Mengenal Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Abdul Qodir al-Jailani?
Hampir semua muslim pernah mendengar namanya.
Dari anak SD hingga manusia usia senja, mengenal namanya. Ketika
namanya disebut, yang terbayang kesalehan dengan segudang karomah. Lalu
siapakah sebenarnya Abdul Qodir al-Jailani itu?
Nama dan Nasab
Seorang ahli sejarah Islam, Ibnul Imad menyebutkan tentang nama dan masa hidup Abdul Qadir Al-Jailani,
“Pada tahun 561 H hiduplah Asy-Syaikh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin
Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud
bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin
Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib
Al-Jailani.”
(Syadzarat Adz-Dzahab, Ibnul Imad Al-Hanbali, 4/198)
Tempat Kelahiran
Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany adalah salah seorang ulama
ahlusunnah yang berasal dari negeri Jailan. Dari nama negerinya ini,
beliau dinasabkan sehingga disebut “al-Jailani”, artinya seorang yang
berasal dari negeri Jailan.
Jailan sendiri merupakan nama bagi beberapa daerah yang terletak di belakang Negeri Thobristan.
Kota yang ada di negeri Jailan, hanyalah perkampungan yang terletak
pada daerah tropis di sekitar pegunungan. (Mu’jam Al-Buldan, 4/13-16)
Madzhab Fiqh Syaikh Abdul Qadir
Beliau termasuk salah satu ulama dan tokoh dalam madzhab hambali. Ad-Dzahabi ketika membawakan biografinya menyatakan,
الجِيْلِيُّ الحَنْبَلِيُّ، شَيْخُ بَغْدَادَ
Beliau dari Jailani, bermadzhab hambali, tokoh di Baghdad.
Kemudian ad-Dzahabi menyebutkan beberapa guru beliau, diantaranya,
Abu Ghalib al-Baqillani, Ahmad bin Mudzaffar, Abu Qasim bin Bayan.
Sementara murid beliau, sederet ulama madzhab hambali, diataranya,
as-Sam’ani, al-Hafidz Abdul Ghani – penulis Umdatul Ahkam –, dan
al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, penulis kitab al-Mughni .
(Siyar A’lam an-Nubala, 20/439)
Aqidah Syaikh Abdul Qadir
Bagian ini sagat penting untuk kita pahami, menyusul banyaknya
keyakinan tentang beliau yang banyak bercampur khurafat dan takhayul.
Salah satunya, dikatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir mampu mengambil
kembali ruh yang sudah dicabut oleh malaikat. Kemudian dikembalikan
kepada orang yang baru meninggal.
Ini kisah sangat jelas kedustaannya. Siapapun manusia, bahkan seorang nabi-pun, tidak mampu melakukan semacam ini.
Yang sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi sekarang, tapi sudah
ada di masa silam. Dan para ulama ahlus sunah berusaha melulruskannya.
Kita simak keterangan Al-Hafidz Ibnu Katsir,
ولأتباعه وأصحابه فيه مقالات ، ويذكرون عنه أقوالا وأفعالا
ومكاشفات أكثرها مغالاة ، وقد كان صالحاً ورِعاً ، وقد صنَّف كتاب ”
الغُنية ” و ” فتوح الغيب ” ، وفيهما أشياء حسنة ، وذكر فيهما أحاديث ضعيفة
وموضوعة ، وبالجملة كان من سادات المشايخ
“Mereka telah menyebutkan dari beliau (Abdul Qadir Al-Jailany)
ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, pengungkapan urusan gaib, yang
kebanyakannya adalah ghuluw (sikap berlebih-lebihan). Beliau orangnya
sholeh dan wara’. Beliau telah menulis kitab Al-Ghun-yah, dan Futuh
Al-Ghaib. Dalam kedua kitab ini terdapat beberapa perkara yang baik, dan
ia juga menyebutkan di dalamnya hadits-hadits dha’if, dan palsu. Secara
global, ia termasuk di antara pemimpin para masyayikh (orang-orang yang
berilmu)”.
(al-Bidayah wa an-Nihayah, 12/252).
Karena itu, bagian penting yang perllu kita perhatikan ketika kita
mengkaji sejarah tokoh adalah memahmi bagaimana aqidahnya, bukan
kesaktiannya atau karomahnya. Karena yang kita tiru amal dan aqidahnya,
bukan ilmu kanuragannya. Terlebih lagi, beliau sama sekali tidak pernah
mempelajari ilmu kanuragan, apalagi memlikinya.
Memang beliau memiliki banyak karomah. Namun karomah yang beliau
miliki bukan karena beliau mempelajarinya, tapi murni pemberian dari
Allah, sebagai bentuk pertolongan dari Allah untuk hamba-Nya yang soleh.
Sehingga sekali lagi, yang perlu kita tiru adalah kesalehannya bukan
karamahnya.
