diriku dengan kalian bagaikan seorang yang menyalakan api, lalu mulailah belalang-belalang dan kupu-kupu berjatuhan pada api itu, sedangkan ia selalu mengusirnya (serangga-serangga tersebut) dari api tersebut. Dan aku (selalu berusaha) memegang (menarik) ujung-ujung pakaian kalian agar kalian tidak terjerumus ke dalam neraka, namun kalian (selalu) terlepas dari tanganku[9]

BEBERAPA PELAJARAN DAN FAIDAH AYAT-AYAT [10]
1. Dianjurkan menyampaikan perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman.
2. Kokohan dan kelanggengan al-Haq (kebenaran), dan kehancuran kebatilan merupakan ketetapan dan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala
3. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang-orang yang tunduk patuh untuk beriman dan melakukan ketaatan.
4. Penjelasan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang-orang yang tidak mau tunduk patuh

Demikian, mudah-mudahan tulisan singkat ini dapat menambah ilmu, iman, dan amal shalih kita. Wallâhu A'lamu bish Shawâb .

Maraji’ & Mashadir:
1. Al Quran dan terjemahnya, cet Mujamma’ Mâlik Fahd, Saudi Arabia.
2. Shahîh al-Bukhâri, Abu Abdillah Muhammad bin Ismâil bin al Mughîrah al Bukhâri (194-256 H), tahqîq Musthafa Dîb al Bugha, Dâr Ibni Katsir, al Yamâmah, Beirut, Cet III, Th 1407 H/ 1987 M.
3. Shahih Muslim, Abul Husain Muslim bin Hajjâj al-Qusyairi an-Naisaburi (204-261 H), tahqîq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.
4. Tafsir ath-Thabari (Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarîr ath Thabari (224-310 H), tahqîq Mahmud Syâkir, Daar Ihyâ at Turâts, Beirut, Cet. I, Th. 1421 H/ 2001 M.
5. Zâdul Masîr, Abu al Faraj Jamâluddin 'Abdurrahmân bin 'Ali bin Muhammad al-Jauzi al Baghdâdi (508-597 H), al Maktab al Islami, Beirut, Cet. III, Th. 1404 H/ 1984 M.
6. Tafsir Ibnu Katsîr (Tafsir Al Qur’aan Al ‘Azhîm), Abu al Fida’ Ismâil bin Umar bin Katsîr (700-774 H), tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Dâr ath Thayibah, Riyâdh, Cet I, Th 1422 H/2002 M.
7. Aisarut Tafâsir li Kalâmil 'Aliyyil Kabîr, Abu Bakar Jabir al Jazâiri, Maktabah al-Ulum wal Hikam, Madinah Munawwarah, KSA, Cet VI, Th 1423 H/ 2003 M.
8. An Nihâyah Fi Gharîbil Hadîtsi wal Atsar, Imam Majdud Dîn Abi as Sa’âdat al-Mubârak bin Muhammad al-Jazari Ibnu al-Atsîr (544-606 H), tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, Dârul Ma’rifah, Beirut-Libanon, cet I, th 1422 H/ 2001 M.
9. Majmû'ul Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H), takhrij 'Aamir Al Jazzâr dan Anwar Al Bâz, Maktabah Al Ubaikan, Riyâdh-KSA, Cet I, Th 1419 H/ 1998 M.
10. Ighâtsatul Lahfân fî Mashâyidisy Syaithân, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), takhrîj Muhammad Nâshiruddîn al Albâni (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Dâr Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.
11. Miftâhu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), muraaja'ah Syaikh Bakr bin 'Abdillah Abu Zaid (1429 H), tahqiq 'Ali bin Hasan bin 'Ali al-Halabi, Dâr Ibn al Qayyim, Riyâdh-KSA, & Dâr Ibn 'Affân, Kairo-Mesir, Cet. I, Th. 1425 H/ 2004 H.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Di antara ulama yang mengatakan makkiyah adalah al-Hasan, Sa'îd bin Jubair, Qatâdah, 'Athâ`. Sementara di antara ulama yang mengatakan madaniyah adalah al-Kalbi, Jâbir bin Zaid. Lihat Zâdul Masîr (4/299).
Adapun ath-Thabari t dalam Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân (13/110) berpendapat madaniyah. Dan Ibnu Katsîr t dalam tafsirnya (4/428) berpendapat makkiyah. Wallahu A'lam.
[2]. Tafsîrul Qur'ânil 'Azhîm (4/447).
[3]. Lihat Tafsîrul Qur'ânil 'Azhîm (4/447-448) dan Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîli Ayil Qur'ân (13/161-165).
[4]. Majmu'ul Fatâwa (19/94-95). Lihat pula Majmu'ul Fatâwa (10/766-767), dan Dar`u Ta'ârudhil 'Aqli Wan Naqli (7/427-428) dan (3/186).
[5]. Ighâtsatul Lahfân fî Mashâyidisy Syaithân (1/65).
[6]. HR al-Bukhâri (1/42 no. 79), Muslim (4/1787 no. 2282), dan lain-lain.
[7]. Miftahu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah (1/248-249).
[8]. Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi -hafizhahullah- berkata: "(Hal ini) seperti yang ditunjukkan pada ayat ke-32, dalam surat Fâthir". Lihat ta'lîq beliau dalam Miftâhu Dâris Sa'âdah, Wa Mansyûru Walâyati Ahlil 'Ilmi wal Irâdah (1/248).
[9]. HR Muslim (4/1790 no. 2285), dan lain-lain. Dan hadits yang semakna dengannya diriwayatkan dari Abu Hurairah z, juga dalam Shahîh Muslim (4/1789 no. 2284).
Lihat penjelasan kosa kata yang asing pada hadits ini dalam An Nihayah fii Gharîbil Hadîtsi Wal Atsar (1/299 dan 337, 2/388).
[10]. Di sadur dari Aisarut Tafâsîr li Kalâmil 'Aliyyil Kabîr (1/601). 

Sumber : almanhaj.or.id

Sabtu, 08 Desember 2012

PARA PENJEBAK DAN HASRAT UNTUK MENCELA

14.08 Posted by Unknown No comments
Oleh : Syaikh Shadiq al-Baidhani

Alloh Ta’âlâ menciptakan makhluk dan menjadikan mereka memiliki tabiat untuk melakukan kesalahan dan kemaksiatan, agar hamba-hamba Alloh mengetahui bahwa kesempurnaan itu hanyalah milik Alloh semata. Dia tidak butuh kepada makhluk-Nya, sedangkan makhuk itu bersifat lemah dan selalu bergantung pada tuhannya. Mereka sangat butuh kepada-Nya di dalam setiap setiap gerakan maupun diamnya.

Tidaklah mungkin orang yang berakal itu mendakwakan adanya ishmah (keterpeliharaan dari dosa) dan keterbebasan (dari kesalahan), karena ini merupakan hal yang mustahil secara akal maupun syar’i. Karena itulah Alloh menjadikan taubat itu sebagai obat kemaksiatan. Barangsiapa yang bertaubat, maka Alloh akan menerima taubatnya, dan ini merupakan suatu hal yang telah disepakati oleh umat Islam semenjak zaman kenabian dahulu sampai hari ini.

Hanya saja, ada sebagian orang yang pada hari ini, yang menyandarkan diri mereka kepada ilmu -padahal mereka adalah orang yang jauh dari sebutan ini- meragukan orang yang secara terang-terangan rujuk dari kesalahannya, lantaran dia menyelisihi pendapat mereka, atau mengingkari sikap melampaui batas yang ada pada mereka dan kegemaran mereka memakan daging para ulama. Sampai-sampai sebagian mereka menyatakan bahwa Fulan itu sebenarnya tidak rujuk/taubat, karena apa yang disembunyikannya berlainan dengan yang ditampakkannya. Wahai, Maha Suci Alloh yang mengetahui hal yang ghaib, mereka masuk ke dalam urusan hati hamba, sampai-sampai menyatakan suatu perkara yang ghaib. Ini adalah suatu kebodohan yang nyata!

Inilah Nabi kita Shallallâhu ‘alaihi wa Sallam yang bersabda :

إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أن أشق بطونهم

“Sesungguhnya aku tidak diperintahan untuk menyelidiki tentang hati manusia dan tidak pula menyibak batin mereka.”

Beliau juga berkata kepada Usâmah yang membunuh seorang lelaki (ketika perang) setelah lelaki itu mengucapkan syahadat Lâ Ilâha illallôh :

كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله

“Bagaimana kamu bisa membunuhnya setelah dia mengucapkan Lâ Ilâha illallôh?”

Usâmah menjawab : “Sesungguhnya dia hanya ingin melindungi diri (supaya tidak dibunuh).”

Lantas Nabi menjawab :

فهلا شققت عن قلبه

“Apakah kamu telah membelah dadanya?”

Demikian pula di dalam hadits Miqdâd yang semisal, di dalam kisahnya turun firman Alloh Ta’âlâ :

وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ أَلْقَىٰ إِلَيْكُمُ السَّلَامَ لَسْتَ مُؤْمِنًا تَبْتَغُونَ عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu: “Kamu bukan seorang mu’min”, dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia.” (QS an-Nisâ : 94)

‘Umar bin al-Khaththâb berkata :

من أظهر لنا خيراً أجبناه وواليناه عليه ، وإن كانت سريرته بخلاف ذلك ، ومن أظهر لنا شراً أبغضناه عليه وإن زعم أن سريرته صالحة

“Barangsiapa yang menampakkan kebaikan di hadapan kita, maka akan kita sambut dan kita berikan dia loyalitas, walaupun batinnya menyatakan lain. Dan barangsiapa yang menampakkan keburukan di hadapan kita, maka kita akan membencinya walaupun dia mengira bahwa batinnya baik.”

Betapa banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya di dalam mengkritik Fulan dan menyebut kesalahan-kesalahannya, bahkan sampai mencari-cari dan memburu kesalahan-kesalahan terbarunya, kemudian menyebarkannya kepada masyarakat, tanpa memilah antara orang yang berilmu dengan yang jahil. Akibatnya mereka merusak hubungan diantara sesama dan menyebarkan adu domba, kemudian orang-orang jahil pun menambah-nambahi kedustaan, dengan maksud menjatuhkan (kredibilitas) seorang yang berilmu lagi pemberi nasehat ini.

Mereka menyandarkan metoda mereka yang buruk ini kepada kaum yang berafiliasi kepada ilmu, namun hal ini tidak menghalangi mereka dari penyakit hasad, yang didorong dengan alasan untuk memisahkan masyarakat dari para pengaku-ngaku. Ini adalah suatu keburukan. Orang-orang semisal mereka ini, tidaklah memiliki teladan yang baik dan tidak pula argumentasi yang kuat, karena motivasi mereka yang jelek, yaitu hasad dan berlomba-lomba untuk mencari ridha orang lain.

Sekalipun kita menerima keilmuan pada mereka, namun penyelewengan yang ada pada mereka menyebabkan kita dapat memastikan secara yakin akan haramnya mengikuti mereka di dalam kebid’ahan ini.

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs bahwa beliau berkata :

خذوا العلم حيث وجدتموه ولا تقبلوا قول الفقهاء بعضهم على بعض فإنهم يتغايرون كما تتغاير التيوس في الزريبة

“Ambillah ilmu darimana saja kalian dapati, dan janganlah kalian menerima ucapan ulama fikih (yang saling mencela) diantara sesama mereka, karena sesungguhnya mereka itu berpindah-pindah sebagaimana kambing yang berpindah-pindah di kandanganya.”

Mereka adalah kaum yang dikenal dengan hasratnya suka mencela, suka berburuk sangka, sering membawa suatu ucapan kepada pemahaman yang buruk, gemar menanti dan mengintai (kesalahan orang lain), merasa senang dengan kesalahan orang lain, dan gemar melakukan ghibah dan adu domba. Hanya saja penampakan mereka seperti orang yang shalih, namun pada saat mereka berkumpul, berkhutbah atau menulis, mereka akan menampakkan hakikat mereka sebagai orang rendahan. Lantas, apakah layak orang seperti mereka ini dianggap sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan?!

[Sumber : Situs Resmi Syaikh al-Baidhânî]

Teks Arab :

    لقد خلق الله الخلق وجَبَلَهم على الخطأ والمعصية ليعلم العباد أنالكمال لله وحده ، وأنه غني عن الخلق ، وأنهم فقراء لا غنى لهم عنه ، محتاجون إليه في كل حركاتهم وسكناتهم.

    ولا يمكن لعاقل أن يدَّعي العصمة والسلامة إذ هذا من الأمور المستحيلة عقلاً وشرعاً.

    لذا جعل الله دواء المعصية التوبة ، ومن تاب تاب الله عليه وهذا ما أجمعت عليه أمة الإسلام من زمن النبوة حتى يومنا هذا.

    إلا أن طبقةًً من الناس اليوم وقد ينتسبون إلى العلم وهم أبعد ما يكون منه يشككون فيمن أظهر التراجع عن خطئه لكونه يخالفهم الرأي أو ينكر عليهم التنطع وأكل لحوم العلماء.

    حتى أظهر بعضهم أن فلاناً من الناس لم يتراجع وأن ما يخفيه غير ما يظهره، فيا سبحان الله اطلع الغيب !؟ ودخل في قلوب العباد حتى يشهد بأمر غيبي ، هذه سفاهة ظاهرة.

    فهذا نبينا صلى الله عليه وسلم يقول : إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أن أشق بطونهم.

    و قال لأسامة في الرجل الذي قتله بعد أن قال لا إله إلا الله ” كيف قتلته بعد أن قال لا إله إلا الله “

    قال : إنما تعوذاً.

    قال : ” فهلا شققت عن قلبه”.

    وكذلك في حديث المقداد نحو هذا و في ذلك نزل قوله تعالى : “و لا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمناً تبتغون عرض الحياة الدنيا”.

    وقد قال عمر بن الخطاب : من أظهر لنا خيراً أجبناه وواليناه عليه ، وإن كانت سريرته بخلاف ذلك ، ومن أظهر لنا شراً أبغضناه عليه وإن زعم أن سريرته صالحة.

    لقد ضيَّعوا أوقاتاً كثيرة في نقد فلان وذكر أخطاءه والبحث والتصيد عن أخطاء جديدة ونشرها بين المجتمعات دون تفريق بين متعلم وجاهل حتى أفسدوا ذات البين وانتشرت فيهم النميمة وفشا الكذب بما يزيده بعض الجهال بقصد إسقاط فلان المتعلم الناصح ، معتمدين في منهجهم الساقط على أقوامٍ ينتسبون للعلم لم يمنعهم داء الحسد من تشجيع هؤلاء بحجة تمييز المجتمعات من الأدعياء.

    وهذا اعتبار فاسد ، ومثل هؤلاء المشجعين لا يعدون قدوةً حسنة ولا حجة مستقيمة لكون الباعث لهم سيئ وهو الحسد أو التنافس لكسب وجوه الناس إليهم.

    ولو سلمنا لهم بالعلم على ما هم عليه من الانحراف لجزمنا قطعاً حرمة متابعتهم في هذه البدعة.

    رُوي عن ابن عباس أنه قال : خذوا العلم حيث وجدتموه ولا تقبلوا قول الفقهاء بعضهم على بعض فإنهم يتغايرون كما تتغاير التيوس في الزريبة.

    إنهم قومٌ عُرِفوا بشهوة التجريح وسوء الظن وحمل الكلام على أسوأ المحامل والتربص والترصد والفرح بالخطأ والغيبة والنيميمة إلا أن صورهم صورالصالحين فإذا اجتمعوا أو خطبوا أو كتبوا ظهروا على حقيقتهم الغوغاء فهل مثلَهم يكون الرجال المصلحون؟

Sumber : http://abusalma.wordpress.com

Rabu, 28 November 2012

Riba Lebih Buruk Dari Pada Zina

22.08 Posted by Unknown , No comments
Dosa Riba Lebih Buruk Dari Pada Zina

22008- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ - يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ - عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».

Dari Hanzhalah, Rasulullah bersabda, "Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali" [HR Ahmad no 22008].

Sanggahan terhadap orang yang menilai dhaif hadits di atas:

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Daruquthni 3/16.

Hadits di atas juga dibawakan oleh al Haitsami dalam Majmauz Zawaid diiringi komentar, "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu'jam Kabir dan Mu'jam Ausath dan para perawi yang ada dalam riwayat Imam Ahmad adalah para perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan atau shahih Muslim".

Hadits di atas dinilai shahih oleh Suyuthi. Namun dinilai sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi sehingga beliau muat dalam buku beliau yang khusus mengumpulkan hadits hadits palsu yang berjudul 'al maudhuat'.

Tindakan Ibnul Jauzi ini disanggah oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya 'al Qoul al Musaddad fi Dzabb 'an al Musnad' setelah beliau membawakan hadits di atas dalam kitab tersebut dengan sanad beliau sendiri.

Daruquthni menilai bahwa yang tepat teks hadits di atas hanyalah perkataan Kaab al Ahbar, seorang tabiin, bukan sabda Nabi.

Alasan Daruquthni adalah karena Ayub dan Laits bin Abi Sulaim keduanya meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah secara marfu [sebagai sabda Nabi]. Sedangkan di sisi lain Abdul Aziz bin Rafi' meriwayatkannya dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah dari Kaab al Ahbar sebagai perkataan beliau.

Yang lebih tepat sanad versi Ayub itu lebih kuat terutama dikarenakan Ayub mendapat dukungan dari riwayat Laits. Sehingga hadits di atas adalah hadits yang shahih dari Nabi [al Mujtaba fi Ahkam wa Akhthar Riba karya Abdurraqib bin Ali bin Hasan al Ibi hal 58, Dar Atsar Shan'a Yaman].

Kandungan hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa riba adalah dosa yang sangat ngeri karena dia adalah kejahatan yang senilai dengan kejahatan zina tiga puluh enam kali padahal zina sekali saja adalah kejahatan yang sangat jelek bagaimana lagi jika sampai berkali kali.

Jika demikian dosa dari satu dirham uang riba bagaimana lagi dengan uang ratusan ribu rupiah yang didapatkan dari riba. Tidak diragukan tentu lebih jelek lagi.

Tentu kita sepakat bahwa seorang wanita itu tidak boleh melacurkan diri alias berzina untuk mendapatkan uang meski dengan alasan keterpaksaan ekonomi. Jika demikian yang kita katakan mengenai dosa zina maka bisa tegas kita katakan bahwa keterpaksaan ekonomi bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk terlibat dalam dosa riba.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.*

Minggu, 25 November 2012

Setiap Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari Rasulullah Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad

22.51 Posted by Unknown No comments
PENJELASAN KAIDAH KEDUA : SETIAP SUNNAH YANG SHAHIH YANG BERASAL DARI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM WAJIB DITERIMA. WALAUPUN SIFATNYA AHAD.

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir.[1]

Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah.[2]

Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah (wafat th. 1393 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya bahwa hadits ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Maha-agungan-Nya sebagaimana firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Mahamelihat.” [Asy-Syuura: 11]

Dengan demikian, Anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah ‘aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawaami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan -baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian ter-penting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menjelaskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau j tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).[4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya. Karena itu seorang Muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.” [5]

PENJELASAN KAIDAH KELIMA : Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara lLahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur-an Dan As-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”


Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:

مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ.

“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [6]

Kewajiban seorang Muslim adalah tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau j dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.

Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban seorang Muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa': 80]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak ber-iman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa': 65]

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka adalah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [An-Nuur: 51]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah sesat, denga kesesatan yang nyata.” [Al-Ahzaab: 36]

Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apapun yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.

Sesungguhnya seorang Muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyerahkan apa yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.

Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat Al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:

مَهْلاً يَا قَوْمِ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ اْلأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ، بِاِخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضاً، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضاً فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ، فَاعْمَلُوْا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ.

“Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara bertengkar seperti ini telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta berpendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan dengan sebagian yang lain. Ingat! Sesungguhnya Al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat Al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling mengetahui.”[7]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

اَلْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ.

“Bertengkar dalam masalah Al-Qur-an adalah kufur.”[8]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan ke-imanan yang benar.”[9]

Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.

Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gungjawabannya.” [Al-Israa': 36]

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“ ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim.” [Al-Qashash: 50]

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ يُضِلُّهُ وَيَهْدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

“Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaithan itu bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan mem-bawanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Hajj: 3-4]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan per-buatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ke-tahui.’” [Al-A’raaf: 33]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang anak-anak kaum musy-rikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.

“Allah-lah Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [10]

Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ.

“Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.”

Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah Azza wa Jalla:

مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar...” [Az-Zukhruf: 58] [11]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,[12] ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ.

‘Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras membantah.’”[13]

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar jauhnya ia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia telah menjadikan sesembahan selain Allah Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pe-lajaran?” [Al-Jaatsiyah: 23][14]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat an-Nukat ‘alaa Nuz-hatin Nazhar Syarah Nukhbatil Fikr (hal. 70-71) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Atsari.
[2]. Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqiil.
[3]. Mudzakkirah fii Ushuulil Fiqh (hal 124), cet. III/Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, th. 1425 H.
[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II/ Darus Sunnah, th. 1414 H.
[5]. Al-Ibaanah libni Baththah (I/260 no. 97).
[6]. HR. Al-Bukhari di dalam Kitaabut Tauhiid. Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).
[7]. HR. Ahmad (II/181, 185, 195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), al-Bukhari fii Af’aalil ‘Ibaad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan, dari Sahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imaam Ahmad (no. 6668, 6702).
[8]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud (no. 4603), dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[9]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 233).
[11]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 1384) dan Muslim dalam Shahiihnya (no. 2659), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir dan al-Hakim (II/447-448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani ha-dits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 141).
[11]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia Radhiyallahu anhuma adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim.
[12]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat saat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma wafat pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyyah.
Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (IV/ 359, no. 704), cet. Daarul Fikr.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 2457 dan 4523), al-Fat-h (VIII/188), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[14]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 228-235).

Sumber : almanhaj.or.id

Senin, 19 November 2012

Peringatan Dari Mencela Ulama

16.40 Posted by Unknown No comments
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Luwaihiq hafizhahullah berkata dalam “Qawa’id Fi At-Ta’amul Ma’a Al-’Ulama” halaman 101-103:

Sesungguhnya mencela ulama’ dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban, dan agama yang mereka anut.

Mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harga diri – harga diri kalian, haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu bida’ yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sam yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah Ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah Ta’ala serta ilmu llah Ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya.”. (I’lam Al-Muwaqi’in: 3/147).

Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkta kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy: “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahakan shahabat Arsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Aku berkata: ” Dia orang zindiq”. Dia berkata: “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata: “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan: “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”. Maka dia berkata: Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan.”. (Tarikh Baghdad: 10/174).

Kemudian beliau berkata:

Demikian ulama salaf berkata tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dang orang-orang setelah mereka.

Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata: “Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (Al-Kifayah: 49).

Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata: “Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya.” (As-Siyar: 7/450).

Semua ini dibawa kepada ucapan tentang seorang ‘alim secara zhalim dan dengan hawa nafsu.

Kemudian beliau berkata:

Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.

Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata: “Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah wibawanya.” (As-Siyar: 17/251).

Menghina ulama adalah sikap menyakiti mereka. Dan menyakiti ulama adalah menyakiti wali-wali Allah dan shalihin, kaarena ulama orang yang pertama kali disifati sebagai wali Allah Ta’ala. Dan ini maknanya bahwa menyakiti ulama adalah perkara yang bahaya. Karena siapa yang memusuhi wali Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala mengumumkan peperangan padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsy,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Siapa memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan padanya peperangan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).

Menghina ahlul ilmi wa fadhl serta mencela dan merendahkannya mereka bahaya bagi agama seseorang, dimana itu bisa mengantarkan pelakunya pada akibat yang tidak dia kira dan tanggung. Seorang munafiq telah mengatai shahabat: “Tidaklah aku melihat seperti para qura’ kita itu yang paling tamak perutnya, paling dusta lisannya dan paling penakut ketika bertemu musuh”. Maka jadilah kalimat ini tanda akan kufurnya orang-orang munafiq ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mereka menolak udzur mereka,
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

“Dan jika engkau tanya mereka niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhny kami hanya bergurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta ma’af, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan orang dari kalian niscaya Kami akan mengadzab golongan yang lain dikarenkan mereka adalah orang yang berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)

Allah Ta’ala telah menjadikan hinaan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya adalah hinaan terhadap Alah Ta’ala.

Kemudian beliau berkata:

Dan menggunjing ulama dosanya lebih besar dari pada menggunjing selain mereka.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kami dan engkau untuk meraih ridha-Nya dan menjadikan kita termasuk orang yang takut dan bertakwa pada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Sesungguhnya daging para ulama rahimahumullah itu beracun, dan kebiasaan Allah Ta’ala dalam mengkoyak tirai penutup orang yang merndahkan ulama itu sangat jelas. Karena menuduh mereka dengan perkara yang mereka bebas darinya adalah hal yang sangat besar. Mengusik kehormatan mereka dengan dusta dan mengada-ada adalah ladang yang membahayakan dan menyelisihi orang yang dipilih Allah Ta’ala dari mereka untuk menyebarkan ilmu adalah akhlaq yang sangat tercela.” (Tabyin Kadzib Al-Muftary: 28)

Janganlah engkau menjadikan para gembel berani mencela ulama. Sesungguhnya sebagian penuntut ilmu bmenjadikan manusia lancang mencela ulama dengan melontarkan ucapan yang tidak dia sangka akan sampai kemana saja. Maka dia amaengatakan: “Fulan tidak diperhitungkan keshahihannya, Fulan tidak diterima pendapatnya”. Bisa jadi perkataan orang yang mengkritik ini benar akan tetapi seyogyanya tidak dikatakan di depan umujm, di depan orang yang baru menuntut ilmu yang tidak bisa menimbang ucapan dan tidak bisa mengukurnya. Bahkan dia mengambil kalimat itu lalau lancang -dengan semboyan kami rijal dan mereka rijal- terhadap ulama kemudia terhadap para imam, demikian seterusnya, maka kejelekan itu awalnya kejelekan.

Diterjemahkan dengan sedikit peringkasan takhrij oleh

‘Umar Al-indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.

http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/07/29/peringatan-dari-mencela-ulama/

Rabu, 14 November 2012

PENJELASAN SETIAP PERKARA BARU YANG TIDAK ADA SEBELUMNYA DI DALAM AGAMA ADALAH BID'AH, SETIAP BID'AH ADALAH SESAT DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA

04.51 Posted by Unknown No comments
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Pengertian Bid’ah
Bid’ah sama artinya dengan al-ikhtira’ yaitu sesuatu yang baru, yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]

Bid’ah secara bahasa (etimologi) adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna.[2] Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan.[3] Apabila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya...” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.[4]

Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah pencipta langit dan bumi...” [Al-Baqarah: 117]

Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.[5]

Bid’ah secara istilah (terminologi) memiliki beberapa definisi yang saling melengkapi menurut penjelasan para ulama, di antaranya:

Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Beliau rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.”[6]

Bid’ah itu sendiri ada dua macam: Pertama, bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan. Kedua, bid’ah dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua.[7] Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan segala sesuatu (selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah.[8]

Beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau ijma’ para ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah dan Jahmiyyah. Mereka beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallaahu a’lam.”[9]

Imam asy-Syathibi rahimahullah (wafat tahun 790 H):[10]
Beliau menyatakan:

اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ ِللهِ سُبْحَانَهُ.

“Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”

Ungkapan: “Cara baru dalam agama,” maksudnya bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasar-nya dalam syari’at.

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at.

Ungkapan “untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56). Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum men-cukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[11]

Beliau rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.”[12]

Beliau rahimahullah menetapkan definisi yang kedua tersebut bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan semata tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, per-syaratan dan kaidah-kaidah syari’at yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu.[13]

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H) rahimahullah :[14]
Beliau rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang di-maksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththab rahimahulla, ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau rahimahullah keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau rahimahullah berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[15]

B. Pembagian Bid’ah[16]
1. Bid’ah Haqiqiyyah
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak memiliki indikasi sama sekali dari syar’i baik dari Kitabullah, As-Sunnah ataupun Ijma’. Serta tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya.[17]

Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ahnya Qadariyyah, bid’ahnya Murji’ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Isra’ Mi’raj dan lainnya.

2. Bid’ah Idhafiyyah
Adapun bid’ah Idhafiyyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya samasekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid’ah haqiqiyyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada As-Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia ada-lah bid’ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.

Adapun perbedaan antara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bid’ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.

Atas dasar ini, maka bid’ah haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pe-langgaran murni dan sangat jelas telah keluar dari syari’at, seperti ucapan kaum Qadariyyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah,[18] mengingkari adanya Ijma’, mengingkari haramnya khamr, mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum (terpelihara dari dosa)[19] ... dan hal-hal lain yang seperti itu.[20]

Dikatakan bid’ah Idhafiyyah artinya bahwa bid’ah itu jika ditinjau dari satu sisi disyari’atkan tetapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi.[21]

Sebagai contoh bid’ah di sini adalah dzikir jama’i. Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dianjurkan dalam syari’at Islam, namun apabila dilaksanakan dengan berjama’ah, beramai-ramai (massal) dan dengan satu suara, maka amalan ini tidak ada contohnya dalam syari’at Islam.

C. Hukum Bid’ah Dalam Agama Islam
Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasihati ummatnya. Kewajiban seluruh ummat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[22]

Demikian juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”[23]

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.

Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.

Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.

Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bid’ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain.[24]

Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in) yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada di dalam Islam bid’ah yang hasanah.

Ibnu ‘Umar Rdadhiyallahu anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.

“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.”[25]

Imam Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H)[26] berkata:

اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا.

“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”[27]

Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada zamannya, wafat th. 329 H.) rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[28]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawaadits wal Bida’ (hal. 40), dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari.
[2]. Mukhtaarush Shihaah (hal. 44).
[3]. Al-Qamuus al Muhiith, Lisaanul ‘Arab dan al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah.
[4]. Mu’jamul Maqaayis fil Lughah (hal. 119).
[5]. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada’a.
[6]. Majmuu’ Fataawaa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108).
[7]. Ibid, (XXII/306).
[8]. Ibid, (IV/196).
[9]. Ibid, (XVIII/346 dan XXXV/414).
[10]. Al-I’tisham (hal. 50), Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II/Daar Ibni ‘Affan, 1414 H.
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. Al-I’tishaam (hal. 51).
[13]. Al-I’tishaam (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah oleh Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthany (hal. 30-31).
[14]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 501, cet. II/Daar Ibnul Jauzi, th. 1420 H) tahqiq Thariq bin ‘Awadillah bin Muhammad. Lihat Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 30-31).
[15]. Shahiihul Bukhari (no. 2010).
[16]. Lihat al-I’tishaam (I/367 dan seterusnya).
[17]. Ibid.
[18]. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan orang-orang yang serupa dengannya. Lihat kitab ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 148).
[19]. Seperti yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah.
[20]. Al-I’tishaam (I/221).
[21]. Ibid.
[22]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44), dari Sahabat Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, hasan shahih.
[23]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Lihat Kitaabut Tauhiid (hal. 82 ) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 76-77).
[25]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bid’ah (hal. 92).
[26]. Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu ‘Ab-dillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah, faqih, ahli ibadah dan Imaamul hujjah. Beliau wafat tahun 161 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau dalam kitab Taqriibut Tahdziib (I/371).
[27]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 238).
[28]. Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no. 7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radadi, cet. II/Darus Salaf, th. 1418 H. 

Arsip : almanhaj.or.id