Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Sabtu, 25 Mei 2013

Kaidah Ke. 3 : Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan

00.08 Posted by Unknown No comments
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga :

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Adanya Kesulitan Akan Memunculkan Adanya Kemudahan

Kaidah ini termasuk kaidah fiqih yang sangat penting untuk dipahami. Karena, seluruh rukhshah dan keringanan yang ada dalam syari'at merupakan wujud dari kaidah ini.

Di antara dalil yang menyangkut kaidah ini, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. [al-Baqarah/2:185].

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [al-Baqarah/2:286].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. [al-Hajj/22:78].

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. [at-Taghâbun/64:16].

Ayat-ayat di atas menjadi landasan kaidah yang sangat berharga ini. Dikarenakan seluruh syari'at dalam agama ini lurus dan penuh toleransi. Lurus tauhidnya, terbangun atas dasar perintah beribadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun.

Demikian pula, syariat ini penuh toleransi dalam hukum-hukum dan amalan-amalannya. Sebagai contoh, ibadah-ibadah yang tercakup dalam rukun Islam. Salah satunya dalam ibadah shalat. Jika kita lihat ibadah ini merupakan amaliah yang mudah dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Demikian pula zakat, hanya memerlukan sebagian kecil dari harta orang yang terkena kewajiban zakat. Itu pun diambil dari harta yang dikembangkan, bukan harta tetap. Dan zakat ini dilaksanakan hanya sekali dalam setahun. Juga ibadah puasa Ramadhan yang hanya dilaksanakan selama satu bulan setiap tahun. Ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali saja seumur hidup bagi orang yang mempunyai kemampuan. Adapun kewajiban-kewajiban lainnya, maka datang secara insidental sesuai dengan sebab yang melatarbelakanginya.

Seluruh ibadah-ibadah tersebut sangat mudah dan ringan. Allah Subanahu wa Ta’ala juga mensyariatkan beberapa hal yang bisa membantu dan memberikan semangat dalam melaksanakan ibadah-ibadah tersebut. Di antaranya dengan disyariatkannya berjama'ah dalam shalat lima waktu, shalat Jum'at, dan shalat hari raya. Demikian pula pelaksanaan puasa yang dilaksanakan secara bersama-sama pada bulan Ramadhan. Juga ibadah haji yang dilaksanakan bersama-sama pada bulan Dzulhijjah.

Tidak diragukan lagi, pelaksanaan ibadah secara berjama'ah akan lebih meringankan pelaksanaan berbagai ibadah, lebih memberi semangat, serta lebih mendorong untuk saling berlomba meraih kebaikan. Sebagaimana juga Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyediakan pahala bagi orang yang mau menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan ikhlas dan sesuai tuntunan Nabi-Nya, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Pahala yang tidak bisa diukur besarnya. Janji Allah k merupakan pendorong terbesar dalam melaksanakan amal kebaikaan dan meninggalkan kejelekan.

Disamping kemudahan-kemudahan ini, masih ditambah lagi, jika ada yang mempunyai udzur sehingga menyebabkannya tidak mampu atau kesulitan melaksanakan hukum-hukum syari'at, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan keringanan sesuai dengan kedaaan dan kondisi orang bersangkutan. Hal ini nampak jelas dalam beberapa contoh berikut.

1. Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak mampu dengan duduk, maka shalat dengan berbaring, dan cukup berisyarat ketika ruku' dan sujud.

2. Seseorang diwajibkan bersuci (thaharah) dengan menggunakan air. Namun, jika tidak bisa menggunakan air karena sakit atau tidak ada air, maka diperbolehkan melaksanakan tayammum.

3. Seorang musafir yang sedang menanggung beratnya perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, diperbolehkan untuk menjama' dan mengqashar shalat, serta diperbolehkan mengusap khuf selama tiga hari, sebagai ganti dari mencuci kaki dalam wudhu`.

4. Orang yang sakit atau sedang bepergian jauh (safar) tetap dicatat mendapatkan pahala dari amal-amal kebaikan yang biasa ia kerjakan ketika dalam keadaan sehat dan tidak bepergian.

Kaidah ini diterapkan dalam berbagai macam pembahasan yang tercakup dalam syari'at agama Islam yang mulia ini. Adapun perwujudan kaidah ini secara nyata dapat diketahui dari contoh-contoh berikut ini.

1. Jika pakaian atau badan seseorang terkena sedikit darah maka dimaafkan, dan tidak harus mencucinya.

2. Boleh beristijmar (membersihkan najis dengan batu atau semisalnya) sebagai pengganti dari istinja' (membersihkan najis dengan air), meskipun dijumpai adanya air.

3. Sucinya mulut anak kecil yang terkadang memakan najis dikarenakan belum bisa membedakaan benda-benda di sekelilingnya.

4. Sucinya kucing. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إَنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

Sesungguhnya kucing itu tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang selalu menyertai kalian. [1]

5. Termaafkan, jika terkena cipratan tanah jalanan yang diperkirakan bercampur dengan najis. Jika memang benar ada najisnya, maka dimaafkan dari najis yang sedikit.

6. Jika pakaian seseorang terkena kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan tambahan selain ASI, maka cukup membasahi pakaian tersebut dengan air dan tidak perlu mencucinya. Demikian pula jika terkena muntahan bayi tersebut.

7. Penjelasan para ahli ilmu, bahwa hukum asal sesuatu dzat adalah suci, kecuali jika diketahui secara pasti tentang kenajisannya. Dan hukum asal segala makanan adalah halal dikonsumsi, kecuali jika diketahui secara pasti tentang keharamannya.

8. Dalam membersihkan badan, pakaian, atau bejana dari najis cukup menggunakan perkiraan. Jika tidak bisa atau kesulitan menentukan kesuciannya secara pasti, maka cukup dengan dikira-kira, jika dianggap sudah suci, maka cukup.

9. Dalam menentukan telah datangnya waktu shalat, cukup dengan perkiraan kuat bahwa waktunya telah datang. Yaitu, jika sulit mengetahui datangnya waktu tersebut secara pasti.

10. Orang yang melaksanakan haji secara tamattu' dan qiran, mereka bisa melaksanakan haji sekaligus umrah dalam sekali perjalanan saja.

11. Diperbolehkan memakan makanan haram, seperti bangkai dan semisalnya, bagi orang yang terpaksa untuk memakannya.

12. Bolehnya jual beli 'ariyah [2] jika ada hajat untuk mendapatkan kurma ruthab (kurma basah).

13. Boleh mengambil upah dari perlombaan pacu kuda, mengendarai onta, dan perlombaan memanah.

14. Bolehnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita jika laki-laki tersebut tidak bisa menunda pernikahan dan khawatir akan terjatuh dalam perzinaan.

15. Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan, sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-masing. Dan pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun. Adapun jika pembunuh tersebut termasuk orang yang berkecukupan dalam harta, apakah ia turut menanggung pembayaran diyat tersebut ataukah tidak? Maka dalam hal ini terdapat perselisihan di kalangan para ulama.

Implementasi (perwujudan) dari kaidah ini sangatlah luas. Contoh-contoh di atas sudah cukup mewakili untuk menunjukkan sedemikian penting kaidah ini.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197  Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Ahmad (5/296, 303), Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Su'ril Hirrah (no. 75), at-Tirmidzi dalam kitab ath-Thaharah, Bab: Mâ Jâ`a fi Su'ril Hirrah (no. 92), an-Nasâ`i (1/55), Ibnu Majah dalam kitab ath-Thaharah, Bab: al-Wudhu` bi Su'ril Hirrah (no. 367), Mâlik (1/45), Abdurrazaq (no. 353), al-Humaidi (no. 430), Ibnu Abi Syaibah (1/31), ad-Darimi (1/187), Ibnu Hibban (no. 121), ath-Thahawi dalam al-Musykil (3/270), Hakim (1/159).
Hadits ini dishahîhkan oleh at-Tirmidzi dan Hakim. Dalam kitab at-Talkhis (1/41) disebutkan: "Hadits ini dishahîhkan oleh Bukhâri, Tirmidzi, Uqaili, dan Daruquthni". Hadits ini juga dishahîhkan oleh Baihaqi, sebagaimana disebutkan dalam al-Majmu' (1/215), dan dishahîhkan juga oleh an-Nawawi.
[2]. 'Ariyah, adalah jual beli kurma ruthab (kurma basah) yang masih berada di pohonnya dengan perkiraan semisal harganya jika kurma itu sudah tua dan menjadi kurma kering, dan dilakukan secara takaran. (Syarah al-Muntaha, 2/197) 

Arsip : almanhaj.or.id 

Jumat, 24 Mei 2013

Kaidah Ke 2 : Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya

23.52 Posted by Unknown No comments
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Kedua :

الوَسِيْلَةُ لَهَا أَحْكَامُ المَقَاصِدِ

Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya

Beberapa hal yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya ialah bahwasanya perkara wajib yang tidak bisa sempurna (pelaksanaannya) kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut hukumnya wajib pula. Dan perkara sunnah yang tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaan sesuatu hal, maka hal tersebut sunnah juga hukumnya. Demikian pula, sarana-sarana yang mengantarkan kepada perkara yang haram atau mengantarkan kepada perkara yang makruh, maka hukumnya mengikuti perkara yang haram atau makruh tersebut.

Demikian pula, termasuk turunan dari kaidah ini, bahwa hal-hal yang mengikuti ibadah ataupun amalan tertentu, maka hukumnya sesuai dengan ibadah yang menjadi tujuan tersebut.

Kaidah ini, merupakan kaidah yang sifatnya kullliyah (menyeluruh), yang membawahi beberapa kaidah lain.

Pengertian الوَسِيْلَةُ (wasîlah) yaitu jalan-jalan (upaya, cara) yang ditempuh menuju (perwujudan) suatu perkara tertentu, dan faktor-faktor yang mengantarkan kepadanya. Demikian pula, hal-hal lain yang berkait dan lawaazim (konsekuensi-konsekuensi) yang keberadaannya mengharuskan keberadaan perkara tersebut, serta syarat-syarat yang tergantung hukum-hukum pada sesuatu tersebut.

Jadi, apabila Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu, maka itu berarti sebuah perintah untuk melaksanakan obyek yang diperintahkan, dan hal-hal terkait yang menyebabkan perintah tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal-hal tersebut. Demikian pula, perintah tersebut juga mencakup perintah untuk memenuhi semua syarat-syarat dalam syari'at, syarat-syarat dalam adat, yang maknawi ataupun kasat mata. Hal ini dikarenakan Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah, mengetahui apa yang menjadi pengaruh-pengaruh yang muncul dari hukum-hukum yang Ia Subhanahu wa Ta’ala syariatkan bagi hamba-Nya berupa lawaazim, syarat-syarat, dan faktor-faktor penyempurna. Sehingga, perintah untuk mengerjakan sesuatu bermakna merupakan perintah untuk obyek yang diperintahkan tersebut, dan juga perintah untuk mengerjakan hal-hal yang tidaklah bisa sempurna perkara yang diperintahkan tersebut kecuali dengannya. Dan (sebaliknya) larangan dari mengerjakan sesuatu merupakan larangan dari hal tersebut dan larangan dari segala sesuatu yang mengantarkan kepada larangan tersebut.

Atas dasar keterangan di atas, berjalan untuk melaksanakan shalat, menghadiri majlis dzikir, silaturahim, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, dan lain-lain masuk dalam kategori ibadah juga. Demikian pula orang yang pergi untuk melaksanakan haji dan umroh, serta jihad fi sabilillah (di jalan Allah l ), sejak keluar dari rumah sampai pulang kembali, maka orang tersebut senantiasa dalam pelaksanaan ibadah. Karena keluarnya (orang tersebut dari rumah) merupakan wasilah (cara) untuk melaksanakan ibadah dan menjadi penyempurnanya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ ﴿١٢٠﴾ وَلَا يُنْفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً وَلَا يَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal shalih pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [at-Taubah/9:120-121].

Dalam hadits yang shahîh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ أَوَ سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan memperjalankannya atau memudahkan jalan beginya menuju ke surga. [HR Muslim].[1]

Sungguh terdapat hadits shahîh yang menjelaskan tentang pahala berjalan untuk melaksanakan sholat, dan setiap langkah yang ditempuh dalam perjalanan tersebut ditulis baginya satu kebaikan dan dihapuskan satu kejelekan.

Dan firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh). [Yasin/36:12].

Yang dimaksudkan dengan "bekas-bekas yang mereka tinggalkan" pada ayat di atas ialah perpindahan langkah-langkah dan amalan-amalan mereka, apakah untuk melaksanakan ibadah ataukah sebaliknya. Oleh karena itu, sebagaimana melangkahkan kaki dan upaya-upaya untuk melaksanakan ibadah dihukumi sesuai dengan hukum ibadah yang dimaksud, maka melangkahkan kaki menuju kemaksiatan juga dihukumi sesuai dengan hukum kemaksiatan tersebut dan kemaksiatan yang lain.

Maka perintah untuk melaksanakan sholat adalah perintah untuk melaksanakan shalat dan perkara-perkara yang shalat tidak sempurna kecuali dengannya seperti thaharah (bersuci), menutup aurat, menghadap kiblat, dan syarat-syarat lainnya. Dan juga, perintah untuk mempelajari hukum-hukum yang pelaksanaan shalat tidaklah bisa sempurna kecuali dengan didahului dengan mempelajari ilmu tersebut.

Demikian pula, seluruh ibadah yang wajib atau sunnah yang tidaklah bisa menjadi sempurna kecuali dengan suatu hal, maka hal itu juga wajib karena perkara yang diwajibkan tersebut, atau menjadi amalan sunnah dikarenakan perkara yang sunnah tersebut.

Termasuk cabang kaidah ini adalah perkataan ulama[2] : "Jika datang waktu sholat bagi orang yang tidak menjumpai air, maka wajib baginya untuk mencari air di tempat-tempat yang diperkirakan dapat ditemukan air di sana". Dikarenakan kewajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan keberadaan hal-hal itu sehingga hukumnya juga wajib. Demikian pula, wajib baginya untuk membeli air atau membeli penutup aurat yang wajib dengan harga yang wajar, atau dengan harga yang lebih dari harga wajar, asalkan tidak menyusahkannya dan tidak menyedot seluruh hartanya.

Dan masuk di dalam kaidah ini juga adalah tentang wajibnya mempelajari ilmu perindustrian yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk mendukung urusan agama dan dunia mereka, baik urusan yang besar maupun yang kecil.

Demikian pula, masuk dalam kaidah ini adalah wajibnya mempelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Ilmu bermanfaat terbagi menjadi dua macam :

Pertama. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu 'ain, yaitu ilmu yang sifatnya sangat diperlukan oleh setiap orang dalam urusan agama, akhirat, maupun urusan muamalah. Setiap orang berbeda-beda tingkat kewajibannya sesuai dengan keadaan masing-masing.

Kedua. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifâyah, yaitu ilmu yang merupakan bersifat tambahan dari ilmu harus dipelajari oleh setiap individu, yang dibutuhkan oleh muasyarakat luas.

Dari sini, ilmu yang sangat dibutuhkan oleh individu hukumnya fardhu 'ain. Adapun ilmu yang sifatnya tidak mendesak jika ditinjau dari sisi kebutuhan individual, namun masyarakat luas membutuhkannya, maka hukumnya fardhu kifâyah. Sebab, perkara yang hukumnya fardhu kifâyah ini, jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang mencukupi, maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain. Dan jika tidak ada sama sekali orang yang melaksanakannya, maka menjadi wajib atas setiap orang.

Oleh karena itu, termasuk cabang kaidah ini adalah semua hal yang hukumnya fardhu kifâyah, seperti mengumandangkan adzan, iqamah, mengendalikan kepemimpinan yang kecil maupun yang besar, amar ma`ruf nahi munkar, jihad yang hukumnya fardhu kifayah, pengurusan jenazah dalam bentuk memandikan, mengkafani, menyolatkan, membawanya ke pemakaman, menguburkannya, serta hal-hal yang menyertainya, persawahan, perkebunan, dan hal hal yang menyertainya.

Termasuk pula dalam kaidah ini, usaha seseorang dalam bekerja yang menjadi wasilah (sarana) baginya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, isteri, anak-anak, budak, dan juga binatang ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya. Dikarenakan hal-hal tersebut hukumnya adalah wajib, dan tidak bisa dipenuhi kecuali dengan mencari rizki dan berusaha mendapatkannya.

Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda datangnya waktu shalat, mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang yang membutuhkan hal tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.

Termasuk pula dalam kaidah ini, setiap perkara mubah yang menjadi wasilah (jalan) untuk meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam melaksanakan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah adzan kedua pada shalat Jum'at, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. [al-Jumu'ah/62:9].

Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang yang akan menggunakannya untuk kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi minuman keras (khamr). Atau menjual senjata kepada orang dalam kondisi fitnah, atau menjualnya kepada musuh dan perampok. Dan juga tidak diperbolehkan menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan menggunakannya dalam berjudi.

Termasuk dalam kaidah ini pula, adalah perbuatan seseorang yang diberi wasiat oleh orang lain, kemudian ia membunuh orang yang memberi wasiat tersebut. Atau pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pemilik harta [3] supaya segera memperoleh warisan tersebut. Maka, keduanya dikenai hukuman dengan tidak berhak memperoleh isi wasiat atau warisan yang menjadi tujuannya tersebut.

Demikian pula seorang suami yang menindas istri tanpa alasan yang dibenarkan, agar istri menyerahkan kekayaan kepada suami hingga mau menceraikannya.

Begitu pula, hiyal (tipu-muslihat) yang ditempuh sebagai wasilah untuk melaksanakan perkara yang haram atau meninggalkan kewajiban, maka hukumnya adalah haram. Sedangkan hiyal yang dipergunakan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi hak seseorang hukumnya diperbolehkan bahkan diperintahkan. Hal ini dikarenakan seorang hamba diperintahkan untuk mengambil sesuatu yang sudah menjadi haknya dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya, baik dengan cara yang terang-terangan maupun tersembunyi.

Hal ini merujuk firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tatkala menyebutkan muslihat yang dilakukan Nabi Yusuf Alaihissallam supaya saudaranya tetap tinggal bersamanya:

كَذَٰلِكَ كِدْنَا لِيُوسُفَ

Demikianlah Kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. [Yûsuf/12:76].

Sama dalam masalah ini tipu-daya untuk menyelamatkan jiwa dan kekayaan, sebagaimana yang dilakukan Khidhir dengan cara merusak perahu yang ia tumpangi supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang zhalim yang merampas setiap perahu bagus yang ia lihat.

Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan peruntukan muslihat tersebut, apakah tujuannya baik ataukah tidak.

Termasuk pula dalam kaidah ini, adalah firman Allah :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…. [an-Nisâ`/4:58].

Sedangkan yang dimaksud dengan amanat, adalah segala sesuatu yang seseorang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, seperti barang titipan, mengurus anak yatim, menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka termasuk dalam upaya untuk menjalankan amanat kepada kepada pemiliknya, adalah menjaga amanat tersebut dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai.

Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut, adalah memberikan makanan dan lainnya jika yang diamanatkan tersebut bernyawa. Adapun dalam penggunaannya, tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan.

Di antara cabang kaidah ini, adalah bahwasannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat kepada semua wasilah yang dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang pada perkara yang diharamkan tersebut. Misal, menyendiri dengan wanita yang bukan mahramnya, atau melihat kepada sesuatu yang diharamkan.

Atas dasar itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ وَقَعَ فيِ الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فيِ الْحَرَامِ ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَى ، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ

Dan barang siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh ke dalam wilayah perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan; dikhawatirkan ia akan masuk ke daerah larangan itu. Ingatlah, setiap raja memiliki daerah larangan; dan daerah larangan Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. [HR Bukhâri].[4]

Termasuk cabang kaidah ini pula, adalah adanya larangan mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan dan kebencian. Misalnya, menyerobot pembeli dari penjual muslim lainnya, menimpali akad orang lain, melamar wanita yang sudah dilamar orang lain, atau mengajukan perwalian atas pengajuan muslim yang lain.

Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula, adalah memberikan dorongan untuk komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkataan maupun perbuatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Pengecualian dalam Kaidah ini
Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah permasalahan nadzar. Hal ini dikarenakan suatu hikmah tertentu yang khusus pada permasalahan tersebut. Sebab, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib, sedangkan bernadzar hukumnya makruh. Padahal menunaikan nadzar tidaklah bisa dilaksanakan kecuali dengan menetapkan nadzar.

Oleh karena itu, Nabi n memerintahkan agar nadzar dilaksanakan dan melarang orang untuk bernadzar. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ , وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيْلِ

Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, dan sesungguhnya nadzar itu dikeluarkan dari seorang yang bakhil. [HR Bukhâri].[5]

Keadaan demikian ini karena mengurangi keikhlasan dalam amalan yang dinadzarkan tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar terjebak pada kesulitan padahal awalnya ia berada dalam kelapangan. Wallahu a'lam.

(Sumber : Al-Qawâ'id wal-Ushûl al-Jûmi'ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî'ah an-Nâfi'ah, karya Syaikh 'Abdur-Rahmân as-Sa'di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin 'Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197  Fax 0271-858196]
______
Footnote
[1]. HR Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad Du'aa`, Bab: Fadhl al-Ijtima' 'ala Tilawatil-Qur`ân, no. 2699 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan lafaznya adalah: مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
[2]. Al Mughni 1/314
[3]. Misalnya, seorang anak membunuh orang tuanya yang kaya, dengan tujuan agar segera mendapatkan warisan dari sang ayah, Red.
[4]. HR Bukhâri no. 52, dan Muslim no. 1599 dari Nu'man bin Basyir -radhiyallahu 'anhu.
[5]. HR Bukhâri no. 6693, dan Muslim no. 1639. 

Sumber : almanhaj.or.id

Senin, 20 Mei 2013

Kaidah Ke. 1 : Allah Dan Rasul-Nya Tidaklah Memerintahkan Sesuatu Kecuali Mendatangkan Maslahat

20.58 Posted by Unknown No comments
QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Pertama :

الشَّارِعُ لاَ يَأْمُرُ إِلاَّ بِمَا مَصْلَحَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ وَلاَ يَنْهَى إِلاَّ عَمَّا مَفْسَدَتُهُ خَالِصَةٌ أَوْ رَاجِحَةٌ

Allah Subhanahu wa Ta’ala Dan Rasul-Nya, Tidaklah Memerintahkan Sesuatu Kecuali Yang Murni Mendatangkan Maslahat Atau Maslahatnya Dominan. Dan Tidaklah Melarang Sesuatu Kecuali Perkara Yang Benar-Benar Rusak Atau Kerusakannya Dominan.


Kaidah ini mencakup seluruh syari'at agama ini. Tidak ada sedikitpun hukum syari'at yang keluar dari kaidah ini, baik yang berkait dengan pokok maupun cabang-cabang agama ini, juga berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’alamaupun yang berhubungan dengan hak para hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an-Nahl/16:90].

Tidak ada satu keadilan pun, juga ihsan (perbuatan baik) dan menjalin silaturahim yang terlupakan, kecuali semuanya telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang mulia ini. Dan tidak ada sedikit pun kekejian dan kemungkaran yang berkait dengan hak-hak Allah Subahnahu wa Ta’ala, juga kezhaliman terhadap makhluk dalam masalah darah, harta, serta kehormatan mereka, kecuali semuanya telah dilarang oleh Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan para hamba-Nya agar memperhatikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, memperhatikan kebaikan dan manfaatnya lalu melaksanakannya. Allah Azza wa Jalla juga mengingatkan agar memperhatikan keburukan dan bahaya yang terdapat dalam larangan-larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut, lalu menjauhinya.

Demikian pula firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ ۖ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

Katakanlah: "Rabbku menyuruh menjalankan keadilan". Dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri) mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. [al-A'râf/7:29].

Ayat ini telah mengumpulkan pokok-pokok semua perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan mengingatkan kebaikan perintah-perintah itu. Sebagaimana ayat selanjutnya menjelaskan pokok-pokok semua perkara yang diharamkan, dan memperingatkan akan kejelekannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: "Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".[al-A'râf/7:33].

Dalam ayat yang lain, tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar bersuci sebelum melaksanakan shalat, yaitu dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. [al-Mâidah/5:6].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dua macam thaharah (bersuci). Yaitu thaharah dari hadats kecil dan hadats besar dengan menggunakan air. Dan jika tidak ada air atau karena sakit, maka bersuci dengan menggunakan debu. Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. [al-Mâidah/5 : 6]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa perintah-perintah-Nya termasuk jajaran kenikmatan terbesar di dunia ini, dan berkaitan erat dengan nikmat-Nya nanti di akhirat.

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maslahatnya seratus persen dan larangan Allah dari sesuatu yang benar-benar rusak, dapat diketahui dari beberapa contoh berikut.

Sebagian besar hukum-hukum dalam syari'at ini mempunyai kemaslahatan yang murni. Keimanan dan tauhid merupakan kemaslahatan yang murni, kemaslahatan untuk hati, ruh, badan, kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan kesyirikan dan kekufuran, bahaya dan mafsadatnya murni, yang menyebabkan keburukan bagi hati, badan, dunia, dan akhirat.

Kejujuran maslahatnya murni, sedangkan kedustaan sebaliknya. Namun, jika ada maslahat yang lebih besar dari mafsadat yang ditimbulkan akibat kedustaan, seperti dusta dalam peperangan, atau dusta dalam rangka mendamaikan manusia, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah perbuatan dusta seperti ini, dikarenakan kebaikannya atau maslahatnya lebih dominan.

Demikian pula, keadilan mempunyai maslahat yang murni; sedangkam kezhaliman, seluruhnya adalah mafsadat. Adapun perjudian dan minum khamr, mafsadat dan bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mangharamkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". [al-Baqarah/2:219].

Jika ada maslahat-maslahat besar dari sebagaian perkara yang mengandung unsur perjudian, seperti mengambil hadiah lomba yang berasal dari uang pendaftaran peserta dalam lomba pacuan kuda, atau lomba memanah, maka hal demikian ini diperbolehkan. Karena lomba-lomba ini mendukung untuk penegakan bendera jihad.

Adapun mempelajari sihir, maka sihir hanyalah mafsadat semata-mata. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ

Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. [al-Baqarah/2:102].

Demikian pula diharamkannya bangkai, darah, daging babi, dan semisalnya yang mengandung mafsadat dan bahaya. Jika maslahat yang besar mengalahkan mafsadat akibat mengkonsumsi makanan yang diharamkan ini, seperti untuk mempertahankan hidup, maka makanan haram ini boleh dikonsumsi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Mâidah/5:3].

Pokok dan kaidah syari'ah yang agung ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa ilmu-ilmu modern sekarang ini, serta berbagai penemuan baru yang bermanfaat bagi manusia dalam urusan agama dan dunia meraka, bisa digolongkan ke dalam perkara yang diperintahkan dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sekaligus merupakan nikmat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya; karena mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan sebagai sarana pendukung.

Oleh karena itu, adanya telegram dengan berbagai jenisnya, industri-industri, penemuan-penemuan baru, hal-hal tersebut sangat sesuai dengan implementasi kaidah ini. Perkara-perkara ini, ada yang masuk kategori sesuatu yang diwajibkan, ada yang sunnah, dan ada yang mubah, sesuai dengan manfaat dan amal perbuatan yang dihasikannya. Sebagaimana perkara-perkara ini juga bisa dimasukkan dalam kaidah-kaidah syar'iyah lainnya yang merupakan turunan dari kaidah ini.

(Sumber : al-Qawaa'id wa al-Ushul al-Jaami'ah wa al-Furuuq wa at-Taqaasiim al-Badi'at an-Naafi'at, karya Syaikh 'Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa'di, Tahqiq: oleh Prof. Dr. Khalid bin 'Ali al-Musyaiqih, Cetakan Dar al-Wathan).

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183



Sumber :

http://almanhaj.or.id