Diantara cara untuk memahami aqidah beliau adalah dengan melihat
karya tulis beliau. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki kitab
al-Ghunyah. Dalam salah satu biografi beliau yang disebutkan oleh Ibnu
Rajab, di kitab Dzail Thabaqat Hanabilah dinyatakan,
وللشيخ عبد القادر رحمه الله تعالى كلام حسن في التوحيد،
والصفات والقدر، وفي علوم المعرفة موافق للسنة. وله كتاب ” الغنية لطالبي
طريق الحق ” وهو معروف، وله كتاب ” فتوح الغيب ” وجمع أصحابه من مجالسه في
الوعظ كثيرًا. وكان متمسكًا في مسائل الصفات، والقدر، ونحوهما بالسنة،
بالغًا في الرد على من خالفها
“Syaikh Abdul Qadir Al-Jailany memiliki keterangan yang bagus tentang
Tauhid, penjelasan sifat Allah, dan taqdir. Dalam ilmu ma’rifat, ilmu
beliau sesuai kaidah ahlus sunah wal jamaah.
Beliau memiliki buku berjudul: “al-Ghunyah li Thalibi Thariqil Haqq.”
Kitab yang terkenal. Beliau juga punya kitab judulnya: Futuh al-Ghaib.
Sahabat beliau yang ikut kajian tentang nasehat sangat banyak sekali.
Beliau berpegang dengan sunnah (ajaran Nabi) dalam masalah sifat Allah
dan taqdir atau aqidah lainnya. Beliau sangat jeli dalam membantah.
(al-Ghuntah, hlm. 151)
Ibnu Qudamah menuturkan pengalaman dengan gurunya,
دخلنا بغداد سنة إحدى وستين وخمسمائة فإذا الشيخ عبد
القادر ممن انتهت إليه الرئاسة بها علمًا وعملاً ومالاً واستفتاء. وكان
يكفي طالب العلم عن قصد غيره من كثرة ما اجتمع فيه من العلوم، والصبر على
المشتغلين، وسعة الصدر
“Kami masuk Baghdad tahun 561 H. Ternyata Syaikh Abdul Qadir termasuk
orang yang mencapai puncak kepemimpinan dalam ilmu , harta, fatwa dan
amal disana. Penuntut ilmu tidak perlu lagi menuju kepada yang lainnya
karena banyaknya ilmu, kesabaran terhadap penuntut ilmu, dan kelapangan
dada pada diri beliau. Orangnya berpandangan jauh. Beliau telah
mengumpulkan sifat-sifat yang bagus, dan keadaan yang agung. Saya tak
melihat ada orang yang seperti beliau setelahnya.” (Dzail Thobaqot
Hanabilah, 1/293)
Pernyataan Syaikh Abdul Qadir tentang Aqidah
Pertama, Allah ber-istiwa di atas Arsy,
Beliau mengatakan,
وهو بجهة العلو مستو ، على العرش محتو على الملك محيط علمه بالأشياء
Dia beristiwa di atas. Dia di atas Arsy, Dia menguasai semua kerajaan, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. (al-Ghunyah, 1/71)
Kedua, beliau membantah semua sekte selain ahlus sunnah,
وينبغي إطلاق صفة الاستواء من غير تأويل ، وأنه استواء
الذات على العرش لا على معنى القعود والمماسة كما قالت المجسمة والكرامية ،
ولا على معنى العلو والرفعة كما قالت الأشعرية ، ولا معنى الاستيلاء
والغلبة كما قالت المعتزلة ، لأن الشرع لم يرد بذلك ولا نقل عن أحد من
الصحابة والتابعين من السلف الصالح من أصحاب الحديث ذلك
Selayaknya memahami istiwa Allah sesuai makna tekstualnnya, tanpa
ditakwil. Dia bersemayam secara dzat di atas ‘Arsy, tidak kita maknai
duduk dan menempel di Arsy, sebagaimana perkataan Mujassimah dan
Karramiyah, tidak pula dimaknai berada di atas, sebagaimana perkataan
Asy’ariyah. Tidak boleh dimaknai menguasai, sebagaimana aqidah
Mu’tazilah. Karena syariat tidak menyebutkan semua makna itu, dan tidak
dinukil satupun keterangan dari sahabat, maupun tabi’in di kalangan
Salaf, para pembawa hadis. (al-Ghunyah, 1/74)
Pernyataan ini membuktikan, bahwa beliau adalah pengikut salaf, pembawa hadis, ahlus sunah, bukan Asy’ariyah, apaagi Mu’tazilah.
Mengapa lebih banyak disinggung aqidah masalah Allah beristiwa di atas?
Karena ini titik sengketa antara ahlus sunnah dengan ahlul bid’ah dalam masalah aqidah, seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
Mengingat pentingnya meluruskan sejarah beliau, hingga Dr. Said bin
Musfir menulis disertasi doktoral dengan judul, [الشيخ عبدالقادر
الجيلاني وآراؤه الاعتقادية والصوفية] “Syaikh Abdul Qadir Jailani:
Pemikiran Aqidah dan Sufiyah”
Dalam disertasi ini beliau benyak membantah orang-orang sufi yang menyalah gunakan nama beliau untuk mendukung aqidah sufinya.
Buku ini telah diterjemahkan dalam edisi Indonesia dengan judul: Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Termasuk yang perlu dibersihkan adalah tersebarnya gambar beliau,
yang ini bisa kita pastikan dusta. Karena beliau memusuhi gambar
bernyawa dengan wajah.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
konsultasisyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar