Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Kamis, 27 September 2012

Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme Dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam?

18.18 Posted by Unknown , No comments
(Oleh : Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA)

Dunia internasional secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah  digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa’ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.
Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?
Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?
Harian “Ashsharqul-Ausat” edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zhawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin.
Di antara catatan harian Dr. Aiman al-Zhawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:

"Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu “Ma’âlim Fî At-Tharîq’ meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub-lah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaima kitab beliau yang berjudul “Al-’Adâlah Al-Ijtimâ’iyah fil Islâm” merupakan, hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang.”

Pengakuan Dr. Aiman al-Zhawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa‘ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah “As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah” pada tanggal 27 November 2002 M:
“Tanpa ada keraguan sedikit pun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab.”

Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
“Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan saya pun menerima mereka. Dengan demikian, - berkat karunia Allâh Ta'ala - mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kami pun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi.”
Dan kepada harian Kuwait “Arab Times” pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: “Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka.”
Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zhawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:

NUKILAN 1 :

"Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari’at dan undangundang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula.”
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah 182)

NUKILAN 2 :

"Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini.”
(Al- ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 183)

Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi Anda setelah membaca ucapan ini?
Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr. Aiman Al-Zhawâhiri disebut sebagai “Dinamit”. Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.
Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya “Fî Zhilâlil Qur’ân” ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai “tempat peribadahan Jahiliyah”. Sayyid Quthub berkata:
"Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci.”
Yang dimaksud “ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.
Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:
"Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama‘ah: “Hendaknya merekamemikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akanmenjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya...... Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana menteri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang.”
(Limâdzâ A’ddâmûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55)

Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:

1. ALIRAN HASAN AL-BANNA
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:
"Kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita".

Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.

2. ALIRAN SAYYID QUTHUB
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya, Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai “tempat peribadatan jahiliyyah”.
Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâshir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.

3. ALIRAN MUHAMMAD SURÛR ZAENAL ABIDIN

Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.
Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.
Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama’-Ulama’ Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid’ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama.
Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd hakimiyyah.
Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd hakimiyyah ini:
"Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi selain Allâh. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allâh semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allâh Ta'ala semata. Dari satu sisi, hanya Allâh Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allâh Ta'ala jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari’at dan ajaran-ajaran-Nya. Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari’at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allâh Ta'ala dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir.”
(Al ‘Adâlah Al-Ijtimâ’iyah hlm. 80)
Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An’âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan:
“Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada “lâ ilâha illallâh”. Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari “lâ ilâha illallâh”. Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan “lâ ilâha illallâh”, akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat “al-hakimiyah” pada dirinya. Padahal “al-hakimiyah” adalah sinonim dengan “al- ulûhiyah “.
Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri Anda yang bukan muadzin?
Kedudukan al-hakimiyyah - kewenangan untuk meletakkan syari’at dalam Islam -, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah. Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allâh Ta'ala. Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, Allâh Ta'ala berfirman:
"Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allâh.
Maha suci Allâh, Rabb semesta alam.
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas".
(Qs al A’râf/7:54-55)

Pada ayat 54, Allâh Ta'ala menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allâh Ta'ala. Pada ayat selanjutnya Allâh Ta'ala memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al-ulûhiyah.
Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak ditiru ialah:
  1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub Al-Muftarâ ‘alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh.
  2. Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama’ guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.

Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa’ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa’ûd berkata:
“Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila Anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya Bin Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut. Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin.”

(Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825)

Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita.

(Majalah As-Sunnah Edisi 10/Thn. XIII/Muharram 1431H/Januari 2010M)

Senin, 24 September 2012

Biji Tasbih Bukan Bid’ah

18.28 Posted by Unknown , No comments
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبى للنساء سبحن وإعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضى الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبى أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
وأما التسبيح بما يجعل فى نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه

(Kesimpulannya) jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
وأما إتخاذه من غير حاجة أو إظهاره للناس مثل تعليقه فى العنق أو جعله كالسوار فى اليد او نحو ذلك فهذا إما رياء للناس أو مظنة المراءاة ومشابهة المرائين من غير حاجة
Adapun memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang yang riya’ tanpa ada kebutuhan.
الأول محرم
Jika benar kemungkinan pertama maka hukum perbuatan tersebut adalah haram.
والثاني أقل أحواله الكراهة
Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh.
فإن مراءاة الناس فى العبادات المختصة كالصلاة والصيام والذكر وقراءة القرآن من أعظم الذنوب
Sesungguhnya memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca al Qur’an kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar”.

Sumber:
Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 22, hal 506, cetakan standar.

Artikel : www.ustadzaris.com

Minggu, 23 September 2012

Larangan Banyak Bertanya & Prinsip dalam Menjalankan Syaria’t Agama

23.30 Posted by Unknown No comments
Oleh : Asy-Syaikh 'Abdurrahman bin Naashir As-Sa'diy rahimahullah

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ، إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” [Muttafaqun ’alaihi].[1]

Pertanyaan yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam darinya adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَسْأَلُواْ عَنْ أَشْيَاء إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun” [QS. Al-Maaidah : 101].

Ia merupakan pertanyaan terhadap sesuatu yang ghaib, dimaafkan oleh Allah, atau tidak diharamkan dan tidak pula diwajibkan oleh Allah. Orang yang bertanya tentang hal itu pada waktu turunnya wahyu dan syari’at, boleh jadi akan menjadi wajib karena pertanyaan tersebut. Maka, masuklah orang yang bertanya sebagai orang yang dicela dalam sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْماً مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.

”Sesungguhnya orang Islam yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang semula tidak diharamkan, kemudian diharamkan dari sebab pertanyaannya itu”.[2]

Seseorang dilarang bertanya untuk menentang dan mencari-cari kesalahan, serta menanyakan suatu perkara yang tidak penting yang di sisi lain meninggalkan pertanyaan tentang perkara yang lebih penting.Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti ini dan sejenisnya yang dilarang oleh syari’at.

Adapun pertanyaan untuk mencari bimbingan tentang agama, baik ushul maupun furu’-nya atau perkara-perkara ibadah maupun muamalah, maka ini merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam. Bahkan hal itu sangat dianjurkan karena merupakan sarana untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan memahami hakekat syari’at ini. Allah ta’ala telah berfirman :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

”Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui” [QS. Al-Anbiyaa’ : 7].

وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَا أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ آلِهَةً يُعْبَدُونَ

”Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: "Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?" [QS. Az-Zukhruf : 45].

Dan ayat-ayat yang lainnya.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْراًَ يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

”Barangsiapa yang Allah kehendaki dengannya kebaikan, niscaya Allah akan pahamkan ia dalam ilmu agama”.[3]

Semua itu diperoleh melalui jalan at-tafaqquh fid-diin (memahami ilmu agama), baik melalui penelitian, belajar, maupun bertanya. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda :

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا ؟ فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السَّؤَالُ.

”Mengapa mereka tidak bertanya jika tidak mengerti ? Sesungguhnya obat dari kebodohan adalah bertanya”.[4]

Allah ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersikap lemah-lembut kepada orang yang bertanya dan memberikan apa yang dimintanya dengan tidak menghardiknya; sebagaimana firman-Nya ta’ala :

وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ

”Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya” [QS. Adl-Dluha : 10].

Yang dimaksud ”orang yang meminta-minta” dalam ayat ini meliputi orang yang meminta[5] ilmu yang bermanfaat dan kebutuhkan duniawi, harta atau yang lainnya.

Termasuk dalam cakupan (larangan) dalam hadits di awal adalah : Bertanya tentang kaifiyah shifat Al-Baariy (yaitu Allah). Karena masalah shifat ini seluruhnya adalah sebagaimana dikatakan Al-Imam Malik kepada orang yang bertanya kepadanya tentang kaifiyah istiwaa’-nya Allah ta’ala di atas ’Arsy :

"الاستواء معلوم. والكيف مجهول. والإيمان به واجب. والسؤال عنه بدعة"

”Istiwaa’-nya Allah itu telah diketahui (maknanya), kaifiyah (bagaimana/hakekat)-nya tidak diketahui, mengimaninya (istiwaa’) adalah wajib, dan mempertanyakannya adalah bid’ah”.[6]

Barangsiapa yang bertanya tentang kaifiyah shifat Allah atau bagaimana penciptaan dan pengaturan-Nya, maka katakanlah kepadanya : “Sebagaimana Dzat Allah ta’ala tidak serupa dengan dzat makhluk-makhluk-Nya, maka shifat-Nya juga tidak serupa dengan shifat makhluk-makhluk-Nya”.

Semua makhluk mengenal Allah melalui pengenalan terhadap shifat-shifat dan perbuatan-perbuatan-Nya. Adapun kaifiyah tentang itu semua, maka tidak ada yang mengetahui melainkan Allah ta’ala.

Kemudian, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits dua kaidah yang sangat besar :

Pertama, perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : { فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ } “Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah”. Segala sesuatu yang dilarang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan dan perbuatan yang lahir maupun batin, maka wajib untuk ditinggalkan dan menahan diri darinya; sebagai wujud pelaksanaan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dan tidaklah dikatakan dalam hal larangan : ”semampu kalian”. Hal itu dikarenakan suatu larangan mengandung tuntutan untuk menahan diri yang mana setiap orang mampu untuk melakukannya. Setiap orang pada hakekatnya mampu untuk meninggalkan seluruh apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Manusia sama sekali tidak terdesak untuk membutuhkan hal-hal yang diharamkan secara mutlak, karena hal-hal yang dihalalkan itu sangat luas meliputi seluruh makhluk; baik dalam hal ibadah, mu’amalah, maupun pengaturan mereka.

Adapun kebolehan memakan bangkai, darah, dan daging babi hanyalah bagi mereka yang terpaksa untuk melakukannya; karena dalam kondisi terpaksa, maka hal itu menjadi halal bagi mereka. Hal-hal yang sifatnya dlarurat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang (الضرورات تبيح المحظورات).[7] Maka, hal-hal yang dilarang menjadi diperbolehkan karena keadaan dlarurat. Allah ta’ala hanyalah melarang sesuatu yang haram sebagai satu penjagaan dan pemeliharaan bagi hamba-Nya dari kejelakan dan kerusakan, sekaligus menetapkan kemaslahatan bagi mereka. Apabila hal-hal yang diharamkan itu berhadapan dengan kemaslahatan yang lebih besar – yaitu untuk mempertahankan hidup manusia – maka didahulukanlah kemaslahatan tersebut (sehingga membolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan) sebagai satu rahmat dan kebaikan dari Allah ta’ala.

Adapun pengobatan, maka tidak termasuk cakupan dalam bab ini. Sebab, obat bukan termasuk bagian dari dlarurat. Allah ta’ala menyembuhkan orang sakit dengan sebab yang bermacam-macam, bukan hanya disebabkan satu obat tertentu saja – meskipun obat itu diduga kuat dapat menyembuhkan sakit tersebut. Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berobat dengan sesuatu yang diharamkan, seperti khamr (minuman keras), susu keledai jinak, dan yang semisalnya dari hal-hal yang diharamkan. Berbeda halnya dengan kasus diperbolehkannya memakan bangkai (dalam keadaan terpaksa); karena orang yang melakukan mempunyai keyakinan jika ia tidak memakannya, maka ia akan mati.

Kedua, perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam : { وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ } ”Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian”. Ini adalah satu kaidah yang sangat besar, yang ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

”Maka bertaqwalah kamu kepada Alah menurut kesanggupanmu” [QS. At-Taghaabun : 16].

Semua perkara syari’at ditentukan menurut kesanggupan dan kemampuan seorang hamba. Apabila ia tidak mampu melaksanakan satu kewajiban secara keseluruhan dari kewajiban-kewajiban (yang dibebankan kepadanya), maka gugurlah kewajiban itu darinya. Jika ia mampu melaksanakan sebagian dari kewajiban tersebut – dari sebagian perkara ibadah – maka ia wajib melaksanakan dari apa yang ia mampu, dan gugur apa-apa yang ia tidak mampu melaksanakannya.

Masuk dalam hal ini berbagai perkara fiqh dan hukum yang tidak terhitung. Seorang yang sakit wajib shalat dengan berdiri (jika sanggup). Apabila tidak sanggup, maka boleh dengan duduk. Apabila tidak sanggup duduk, maka boleh dengan berbaring. Dan apabila hal itu tidak sanggup dilakukan juga, maka boleh dengan isyarat kepala atau dengan gerakan mata.

Seseorang wajib untuk berpuasa selama ia mampu. Apabila ia tidak mampu karena sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, maka ia dapat menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya. Namun bila sakitnya masih bisa diharapkan untuk sembuh, maka ia dapat berbuka dan mengganti puasanya (sejumlah hari yang ditinggalkan) pada waktu yang lain.

Termasuk juga, orang yang tidak mendapatkan pakaian penutup untuk shalat wajib, tidak mengetahui arah kiblat, atau sulit melepaskan najis; maka gugurlah apa yang tidak ia sanggupi itu. Begitu pula dengan hal-hal yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat atau syarat-syarat thaharah (bersuci). Barangsiapa yang mempunyai ’udzur bersuci dengan air karena tidak mendapatkannya atau karena bahaya yang ditimbulkan dalam bersuci baik sebagian atau seluruhnya, maka diperbolehkan baginya untuk bertayamum.

Orang lumpuh yang tidak mampu berhaji, maka boleh mencari orang yang menggantikannya untuk melaksanakan ibadah haji, jika dari segi harta mampu untuk melakukannya.

Memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, wajib dilakukan dengan tangan bagi orang yang mempunyai kemampuan, kemudian (jika tidak mampu) dengan lisan, dan kemudian (jika tidak mampu) dengan hati.

Tidak mengapa bagi orang buta, pincang, dan sakit untuk meninggalkan ibadah-ibadah yang mereka tidak mampu atau berat melaksanakannya karena beban/kesulitan yang tidak mampu mereka pikul.

Siapa saja yang dibebankan padanya untuk memberi nafkah wajib, namun tidak mampu memberikannya secara keseluruhan; hendaklah ia mulai (memberi nafkah) kepada istrinya, kemudian anaknya, kemudian kedua orang tuanya, kemudian orang-orang yang terdekat dengannya setelahnya. Begitu juga dalam masalah zakat fithrah.

Demikianlah, semua perintah yang diterima oleh seorang hamba - baik yang wajib ataupun yang sunnah - jika ia mampu pada sebagiannya namun tidak mampu pada sebagian yang lain, maka wajib baginya untuk mengerjakan apa yang ia disanggupi dan gugur baginya apa yang tidak ia sanggupi. Semua itu masuk dalam hadits ini.

Adapun masalah undian, maka masuk dalam kaidah ini juga. Karena pemasalahannya rancu untuk menentukan siapa yang lebih berhak atasnya; maka kita kembalikan pada faktor-faktor yang menguatkannya. Jika hal itu belum juga memungkinkan (sama sekali tidak ada faktor penguat), maka kewajiban ini gugur karena ketidakmampuan, dan kemudian beralih pada cara undian dimana itu merupakan hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Permasalahan seperti ini banyak dibahas dalam kitab-kitab fiqh.

Kekuasaan semuanya – baik yang besar maupun yang kecil – masuk dalam kaidah ini juga. Karena semua kekuasaan mewajibkan adanya penugasan kepada orang yang mempunyai sifat tertentu yang dengan itu akan tercapai tujuan kekuasaan atau jabatan tersebut. Apabila tidak ada orang yang mempunyai sifat tersebut secara keseluruhan, maka wajib dipilih yang menyerupainya atau yang mendekatinya.

Sebagaimana kaidah ini ditetapkan berdasarkan ayat Al-Qur’an dan hadits, maka dalam masalah ini diambil pula dalil dari ayat-ayat dan hadits-hadits dimana Allah dan Rasul-Nya (pada asalnya) meniadakan kesulitan kepada umat manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala :

لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah : 286].

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا مَا آتَاهَا

”Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” [QS. Ath-Thalaq : 7].

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

”Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” [QS. Al-Hajj : 78].

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu” [QS. Al-Maaidah : 6].

يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

”Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-Baqarah : 185].

يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ

”Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” [QS. An-Nisaa’ : 28].

Sesungguhnya berbagai keringanan syari’at dalam ibadah dan yang lainnya dengan semua jenisnya masuk ke dalam kaidah pokok ini. Dan apa-apa yang dijadikan dalil atas hal ini adalah berupa nama-nama dan shifat-shifat Allah ta’ala yang mengharuskan demikian; seperti Al-Hamdu (Yang Terpuji), Al-Hikmah, Rahmat yang Luas, Lembut, Pemurah, dan (Pemberi) Anugerah. Maka pancaran dari nama-nama yang mulia lagi indah ini melimpah dan merata secara luas kepada seluruh makhluk dan aturan-Nya. Hal itu sebagaimana terjadi dalam perkara-perkara syari’at. Bahkan lebih besar lagi. Karena hal itu merupakan tujuan penciptaan dan sarana yang agung untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Maka Allah ta’ala menciptakan mukallifin untuk melakukan ibadah kepada-Nya, dan menjadikan ibadah dan pelaksanaan syari’at-Nya sebagai satu jalan untuk menggapai keridlaan dan kemuliaan-Nya. Sebagaimana hal itu difirmankan Allah ta’ala – setelah Ia mensyari’atkan thaharah dengan segala macamnya - :

مَا يُرِيدُ اللّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ وَلَـكِن يُرِيدُ لِيُطَهَّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

”Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur” [QS. Al-Maaidah : 6].

Tampaklah pancaran rahmat dan nikmat-Nya dalam segala syari’at dan apa-apa yang diperbolehkan oleh-Nya (dari perkara-perkara mubah), sebagaimana hal ini sangat terasa pada semua yang ada di alam ini. Hingga, hanya Allah lah Yang Maha Tinggi yang berhak untuk menerima pujian, rasa syukur, sanjungan, rasa cinta, dan pengagungan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya. Wabillahit-Taufiq.

[ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Bahjatul-Quluubil-Abraar wa Qurratu ’Uyunil-Akhyaar fii Syarhi Jawaami’il-Akhbaar karya Asy-Syaikh ’Abdurrahman bin Naashir As-Sa’diy rahimahullah, hal. 183-187, tahqiq : ’Abdul-Kariim bin Rasmiy Aalu Ad-Daariiniy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 2, Thn. 1422/2002].

[1]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7288 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1327.

[2]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7289 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 2358.

[3]     Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 71 dan Muslim dalam Shahih-nya no. 1037.

[4]     Hasan; dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 336, Ad-Daaruquthni no. 69 – cet. Hindiyyah, dan Al-Baihaqi 1/228 dari Jabir radliyallaahu ’anhu. Ia mempunyai syaahid dari hadits Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 333, Ibnu Majah no. 572, Ibnu Hibban no. 201 – Al-Mawaarid, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/317-318, dan Al-Haakim 1/188 atau no. 649 – cet. Al-Ma’rifah. Lihat Irwaaul-Ghaliil no. 105.

[5]     Yaitu dengan bertanya – Pent.

[6]     Dikeluarkan oleh Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah no. 104, Ash-Shaabuuniy dalam Aqiidatus-Salaf Ashhaabil-Hadiits no. 24-26, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/325-326, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 866-867 – cet. Al-Haasyidiy, Al-Laalikaaiy dalam As-Sunnah no. 664, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/151 dari beberapa jalan. Sanad riwayat ini adalah jayyid sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath 3/406-407. Lihat Al-I’tishaam 1/226 oleh Asy-Syaathibiy dengan ta’liq Asy-Syaikh Masyhur hafidhahullah.

[7]     Kaidah ini diimbangi dengan kaidah : “Kedlaruratan itu ditentukan sesuai dengan kadarnya” (الضرورة تقدّر بقدرها). Sehingga wajib bagi mereka yang terdesak untuk mengambil yang haram sekedarnya saja untuk mempertahankan hidupnya tanpa berlebihan. Dan ketika pembatasan ini tidak baku, maka Allah ta’ala sebutkan pembolehan bangkai dan darah hanya untuk orang yang terpaksa saja. Allah ta’ala telah berfirman :

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Maaidah : 3].

Yaitu dimaafkan baginya apa-apa yang lebih dari kebutuhan (karena terpaksa). Wallaahul-Muwaffiq.

Sumber :  abul-jauzaa.blogspot.com

Sabtu, 22 September 2012

Renungan : Apa yang Kamu Pinta ?

16.14 Posted by Unknown , No comments
Andai Anda memiliki satu kesempatan berdoa.
Hanya satu permohonan yang benar-benar akan dikabulkan.
Hanya satu permintaan yang akan didengar.
Hanya satu hal yang akan terjadi dengan satu doa yang Anda panjatkan.
Kira-kira apakah yang akan Anda pinta… ?
Cita-cita yang belum tercapai…?
Angan-angan yang masih menjadi impian…?
Yang tentunya setiap orang berbeda-beda.
 Ada yang menginginkan rumah mewah lengkap dengan segala isinya.
Istri atau suami yang menawan, bagi yang belum memiliki pasangan.
Mobil termahal yang pernah ada di muka bumi ini.
Usaha yang menjajikan.
Dan lain sebagainya, semua sesuai dengan kondisi  masing-masing.
Namun, kalau direnungkan ternyata permohonan hamba itu sepadan dengan kualitas ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Mungkin permohonan seorang tukang sampah tidaklah sama dengan doa seorang bupati. Doa tukang becak mungkin tidak setinggi permintaan seorang boss di sebuah perusahaan. Doa anak kecil tidaklah sama dengan doa orang dewasa.
Simaklah kisah seorang pria di masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mendapatkan sebuah kesempatan emas untuk memohon, apakah yang dia mohon?
Pria itu adalah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang bernama Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radiyallahu ‘anhu, dia tidak memiliki rumah, karena ia biasa tidur bersama Ashabussuffah di tempat yang disediakan di Masjid Nabawi, namun dia senantiasa mengisi waktunya untuk berkhidmat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Bacalah kisah selengkapnya dari sang pelaku sejarah sendiri, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu aku biasa melayani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, aku menyelesaikan dan memenuhi keperluannya sepanjang siang, sampai beliau melaksanakan shalat Isya’, kemudian aku duduk di sisi pintunya ketika beliau masuk ke dalam rumahnya, aku berkata kepada diriku, mungkin Rasulullah memiliki keperluan (sehingga aku sudah siap melayaninya), aku terus mendengar beliau mengatakan, “Subhanallah Subhanallah Wabihamdihi”, sehingga aku lelah kemudian aku pulang atau aku dikalahkan oleh mataku sehingga aku tertidur di sana.
Pada suatu hari beliau berkata kepadaku karena melihat semangat dan kesungguhanku dalam membantu dan melayani beliau,
 ”Mintalah kepadaku wahai Rabi’ah! Niscaya aku akan memberimu”.
Mendengar tawaran itu aku berkata kepada beliau, “Aku akan berpikir dahulu wahai Rasulullah! Nanti aku akan memberitahukannya kepadamu”.
Maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia itu fana dan akan sirna, dan sesungguhnya padanya aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku”.
Setelah merenung dan memikirkannya, akhirnya Rabi’ah mencapai suatu keputusan, dan bergumam, “Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku, sesungguhnya beliau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah”.
Maka akupun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tatkala berjumpa dengan beliau, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam  berkata kepadaku, “Apakah yang telah kamu buat, wahai Rabi’ah?
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu agar engkau memberi syafaat kepadaku di sisi Rabb-mu agar Dia membebaskanku dari api neraka”.
Dalam riwayat Imam Muslim, Rabi’ah berkata, “Aku memohon agar dapat menemanimu di Surga”.(Subhanallah…..!)
Mendengar permohonanku itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapakah kiranya yang telah menyuruhmu untuk meminta hal ini?”.
Rabi’ah menjawab, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada seorangpun yang menyuruhku, namun tatkala engkau berkata, ‘Mintalah kepadaku niscaya aku akan memberimu’, sedangkan engkau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia ini fana dan akan sirna, dan sesungguhnya di dunia aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku, akupun berkata (dalam diriku), ‘Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku.’”
Mendengarkan penjelasanku beliau berdiam sejenak, kemudian berkata kepadaku,
إِنِّي فَاعِلٌ، فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Aku akan memenuhi permintaanmu, maka bantulah aku atas dirimu dengan engkau banyak-banyak bersujud (banyak-banyak melaksanakan shalat) “.(HR Ahmad)
Subhanallah, itulah yang dipinta Rabi’ah untuk satu kesempatan emas yang tidak terulang:  Diselamatkan dari api neraka agar dapat menikmati indahnya surga yang seluas langit dan bumi.
Menemani sang kekasih di surga Firdaus.
Bagaimanakah sikap kita andai tawaran itu disodorkan kepada kita?


Penulis: Ustadz Syafiq Riza Basalamah, M.A.
Artikel
www.salafiyunpad.wordpress.com

Rabu, 19 September 2012

Download Rekaman Tabligh Akbar Bersama Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi (Masjid Istiqlal, 16 September 2012)

04.50 Posted by Unknown , No comments

Bismillah
Inilah Rekaman Dauroh bersama Fadhilatus Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid Al Halabi hafidzohullah (Ulama Ahlussunnah dari Yordania, salah seorang murid senior Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Ulama Ahli Hadits Abad Ini) yang telah diselanggarakan pada Ahad , 16 September 2012 kemaren di Masjid Istiqlal Jakarta.
dok foto :  moslemsunnah.wordpress.com

Download :

Download Rekaman Tabligh Akbar Bersama Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi

 


Sabtu, 08 September 2012

Sekali lagi : Bom bunuh diri bukan jihad !!

10.28 Posted by Unknown No comments

Kaum muslimin –semoga Allah menjaga aqidah kita dari kesalahpahaman- sesungguhnya menunaikan jihad dalam pengertian dan penerapan yang benar termasuk ibadah yang mulia. Sebab Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafiq, dan bersikaplah keras kepada mereka…” (QS. At-Taubah: 9). Karena jihad adalah ibadah, maka untuk melaksanakannya pun harus terpenuhi 2 syarat utama: (1) ikhlas dan (2) sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah fenomena pengeboman yang dilakukan oleh sebagian pemuda Islam di tempat maksiat yang dikunjungi oleh turis asing yang notabene orang-orang kafir. Benarkah tindakan bom bunuh diri di tempat semacam itu termasuk dalam kategori jihad dan orang yang mati karena aksi tersebut -baik pada saat hari-H maupun karena tertangkap aparat dan dijatuhi hukuman mati- boleh disebut orang yang mati syahid?

Bom Bunuh Diri Bukan Jihad
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah Maha menyayangi kalian.” (QS. An-Nisaa’: 29)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bunuh diri dengan menggunakan suatu alat/cara di dunia, maka dia akan disiksa dengan cara itu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Adapun bunuh diri tanpa sengaja maka hal itu diberikan udzur dan pelakunya tidak berdosa berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan tidak ada dosa bagi kalian karena melakukan kesalahan yang tidak kalian sengaja akan tetapi (yang berdosa adalah) yang kalian sengaja dari hati kalian.” (QS. Al-Ahzab: 5). Dengan demikian aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh sebagian orang dengan mengatasnamakan jihad adalah sebuah penyimpangan (baca: pelanggaran syari’at). Apalagi dengan aksi itu menyebabkan terbunuhnya kaum muslimin atau orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslimin tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Israa’: 33)

Membunuh Muslim Dengan Sengaja dan Tidak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada sesembahan (yang benar) selain Allah dan bersaksi bahwa aku (Muhammad) adalah Rasulullah kecuali dengan salah satu dari tiga alasan: [1] nyawa dibalas nyawa (qishash), [2] seorang lelaki
beristri yang berzina, [3] dan orang yang memisahkan agama dan meninggalkan jama’ah (murtad).”
(HR. Bukhari  Muslim)
Beliau juga bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa alasan yang benar.” (HR. Al-Mundziri, lihat Sahih At-Targhib wa At-Tarhib). Hal ini menunjukkan bahwa membunuh muslim dengan sengaja adalah dosa besar.
Dalam hal membunuh seorang mukmin tanpa kesengajaan, Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat/denda dan kaffarah/tebusan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak sepantasnya bagi orang mukmin membunuh mukmin yang lain kecuali karena tidak sengaja. Maka barangsiapa yang membunuh mukmin karena tidak sengaja maka wajib baginya memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkannya kepada keluarganya, kecuali apabila keluarganya itu berkenan untuk bersedekah (dengan memaafkannya).” (QS. An-Nisaa’: 92). Adapun terbunuhnya sebagian kaum muslimin akibat tindakan bom bunuh diri, maka ini jelas tidak termasuk pembunuhan tanpa sengaja, sehingga hal itu tidak bisa dibenarkan dengan alasan jihad.

Membunuh Orang Kafir Tanpa Hak
Membunuh orang kafir dzimmi, mu’ahad, dan musta’man (orang-orang kafir yang dilindungi oleh pemerintah muslim), adalah perbuatan yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh jiwa seorang mu’ahad (orang kafir yang memiliki ikatan perjanjian dengan pemerintah
kaum muslimin) maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal sesungguhnya baunya surga bisa tercium dari jarak perjalanan 40 tahun.”
(HR. Bukhari).
Adapun membunuh orang kafir mu’ahad karena tidak sengaja maka Allah mewajibkan pelakunya untuk membayar diyat dan kaffarah sebagaimana disebutkan dalam ayat (yang artinya), “Apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuh kalian (kafir harbi) dan dia adalah orang yang beriman maka kaffarahnya adalah memerdekakan budak yang beriman, adapun apabila yang terbunuh itu berasal dari kaum yang memiliki ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka (kafir mu’ahad) maka dia harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya dan memerdekakan budak yang beriman. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut supaya taubatnya diterima oleh Allah. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nisaa’: 92)

Bolehkah Mengatakan Si Fulan Syahid?
Di dalam kitab Sahihnya yang merupakan kitab paling sahih sesudah Al-Qur’an, Bukhari rahimahullah menulis bab berjudul “Bab. Tidak boleh mengatakan si fulan Syahid” berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang benar-benar berjihad di jalan-Nya, dan Allah yang lebih mengetahui siapakah orang yang terluka di jalan-Nya.” (Sahih Bukhari, cet. Dar Ibnu Hazm, hal. 520)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan (Fath Al-Bari, jilid 6 hal. 90. cet. Dar Al-Ma’rifah Beirut.  Asy-Syamilah), “Perkataan beliau ‘Tidak boleh mengatakan si fulan syahid’, maksudnya tidak boleh memastikan perkara itu kecuali didasari dengan wahyu…”
Al-’Aini rahimahullah juga mengatakan, “Maksudnya tidak boleh memastikan hal itu (si fulan syahid, pent) kecuali ada dalil wahyu yang menegaskannya.” (Umdat Al-Qari, jilid 14 hal. 180. Asy-Syamilah)
Nah, sebenarnya perkara ini sudah jelas. Yaitu apabila ada seorang mujahid yang berjihad dengan jihad yang syar’i kemudian dia mati dalam peperangan maka tidak boleh dipastikan bahwa dia mati syahid, kecuali terhadap orang-orang tertentu yang secara tegas disebutkan oleh dalil!
Maka keterangan Bukhari, Ibnu Hajar, dan Al-’Aini -rahimahumullah- di atas dapat kita bandingkan dengan komentar Abu Bakar Ba’asyir -semoga Allah menunjukinya- terhadap para pelaku bom Bali, “… Amrozi dan kawan-kawan ini memperjuangkan keyakinan di jalan Allah karena itu saya yakin dia termasuk mati
sahid,”
tegasnya dalam orasi di Pondok Pesantren Al Islam, Sabtu (8/11/2008).” (sebagaimana dikutip Okezone.com.news)
Kalau orang yang benar-benar berjihad dengan jihad yang syar’i saja tidak boleh dipastikan sebagai syahid -selama tidak ada dalil khusus yang menegaskannya- lalu bagaimanakah lagi terhadap orang yang melakukan tindak perusakan di muka bumi tanpa hak dengan mengatasnamakan jihad -semoga Allah mengampuni dosa mereka yang sudah meninggal dan menyadarkan pendukungnya yang masih hidup-… Ambillah pelajaran, wahai saudaraku…
Sebagai penutup, kami mengingatkan kepada para pemuda untuk bertakwa kepada Allah dan menjauhkan diri mereka dari tindakan-tindakan yang akan menjerumuskan mereka ke dalam neraka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka takutlah kalian terhadap neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. Al-Baqarah: 24). Sadarlah wahai saudara-saudaraku dari kelalaian kalian, janganlah kalian menjadi tunggangan syaitan untuk menebarkan kerusakan di atas muka bumi ini. Kami berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar memahamkan kaum muslimin tentang agama mereka, dan menjaga mereka dari fitnah menyesatkan yang tampak ataupun yang tersembunyi. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya Muhammad, para pengikutnya, dan segenap para sahabatnya.

Diringkas oleh Ari Wahyudi dari penjelasan Syaikh Abdul Muhsin Al-’Abbad hafizhahullah dalam kitab beliau Bi ayyi ‘aqlin wa diinin yakuunu tafjir wa tadmir jihaadan?! Waihakum, … Afiiquu yaa syabaab!! (artinya: Menurut akal dan agama siapa; tindakan pengeboman dan penghancuran dinilai sebagai jihad?! Sungguh celaka kalian… Sadarlah hai para pemuda!!) di web Islamspirit.com. Dengan tambahan keterangan dari sumber lain.

***
Penyusun: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id


Sabtu, 01 September 2012

Makna Iman

17.09 Posted by Unknown , No comments
Kitab Tauhid 2
oleh: Team Ahli Tauhid

Definisi Iman
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.

Ini adalah pendapat jumhur. Dan Imam Syafi'i meriwayatkan ijma para sahabat, tabi'in dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.

Penjelasan Definisi Iman
"Membenarkan dengan hati" maksudnya menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.

"Mengikrarkan dengan lisan" maksudnya, mengucapkan dua kalimah syahadat, syahadat "Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasulullah" (Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

"Mengamalkan dengan anggota badan" maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya. Kaum salaf menjadikan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.

Dalil-dalil Kaum Salaf
1. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Dan tiada kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (menyatakan), Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" (Al-Muddatstsir: 31)

2. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan se-bagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya." (Al-Anfal: 2-4)

3. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: "Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan "la ilaha illallahu" dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman." (HR. Muslim, 1/63)

4. Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, riwayat Abu Sa'id Al-Khudry, ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: "Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hen- daklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim, 1/69)

Bagaimana Dalil-dalil Tersebut Menunjukkan bahwa Iman Dapat Bertambah dan Berkurang
Dalil Pertama: Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman orang-orang mukmin, yaitu dengan persaksian mereka akan kebenaran nabinya berupa terbuktinya kabar beritanya sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.

Dalil kedua: Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman dengan mendengarkan ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang disifati oleh Allah, yaitu mereka yang jika disebut nama Allah tergeraklah rasa takut mereka sehingga mengharuskan mereka menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.

Mereka itulah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah. Mereka tidak mengharapkan selainNya, tidak menuju kecuali kepadaNya dan tidak mengadukan hajatnya kecuali kepada-Nya. Mereka itu orang-orang yang memiliki sifat selalu melaksanakan amal ibadah yang di syariatkan seperti shalat dan zakat. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman, dengan tercapainya hal-hal tersebut baik dalam i'tiqad maupun amal perbuatan.

Dalil ketiga: Hadits ini menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari cabang-cabang yang bermacam-macam, dan setiap cabang adalah bagian dari iman yang keutamaannya berbeda-beda, yang paling tinggi dan paling utama adalah ucapan "la ilaha illallah" kemudian cabang-cabang sesudahnya secara berurutan dalam nilai dan fadhilah-nya sampai pada cabang yang terakhir yaitu menyingkirkan rintangan dan gangguan dari tengah jalan.

Adapun cabang-cabang antara keduanya adalah shalat, zakat, puasa, haji dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakkal, khasyyah (takut kepada Allah) dan sebagainya, yang kesemuanya itu dinamakan iman. Di antara cabang-cabang ini ada yang bisa membuat lenyapnya iman manakala ia ditinggalkan, menurut ijma' ulama; seperti dua kalimat syahadat. Ada pula yang tidak sampai menghilangkan iman me-nurut ijma' ulama manakala ia ditinggalkan; seperti menyingkirkan rintangan dan gangguan dari jalan.

Sejalan dengan pengamalan cabang-cabang iman itu, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka iman bisa bertambah dan bisa berkurang.

Dalil keempat: Hadits Muslim ini menuturkan tingkatan-tingkatan nahi munkar dan keberadaannya sebagai bagian dari iman. Ia menafikan (meniadakan) iman dari seseorang yang tidak mau melakukan tingkatan terendah dari tingkatan nahi munkar yaitu mengubah kemungkaran dengan hati. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat hadits: "Dan tidak ada sesudahnya sebiji sawi pun dari iman." (HR. Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Bayanu Kurhin Nahyi Anil Mungkar).

Berdasarkan hal ini maka tingkatan di atasnya adalah lebih kuat keimanannya. Wallahu a'lam!
sumber : belajar-tauhid.blogspot.com