Karena jalan yang lurus itu adalah hanya dengan mengikuti Sunnah Nabi

Rabu, 28 November 2012

Riba Lebih Buruk Dari Pada Zina

22.08 Posted by Unknown , No comments
Dosa Riba Lebih Buruk Dari Pada Zina

22008- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ - يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ - عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».

Dari Hanzhalah, Rasulullah bersabda, "Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali" [HR Ahmad no 22008].

Sanggahan terhadap orang yang menilai dhaif hadits di atas:

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Daruquthni 3/16.

Hadits di atas juga dibawakan oleh al Haitsami dalam Majmauz Zawaid diiringi komentar, "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu'jam Kabir dan Mu'jam Ausath dan para perawi yang ada dalam riwayat Imam Ahmad adalah para perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan atau shahih Muslim".

Hadits di atas dinilai shahih oleh Suyuthi. Namun dinilai sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi sehingga beliau muat dalam buku beliau yang khusus mengumpulkan hadits hadits palsu yang berjudul 'al maudhuat'.

Tindakan Ibnul Jauzi ini disanggah oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya 'al Qoul al Musaddad fi Dzabb 'an al Musnad' setelah beliau membawakan hadits di atas dalam kitab tersebut dengan sanad beliau sendiri.

Daruquthni menilai bahwa yang tepat teks hadits di atas hanyalah perkataan Kaab al Ahbar, seorang tabiin, bukan sabda Nabi.

Alasan Daruquthni adalah karena Ayub dan Laits bin Abi Sulaim keduanya meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah secara marfu [sebagai sabda Nabi]. Sedangkan di sisi lain Abdul Aziz bin Rafi' meriwayatkannya dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah dari Kaab al Ahbar sebagai perkataan beliau.

Yang lebih tepat sanad versi Ayub itu lebih kuat terutama dikarenakan Ayub mendapat dukungan dari riwayat Laits. Sehingga hadits di atas adalah hadits yang shahih dari Nabi [al Mujtaba fi Ahkam wa Akhthar Riba karya Abdurraqib bin Ali bin Hasan al Ibi hal 58, Dar Atsar Shan'a Yaman].

Kandungan hadits

Hadits ini menunjukkan bahwa dosa riba adalah dosa yang sangat ngeri karena dia adalah kejahatan yang senilai dengan kejahatan zina tiga puluh enam kali padahal zina sekali saja adalah kejahatan yang sangat jelek bagaimana lagi jika sampai berkali kali.

Jika demikian dosa dari satu dirham uang riba bagaimana lagi dengan uang ratusan ribu rupiah yang didapatkan dari riba. Tidak diragukan tentu lebih jelek lagi.

Tentu kita sepakat bahwa seorang wanita itu tidak boleh melacurkan diri alias berzina untuk mendapatkan uang meski dengan alasan keterpaksaan ekonomi. Jika demikian yang kita katakan mengenai dosa zina maka bisa tegas kita katakan bahwa keterpaksaan ekonomi bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk terlibat dalam dosa riba.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.*

Minggu, 25 November 2012

Setiap Sunnah Yang Shahih Yang Berasal Dari Rasulullah Wajib Diterima, Walaupun Sifatnya Ahad

22.51 Posted by Unknown No comments
PENJELASAN KAIDAH KEDUA : SETIAP SUNNAH YANG SHAHIH YANG BERASAL DARI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM WAJIB DITERIMA. WALAUPUN SIFATNYA AHAD.

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir atau tidak memenuhi sebagian dari syarat-syarat mutawatir.[1]

Para ulama ummat ini pada setiap generasi, baik yang mengatakan bahwa hadits ahad menunjukkan ilmu yakin maupun yang berpendapat bahwa hadits ahad menunjukkan zhann, mereka berijma’ (sepakat) atas wajibnya mengamalkan hadits ahad. Tidak ada yang berselisih di antara mereka melainkan kelompok kecil yang tidak masuk hitungan, seperti Mu’tazilah dan Rafidhah.[2]

Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah (wafat th. 1393 H) mengatakan: “Ketahuilah, bahwa penelitian yang kita tidak boleh menyimpang dari hasilnya bahwa hadits ahad yang shahih harus diamalkan untuk masalah-masalah Ushuluddin, sebagaimana ia diambil dan diamalkan untuk masalah-masalah hukum/furu’. Maka, apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih mengenai Sifat-Sifat Allah, wajib diterima dan diyakini dengan keyakinan bahwa sifat-sifat itu sesuai dengan ke-Mahasempurnaan dan ke-Maha-agungan-Nya sebagaimana firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Mahamelihat.” [Asy-Syuura: 11]

Dengan demikian, Anda menjadi tahu bahwa penerapan para ahli kalam dan pengikutnya bahwa hadits-hadits ahad itu tidak bisa diterima untuk dijadikan dalil dalam masalah-masalah ‘aqidah seperti tentang Sifat-Sifat Allah, karena hadits-hadits ahad itu tidak menunjukkan kepada hal yang yakin melainkan kepada zhann (dugaan) sementara masalah ‘aqidah itu harus mengandung keyakinan. Ucapan mereka itu adalah bathil dan tertolak. Dan cukuplah sebagai bukti dari kebathilannya bahwa pendapat ini mengharuskan menolak riwayat-riwayat shahih yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan hukum akal semata.” [3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemakai bahasa Arab terbaik dan terfasih, beliau telah dikaruniai jawaami’ul kalim (kemampuan mengungkap kalimat ringkas dengan makna yang padat, kalimat sarat makna) dan ditugaskan untuk menyampaikannya. Dengan begitu, tidaklah dapat dibayangkan -baik secara syar’i maupun ‘aqli- bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membiarkan masalah ‘aqidah menjadi samar dan penuh syubhat, sebab ‘aqidah merupakan bagian ter-penting dari seluruh rangkaian ajaran agama. Sehingga bila beliau menjelaskan masalah furu’ secara detail, mustahil beliau j tidak melakukan hal yang sama pada masalah ushul (pokok).[4]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan masalah ushul (‘aqidah) dengan detail (rinci) dengan sejelas-jelasnya. Karena itu seorang Muslim wajib menerima apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meskipun derajat haditsnya adalah ahad, tidak mencapai mutawatir. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.” [5]

PENJELASAN KAIDAH KELIMA : Berserah Diri (Taslim), Patuh Dan Taat Hanya Kepada Allah Dan Rasul-Nya, Secara lLahir Dan Bathin. Tidak Menolak Sesuatu Dari Al-Qur-an Dan As-Sunnah Yang Shahih, (Baik Menolaknya Itu) Dengan Qiyas (Analogi), Perasaan, Kasyf (Iluminasi Atau Penyingkapan Tabir Rahasia Sesuatu Yang Ghaib), Ucapan Seorang Syaikh, Ataupun Pendapat Imam-Imam Dan Yang Lainnya.”


Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri rahimahullah (wafat th. 124 H) berkata:

مِنَ اللهِ الرِّسَالَةُ، وَعَلَى الرَّسُوْلِ الْبَلاَغُ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيْمُ.

“Allah yang menganugerahkan risalah (mengutus para Rasul), kewajiban Rasul adalah menyampaikan risalah, dan kewajiban kita adalah tunduk dan taat.” [6]

Kewajiban seorang Muslim adalah tunduk dan taslim secara sempurna, serta tunduk kepada perintahnya, menerima berita yang datang dari beliau j dengan penerimaan yang penuh dengan pembenaran, tidak boleh menentang apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan bathil, hal-hal yang syubhat atau ragu-ragu, dan tidak boleh juga dipertentangkan dengan perkataan seorang pun dari manusia.

Penyerahan diri, tunduk patuh dan taat kepada perintah Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban seorang Muslim. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak. Taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti taat kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.” [An-Nisaa': 80]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak ber-iman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa': 65]

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili di antara mereka adalah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [An-Nuur: 51]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah sesat, denga kesesatan yang nyata.” [Al-Ahzaab: 36]

Seorang hamba akan selamat dari siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ia mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dengan ikhlas dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak boleh mengambil kepada selain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemutus hukum dan tidak boleh ridha kepada hukum selain hukum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Apapun yang Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan tidak boleh ditolak dengan pendapat seorang guru, imam, qiyas dan lainnya.

Sesungguhnya seorang Muslim tidak akan selamat dunia dan akhirat, sebelum ia berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyerahkan apa yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya. Hal tersebut artinya, berserah diri kepada nash-nash Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak menentangnya dengan pena’wilan yang rusak, syubhat, keragu-raguan dan pendapat orang.

Ada sebuah riwayat, yaitu ketika beberapa Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk-duduk di dekat rumah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba di antara mereka ada yang menyebutkan salah satu dari ayat Al-Qur-an, lantas mereka bertengkar sehingga semakin keras suara mereka, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dalam keadaan marah dan merah mukanya, sambil melemparkan debu seraya bersabda:

مَهْلاً يَا قَوْمِ، بِهَذَا أُهْلِكَتِ اْلأُمَمُ مِنْ قَبْلِكُمْ، بِاِخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، وَضَرْبِهِمُ الْكُتُبَ بَعْضَهَا بِبَعْضٍ، إِنَّ الْقُرْآنَ لَمْ يَنْزِلْ يُكَذِّبُ بَعْضُهُ بَعْضاً، بَلْ يُصَدِّقُ بَعْضُهُ بَعْضاً فَمَا عَرَفْتُمْ مِنْهُ، فَاعْمَلُوْا بِهِ، وَمَا جَهِلْتُمْ مِنْهُ فَرُدُّوْهُ إِلَى عَالِمِهِ.

“Tenanglah wahai kaumku! Sesungguhnya cara bertengkar seperti ini telah membinasakan umat-umat sebelum kalian, yaitu mereka menyelisihi para Nabi mereka serta berpendapat bahwa sebagian isi kitab itu bertentangan dengan sebagian yang lain. Ingat! Sesungguhnya Al-Qur-an tidak turun untuk mendustakan sebagian dengan sebagian yang lainnya, bahkan ayat-ayat Al-Qur-an sebagian membenarkan sebagian yang lainnya. Karena itu apa yang telah kalian ketahui, maka amalkanlah dan apa yang kalian tidak ketahui serahkanlah kepada yang paling mengetahui.”[7]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

اَلْمِرَاءُ فِي الْقُرْآنِ كُفْرٌ.

“Bertengkar dalam masalah Al-Qur-an adalah kufur.”[8]

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mencoba mempelajari ilmu yang terlarang, tidak puas pemahamannya untuk pasrah (kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah), maka ilmu yang dipelajarinya itu akan menutup jalan baginya dari kemurnian tauhid, kejernihan ilmu pengetahuan dan ke-imanan yang benar.”[9]

Penjelasan ini bermakna, larangan keras berbicara tentang masalah agama tanpa ilmu.

Orang yang berbicara tanpa ilmu, tidak lain pasti mengikuti hawa nafsunya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mem-punyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang-gungjawabannya.” [Al-Israa': 36]

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“ ...Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim.” [Al-Qashash: 50]

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّبِعُ كُلَّ شَيْطَانٍ مَرِيدٍ كُتِبَ عَلَيْهِ أَنَّهُ مَنْ تَوَلَّاهُ فَأَنَّهُ يُضِلُّهُ وَيَهْدِيهِ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ

“Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang jahat, yang telah ditetapkan terhadap syaithan itu bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya, tentu ia akan menyesatkannya, dan mem-bawanya ke dalam adzab Neraka.” [Al-Hajj: 3-4]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan per-buatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ke-tahui.’” [Al-A’raaf: 33]

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang anak-anak kaum musy-rikin yang meninggal dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ.

“Allah-lah Yang Mahatahu apa yang telah mereka kerjakan.” [10]

Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوا الْجَدَلَ.

“Tidaklah suatu kaum akan tersesat setelah mendapat hidayah kecuali apabila di kalangan mereka diberi kebiasaan berdebat.”

Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman Allah Azza wa Jalla:

مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا ۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“...Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar...” [Az-Zukhruf: 58] [11]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma,[12] ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ اْلأَلَدُّ الْخَصِمُ.

‘Sesungguhnya orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras membantah.’”[13]

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak taslim kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka telah berkurang tauhidnya. Orang yang berkata dengan ra’yunya (logikanya), hawa nafsunya atau taqlid kepada orang yang mempunyai ra’yu dan mengikuti hawa nafsu tanpa petunjuk dari Allah, maka berkuranglah tauhidnya menurut kadar jauhnya ia dari ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya ia telah menjadikan sesembahan selain Allah Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat ber-dasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka, mengapa kamu tidak mengambil pe-lajaran?” [Al-Jaatsiyah: 23][14]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat an-Nukat ‘alaa Nuz-hatin Nazhar Syarah Nukhbatil Fikr (hal. 70-71) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Atsari.
[2]. Lihat Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/112) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqiil.
[3]. Mudzakkirah fii Ushuulil Fiqh (hal 124), cet. III/Maktabatul ‘Ulum wal Hikam, th. 1425 H.
[4]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal 28) oleh Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, cet. II/ Darus Sunnah, th. 1414 H.
[5]. Al-Ibaanah libni Baththah (I/260 no. 97).
[6]. HR. Al-Bukhari di dalam Kitaabut Tauhiid. Lihat Fat-hul Baari (XIII/503).
[7]. HR. Ahmad (II/181, 185, 195, 196), ‘Abdurrazaq dalam al-Mushannaf (no. 20367), Ibnu Majah (no. 85), al-Bukhari fii Af’aalil ‘Ibaad (hal. 43), al-Baghawi (no. 121) sanadnya hasan, dari Sahabat ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhu. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imaam Ahmad (no. 6668, 6702).
[8]. HR. Ahmad (II/286, 300, 424, 475, 503 dan 528), Abu Dawud (no. 4603), dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh al-Hakim (II/223) dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lihat juga Syarhus Sunnah lil Imam al-Baghawi (I/261).
[9]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 233).
[11]. HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya (no. 1384) dan Muslim dalam Shahiihnya (no. 2659), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. HR. At-Tirmidzi (no. 3253), Ibnu Majah (no. 48), Ahmad (V/252, 256), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir dan al-Hakim (II/447-448), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. Menurut Syaikh al-Albani ha-dits ini hasan sebagaimana perkataan Imam at-Tirmidzi, lihat Shahiihut Targhiib wat Tarhiib (no. 141).
[11]. Beliau adalah Ummul Mukminin. Nama lengkapnya ‘Aisyah bintu Abi Bakar ash-Shiddiq, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dinikahi di Makkah pada waktu berusia enam tahun. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hidup bersamanya di Madinah ketika dia berusia sembilan tahun pada tahun kedua Hijriyah dan tidak menikah dengan perawan selainnya. Dia Radhiyallahu anhuma adalah isteri yang paling dicintainya di antara isteri-isteri lainnya. Dia banyak menghafal hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita yang paling cerdas dan paling ‘alim.
[12]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat saat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berusia 18 tahun. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma wafat pada tahun 58 H dalam usia 67 tahun. Dimakamkan di Baqi’, Madinah an-Nabawiyyah.
Lihat al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (IV/ 359, no. 704), cet. Daarul Fikr.
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 2457 dan 4523), al-Fat-h (VIII/188), Muslim (no. 2668), at-Tirmidzi (no. 2976), an-Nasa-i (VIII/248) dan Ahmad (VI/55, 62, 205).
[14]. Lihat penjelasannya di dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah, takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki (hal. 228-235).

Sumber : almanhaj.or.id

Senin, 19 November 2012

Peringatan Dari Mencela Ulama

16.40 Posted by Unknown No comments
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Luwaihiq hafizhahullah berkata dalam “Qawa’id Fi At-Ta’amul Ma’a Al-’Ulama” halaman 101-103:

Sesungguhnya mencela ulama’ dan menghina mereka merupakan jalannya orang yang menyimpang dan sesat. Yang demikian itu karena sesungguhnya mencela ulama bukanlah celaan terhadap diri-diri mereka, akan tetapi itu adalah celaan terhadap agama, dakwah yang mereka emban, dan agama yang mereka anut.

Mencela ulama hukumnya haram karena mereka termasuk muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِى شَهْرِكُمْ هَذَا فِى بَلَدِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harga diri – harga diri kalian, haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Dan bertambah keharamannya karena mencela ulama merupakan tangga yang mengantarkan untuk mencela agama. Dan ini adalah yang diinginkan oleh ahlu bida’ yang mencela pendahulu umat ini dan ulamanya yang mengikuti mereka dengan baik. Jalan dan sebab-sebab yang diukur dengan tujuan dan mengikuti hukum tujuan yang dituju.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Disaat tujuan itu tidaklah tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan jalan-jalan yang mengantarkan padanya, jadilah sebab dan jalan tersebut mengikuti hukumnya, dan diukur dengannya. Perantara perkara yang haram dan maksiat terkait dengan dibencinya dan dilarangnya, hal tersebut sesuai dengan kadar besarnya dia bisa mengantarkan pada tujuannya dan sesuai dengan besarnya keterkaitan dengan perkara yang dituju. Perantara perkara ketaatan dan amal baik terkait dengan dicintainya dan dijinkannya sesuai dengan kadarnya dia bisa mengantarakan pada tujuannya. Maka perantara kepada suatu maksud mengikuti hukumnya yang dimaksud. Keduanya sama-sam yang dimaksud hanya saja yang ini dimaksudkan karena dia tujuannya adapun yang satu dimaksudkan sebagai perantara. Jika Allah Ta’ala mengharamkan sesuatu, yang mana perkara tersebut memiliki jalan dan perantara yang mengantarkan padanya, maka sesungguhnya Allah Ta’ala mengharamkan perantara tersebut dan melarangnya sebagai wujud pengharamkan perkara tersebut dan pengkukuhan pengharamannya, serta pelarangan dari mendekatinya. Kalau seandainya Allah Ta’ala membolehkan perkara yang mengantarkan pada perkara haram tersebut maka hal itu akan membatalkan pengharaman perkara tersebut, penghasutan terhadap jiwa. Dan hikmah Allah Ta’ala serta ilmu llah Ta’ala jauh dari hal itu sejauh-jauhnya.”. (I’lam Al-Muwaqi’in: 3/147).

Ketika para salaf memahami hal ini maka mereka menghukumi orang yang merendahkan para shahabat adalah orang zindiq dikarenakan akibat yang timbul dari sikap tersebut berupa pelecehan terhadap agama dan penghinaan sunnah pemimpin para rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

Dari Mush’ab bin Abdillah berkata: “Abu Abdillah bin Mush’ab Az-Zubairy mengabarkan padaku: Berkta kepadaku Amirul Mukminin Al-Mahdy: “Wahai Abu Bakr, apa yang kau katakan tentang orang yang merendahakan shahabat Arsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Aku berkata: ” Dia orang zindiq”. Dia berkata: “Aku belum pernah dengar seorangpun berkata demikian sebelummu.” Aku berkata: “Mereka adalah kaum yang ingin merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak menemukan seorangpun dari umat ini yang mengikuti mereka dalam hal ini. Maka mereka merendahkan para shahabat di sisi anak-anak mereka, dan mereka di sisi anak-anak mereka, seakan-akan mereka mengatakan: “Rasulullah ditemani oleh para shahabat yang jelek, betapa jelek orang yang ditemani oleh orantg-orang yang jelek”. Maka dia berkata: Tidaklah aku melihat kecuali seperti apa yang engkau katakan.”. (Tarikh Baghdad: 10/174).

Kemudian beliau berkata:

Demikian ulama salaf berkata tentang orang yang mencela ulama dari kalangan tabi’in dang orang-orang setelah mereka.

Al-Imam Ahmad rahimhullah berkata: “Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah maka ragukanlah keislamannya. Sesungguhnya Hammad sangat keras terhadap ahlul bid’ah.” (Al-Kifayah: 49).

Dan Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata: “Jika engkau lihat seseorang mencela Hammad bin Salamah dan Ikrimah maula Ibnu ‘Abbas maka ragukanlah keislamannya.” (As-Siyar: 7/450).

Semua ini dibawa kepada ucapan tentang seorang ‘alim secara zhalim dan dengan hawa nafsu.

Kemudian beliau berkata:

Sesungguhnya salaf tidak hanya melarang dari mencela ulama, bahkan mereka melarang dari meremehkan ulama.

Al-Imam Ibnul Mubarak rahimahullah berkata: “Keharusan bagi seorang yang berakal untuk tidak meremehkan tiga orang: Ulama, Penguasa dan saudara. Siapa yang meremehkan ulama hancurlah akhiratnya, siapa meremehkan penguasa hancurlah dunianya, dan siapa yang meremehkan saudara hilanglah wibawanya.” (As-Siyar: 17/251).

Menghina ulama adalah sikap menyakiti mereka. Dan menyakiti ulama adalah menyakiti wali-wali Allah dan shalihin, kaarena ulama orang yang pertama kali disifati sebagai wali Allah Ta’ala. Dan ini maknanya bahwa menyakiti ulama adalah perkara yang bahaya. Karena siapa yang memusuhi wali Allah Ta’ala maka Allah Ta’ala mengumumkan peperangan padanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsy,
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Siapa memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah mengumumkan padanya peperangan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).

Menghina ahlul ilmi wa fadhl serta mencela dan merendahkannya mereka bahaya bagi agama seseorang, dimana itu bisa mengantarkan pelakunya pada akibat yang tidak dia kira dan tanggung. Seorang munafiq telah mengatai shahabat: “Tidaklah aku melihat seperti para qura’ kita itu yang paling tamak perutnya, paling dusta lisannya dan paling penakut ketika bertemu musuh”. Maka jadilah kalimat ini tanda akan kufurnya orang-orang munafiq ini. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat tentang mereka menolak udzur mereka,
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِؤُونَ * لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ

“Dan jika engkau tanya mereka niscaya mereka akan mengatakan: “Sesungguhny kami hanya bergurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta ma’af, karena kalian telah kafir setelah beriman. Jika Kami mema’afkan segolongan orang dari kalian niscaya Kami akan mengadzab golongan yang lain dikarenkan mereka adalah orang yang berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)

Allah Ta’ala telah menjadikan hinaan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shahabatnya adalah hinaan terhadap Alah Ta’ala.

Kemudian beliau berkata:

Dan menggunjing ulama dosanya lebih besar dari pada menggunjing selain mereka.

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir Ad-Dimasyqy berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada kami dan engkau untuk meraih ridha-Nya dan menjadikan kita termasuk orang yang takut dan bertakwa pada-Nya dengan sebenar-benar takwa. Sesungguhnya daging para ulama rahimahumullah itu beracun, dan kebiasaan Allah Ta’ala dalam mengkoyak tirai penutup orang yang merndahkan ulama itu sangat jelas. Karena menuduh mereka dengan perkara yang mereka bebas darinya adalah hal yang sangat besar. Mengusik kehormatan mereka dengan dusta dan mengada-ada adalah ladang yang membahayakan dan menyelisihi orang yang dipilih Allah Ta’ala dari mereka untuk menyebarkan ilmu adalah akhlaq yang sangat tercela.” (Tabyin Kadzib Al-Muftary: 28)

Janganlah engkau menjadikan para gembel berani mencela ulama. Sesungguhnya sebagian penuntut ilmu bmenjadikan manusia lancang mencela ulama dengan melontarkan ucapan yang tidak dia sangka akan sampai kemana saja. Maka dia amaengatakan: “Fulan tidak diperhitungkan keshahihannya, Fulan tidak diterima pendapatnya”. Bisa jadi perkataan orang yang mengkritik ini benar akan tetapi seyogyanya tidak dikatakan di depan umujm, di depan orang yang baru menuntut ilmu yang tidak bisa menimbang ucapan dan tidak bisa mengukurnya. Bahkan dia mengambil kalimat itu lalau lancang -dengan semboyan kami rijal dan mereka rijal- terhadap ulama kemudia terhadap para imam, demikian seterusnya, maka kejelekan itu awalnya kejelekan.

Diterjemahkan dengan sedikit peringkasan takhrij oleh

‘Umar Al-indunisy

Darul Hadits – Ma’bar, Yaman.

http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/07/29/peringatan-dari-mencela-ulama/

Rabu, 14 November 2012

PENJELASAN SETIAP PERKARA BARU YANG TIDAK ADA SEBELUMNYA DI DALAM AGAMA ADALAH BID'AH, SETIAP BID'AH ADALAH SESAT DAN SETIAP KESESATAN TEMPATNYA DI NERAKA

04.51 Posted by Unknown No comments
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


A. Pengertian Bid’ah
Bid’ah sama artinya dengan al-ikhtira’ yaitu sesuatu yang baru, yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.[1]

Bid’ah secara bahasa (etimologi) adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna.[2] Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan.[3] Apabila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya...” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya.[4]

Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

“Allah pencipta langit dan bumi...” [Al-Baqarah: 117]

Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.[5]

Bid’ah secara istilah (terminologi) memiliki beberapa definisi yang saling melengkapi menurut penjelasan para ulama, di antaranya:

Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
Beliau rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran.”[6]

Bid’ah itu sendiri ada dua macam: Pertama, bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan. Kedua, bid’ah dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua.[7] Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Ibadah asal mulanya tidak diperbolehkan, kecuali yang disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan segala sesuatu (selain ibadah) asal mulanya diperbolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah.[8]

Beliau (Ibnu Taimiyyah rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau ijma’ para ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyyah dan Jahmiyyah. Mereka beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallaahu a’lam.”[9]

Imam asy-Syathibi rahimahullah (wafat tahun 790 H):[10]
Beliau menyatakan:

اَلْبِدْعَةُ: طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ ِللهِ سُبْحَانَهُ.

“Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.”

Ungkapan: “Cara baru dalam agama,” maksudnya bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasar-nya dalam syari’at.

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at.

Ungkapan “untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat: 56). Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum men-cukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[11]

Beliau rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.”[12]

Beliau rahimahullah menetapkan definisi yang kedua tersebut bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan semata tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah mengkorelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, per-syaratan dan kaidah-kaidah syari’at yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu.[13]

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (wafat th. 795 H) rahimahullah :[14]
Beliau rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang di-maksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Khaththab rahimahulla, ketika beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau rahimahullah keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau rahimahullah berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[15]

B. Pembagian Bid’ah[16]
1. Bid’ah Haqiqiyyah
Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang tidak memiliki indikasi sama sekali dari syar’i baik dari Kitabullah, As-Sunnah ataupun Ijma’. Serta tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya.[17]

Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ahnya Qadariyyah, bid’ahnya Murji’ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Isra’ Mi’raj dan lainnya.

2. Bid’ah Idhafiyyah
Adapun bid’ah Idhafiyyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya samasekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid’ah haqiqiyyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada As-Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia ada-lah bid’ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.

Adapun perbedaan antara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bid’ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.

Atas dasar ini, maka bid’ah haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pe-langgaran murni dan sangat jelas telah keluar dari syari’at, seperti ucapan kaum Qadariyyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah,[18] mengingkari adanya Ijma’, mengingkari haramnya khamr, mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum (terpelihara dari dosa)[19] ... dan hal-hal lain yang seperti itu.[20]

Dikatakan bid’ah Idhafiyyah artinya bahwa bid’ah itu jika ditinjau dari satu sisi disyari’atkan tetapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak didukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi.[21]

Sebagai contoh bid’ah di sini adalah dzikir jama’i. Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dianjurkan dalam syari’at Islam, namun apabila dilaksanakan dengan berjama’ah, beramai-ramai (massal) dan dengan satu suara, maka amalan ini tidak ada contohnya dalam syari’at Islam.

C. Hukum Bid’ah Dalam Agama Islam
Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasihati ummatnya. Kewajiban seluruh ummat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[22]

Demikian juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang mengada-ngada dalam urusan (agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak”[23]

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.

Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.

Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.

Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bid’ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain.[24]

Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in) yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada di dalam Islam bid’ah yang hasanah.

Ibnu ‘Umar Rdadhiyallahu anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.

“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik.”[25]

Imam Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H)[26] berkata:

اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا.

“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”[27]

Imam Abu Muhammad al-Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari (beliau adalah Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada zamannya, wafat th. 329 H.) rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”[28]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawaadits wal Bida’ (hal. 40), dengan tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsari.
[2]. Mukhtaarush Shihaah (hal. 44).
[3]. Al-Qamuus al Muhiith, Lisaanul ‘Arab dan al-Fataawaa karya Ibnu Taimiyyah.
[4]. Mu’jamul Maqaayis fil Lughah (hal. 119).
[5]. Mufradaat Alfaazhil Qur-an (hal. 111) oleh ar-Raaghib al-Ashfahani, materi kata bada’a.
[6]. Majmuu’ Fataawaa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/107-108).
[7]. Ibid, (XXII/306).
[8]. Ibid, (IV/196).
[9]. Ibid, (XVIII/346 dan XXXV/414).
[10]. Al-I’tisham (hal. 50), Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, cet. II/Daar Ibni ‘Affan, 1414 H.
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.
[12]. Al-I’tishaam (hal. 51).
[13]. Al-I’tishaam (II/568, 569, 570, 594). Lihat juga Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah oleh Syaikh Sa’id bin Wahf al-Qahthany (hal. 30-31).
[14]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 501, cet. II/Daar Ibnul Jauzi, th. 1420 H) tahqiq Thariq bin ‘Awadillah bin Muhammad. Lihat Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 30-31).
[15]. Shahiihul Bukhari (no. 2010).
[16]. Lihat al-I’tishaam (I/367 dan seterusnya).
[17]. Ibid.
[18]. Sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan orang-orang yang serupa dengannya. Lihat kitab ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hal. 148).
[19]. Seperti yang diyakini oleh Syi’ah Imamiyyah.
[20]. Al-I’tishaam (I/221).
[21]. Ibid.
[22]. HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/46-47) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44), dari Sahabat Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu, hasan shahih.
[23]. HR. Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
[24]. Lihat Kitaabut Tauhiid (hal. 82 ) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dan Nuurus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah (hal. 76-77).
[25]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbari dalam al-Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bid’ah (hal. 92).
[26]. Nama lengkap beliau adalah Sufyan bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri, Abu ‘Ab-dillah al-Kufi, seorang hafizh yang tsiqah, faqih, ahli ibadah dan Imaamul hujjah. Beliau wafat tahun 161 H pada usia 64 tahun. Lihat biografi beliau dalam kitab Taqriibut Tahdziib (I/371).
[27]. Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (no. 238).
[28]. Syarhus Sunnah lil Imaam al-Barbahary (no. 7), tahqiq Khalid bin Qasim ar-Radadi, cet. II/Darus Salaf, th. 1418 H. 

Arsip : almanhaj.or.id

Kamis, 08 November 2012

ASAS PERUBAHAN KEPADA PERBAIKAN ADALAH MANHAJ TASHFIYAH DAN TARBIYAH

13.42 Posted by Unknown No comments
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Oleh karena itu, kami selalu mendengungkan setiap saat dan selalu memfokuskan pada seputar dua point mendasar yang merupakan kaidah perubahan yang benar. Keduanya adalah Tashfiyah (pemurnian) dan Tarbiyah (pendidikan), kedua hal ini mesti berjalan bersama-sama sekaligus, yaitu tashfiyah dan tarbiyah.

Jika dalam suatu negeri terdapat suatu jenis dari tashfiyah, yaitu tashfiyah dalam hal aqidah, maka hal ini termasuk peristiwa yang sangat besar yang terjadi dalam masyarakat Islam yang merupakan bagian bangsa di antara bangsa-bangsa lain.

Adapun dalam hal ibadah, maka perlu membebaskan ibadah itu dari fanatik madzhab yang sempit dan berusaha kembali kepada sunnah yang shahih. Kadang-kadang terdapat ulama besar yang memahami Islam dengan pemahaman yang shahih dari segala sisi, tetapi saya tidak yakin bahwa ada satu, dua, tiga, sepuluh atau dua puluh orang saja mampu menegakkan kewajiban mengadakan tashfiyah (pemurnian) Islam dari setiap apa yang masuk ke dalamnya, baik dalam hal aqidah, ibadah atau akhlak.

Sesungguhnya orang yang sedikit tidak akan mampu menunaikan kewajiban ini, yaitu kewajiban mengadakan tashfiyah (pemurnian) dari apa-apa yang melekat dengan Islam berupa hal-hal yang masuk ke dalam Islam (padahal sebenarnya bukan dari Islam) serta kita harus mendidik orang-orang di sekitar kita dengan tarbiyah (pendidikan) yang benar dan lurus, akan tetapi tashfiyah dan tarbiyah sekarang ini telah hilang.

Oleh karena itu, gerakan politik di masyarakat Islam manapun yang tidak berhukum dengan syari'at (Islam) akan menghasilkan dampak yang buruk sebelum kita merealisasikan dua masalah penting ini.

Adapun nasehat itu dapat menggantikan posisi gerakan politik di negeri manapun yang berhukum dengan syari'at, dengan cara musyawarah atau menyampaikan nasehat dengan cara yang lebih baik sesuai dengan batasan-batasan syar'i yang jauh dari bahasa pemaksaan atau pendiskriminatifan. Menyampaikan nasehat itu akan menegakkan hujjah dan membebaskan kita dari dosa.

Dan termasuk sebagai nasehat adalah kita menyibukkan manusia dengan apa-apa yang bermanfaat bagi mereka, dengan memperbaiki aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah.

Sebagian mereka menduga bahwa kami ingin merealisasikan tarbiyah dan tashfiyah pada masyarakat Islam seluruhnya. Hal ini tidak pernah kami pikirkan dan impikan dalam tidur, karena merealisasikan hal itu adalah mustahil, dan karena Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur'an Karim.

"Artinya : Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat" [Huud : 118].

Firman Allah ini tidak akan terealisasi pada mereka kecuali apabila mereka memahami Islam dengan pemahaman yang benar dan mendidik diri mereka serta keluarga mereka dengan dan orang-orang disekitar mereka, di atas Islam yang benar ini.


[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 41-43, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz] 

Arsip : Al manhaj.or.id

Kamis, 01 November 2012

Biografi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

05.58 Posted by Unknown , No comments
Beliau adalah Pembaharu Islam (mujadid) pada abad ini. Karya dan jasa-jasa beliau cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu Hadits. Beliau telah memurnikan Ajaran islam terutama dari hadits-hadits lemah dan palsu, meneliti derajat hadits.

Nasab (Silsilah Beliau)
Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu. Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari`at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum`iyah al-Is`af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida`iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur`an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.

Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul al-Mughni `an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar. Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya` Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).
Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.

Pengalaman Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid`ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jami`ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam`iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.

Beberapa Karya Beliau
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau yang terkenal adalah :
1. Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
2. Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
3. Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
4. Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal maudhu`ah
5. At-Tawasul wa anwa`uhu
6. Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha

Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami`ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.

Wafatnya
Beliau wafat pada hari Jum`at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi`ah wa jazahullahu`an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na`im al-Muqim.

Sumber: http://ahlulhadist.wordpress.com