Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada
Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah
kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)
Islam lewat lisan Nabinya telah mengajarkan bagaimana kita
bermuamalah dengan pemerintah atau penguasa. Sebagian kalangan bersikap
keras sehingga mudah mengkafirkan. Sebagian lagi bersikap lembek. Sikap
terbaik yang menjadi akidah seorang muslim adalah tetap menasehati
penguasanya dengan baik tatkala mereka tergelincir. Penyampaian nasehat
ini pula disalurkan dengan cara yang baik, bukan dengan menyebarkan aib
mereka di depan umum. Juga prinsip penting dalam muamalah dengan
penguasa adalah tetap mentaati mereka selama mereka masih muslim,
walaupun mereka berbuat zholim. Berikut nasehat Nabi kita -shallallahu
‘alaihi wa sallam- dan para ulama dalam hal ini.
Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami
dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata
berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu
seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah
kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada
Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah
kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)
Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan
Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan
dalam Al Kitab dan As Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)
Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan
ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin
di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada
pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila
seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka
tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.
Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar
dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan
tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah. Karena terdapat
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah bin Al Yaman.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ
بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ
فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ
وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat
petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam
amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang
hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”
Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun
mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar
dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan
hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343,
Maktabah Syamilah)
Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang
dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang
tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan
ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini
adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka
(pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.
Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah,
maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb
pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh
karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada
maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah).
Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR.
Bukhari no. 7257)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَى
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ
بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia
sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila
diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan
taat.” (HR. Bukhari no. 7144)
(Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin
Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An NAwawiyah, hal. 279, Daruts
Tsaroya)
Bersabarlah terhadap Pemimpin yang Zholim
Ibnu Abil ‘Izz mengatakan,
“Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim
(kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul
kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan
bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan
melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat
zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga.
Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang
dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita
bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi
amalan kita.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada
musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana
datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri”.” (QS. Ali Imran [3] : 165)
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ [4] : 79)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim
itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (QS. Al An’am [6] : 129)
Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman.
(Inilah nasehat yang sangat bagus dari seorang ulama Robbani. Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah)
Ingatlah: Semakin Baik Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya
memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama
dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah
cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan
lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula
penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka
akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah
rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka.
Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para
pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan
menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari
orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan
haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang
berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil
pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada
amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang
jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika
masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin
pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga
akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada
zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul
Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita
itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang
sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu.
Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan
hikmah Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)
Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada
seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini
banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?
Ali menjawab,
“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi
rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang
menjadi rakyatnya adalah kalian.”
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih
baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya
sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang
mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan
muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11) (Dinukil dari buku Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawas, Nasehat Perpisahan, hadits Al ‘Irbadh)
Menegakkan Negara Islam
Ada seorang da’i saat ini berkata,
أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ الإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تَقُمْ لَكُمْ عَلَى أَرْضِكُمْ
“Tegakkanlah Negara Islam di dalam hati kalian, niscaya negara Islam akan tegak di bumi kalian.”
Bukanlah jalan melepaskan diri dari kezoliman penguasa adalah dengan
mengangkat senjata melalui kudeta yang termasuk bid’ah pada saat ini.
Pemberontakan semacam ini telah menyelisihi nash-nash yang memerintahkan
untuk merubah diri sendiri terlebuh dahulu dan membangun bangunan dari
pondasi (dasar). Allah Ta’ala berfirman,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj [22] : 40)
Jalan keluar dari kezholiman penguasa –di mana kulit mereka sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita- adalah dengan :
1. Bertaubat kepada Allah Ta’ala
2. Memperbaiki aqidah
3. Mendidik diri dan keluarga dengan ajaran Islam yang benar
(At Ta’liqot Al Atsariyah ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah li Aimmati Da’wah Salafiyah, 1/42, Maktabah Syamilah)
Oleh karena itu, setiap da’i yang ingin mendakwahkan islam hendaklah
memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Inilah dakwah para Nabi dan
dakwah pertama yang Nabi perintahkan kepada da’i dari kalangan sahabat
untuk menyampaikannya kepada umat. Para sahabat tidaklah diperintahkan
untuk menegakkan khilafah islamiyah terlebih dahulu atau menguasai
pemerintahan melalui politik. Namun, dakwah yang beliau perintah untuk
disampaikan pertama kali adalah dakwah tauhid.
Lihatlah nasehat beliau shallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengutusnya ke Yaman –negeri Ahli Kitab-,
إِنَّكَ
تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا
تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ ، فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى
يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jadikanlah
dakwah pertamamu kepada mereka adalah untuk beribadah kepada Allah
(mentauhidkannya). Apabila mereka sudah mentauhidkan Allah,
beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu sehari
semalam kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jauhilah Pertumpahan Darah
Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada
penguasa. Karena, bila kita tidak mentaati mereka, maka akan terjadi
kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin.
Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya
dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Tirmidzi)
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al Ma’idah [5] : 32)
Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada
penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di
antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban.
Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan mentaati mereka. Namun
bukan berarti tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu tetap ada
tetapi harus dilakukan menurut kaedah yang telah ditetapkan oleh
syari’at yang mulia ini.
Hendaklah Kita Mendoakan Pemimpin Kita
Sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat bahwa pemimpin adalah
cerminan rakyatnya. Jika rakyat rusak, maka pemimpin juga akan demikian.
Maka hendaklah kita selalu mendo’akan pemimpin kita dan bukanlah
mencelanya. Karena do’a kebaikan kita kepada mereka merupakan sebab
mereka menjadi baik sehingga kita juga akan ikut baik. Ingatlah pula
bahwa do’a seseorang kepada saudaranya dalam keadaan saudaranya tidak
mengetahuinya adalah salah satu do’a yang terkabulkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ
الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak
mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada
malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany,
pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut
berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR.
Muslim no. 2733)
Sampai-sampai sebagian salaf mengatakan:
Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajab, niscaya akan aku manfaatkan untuk mendo’akan pemimpin.
Masya Allah inilah akhlaq yang mulia. Selalu mentaati pemimpin selain
dalam hal maksiat. Dengan inilah akan tercipta kemaslahatan di
tengah-tengah kaum muslimin.
Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan pemimpin kita. Amin Ya Robbal ‘Alamin.
“Ya Allah, berilah kemanfaatan kepada kami terhadap apa yang kami
ajarkan dan ajarkanlah pada kami ilmu yang bermanfaat serta
tambahkanlah ilmu pada kami.”
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman
fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
—
Tulisan lawas, diedit ulang di Madinah Nabawiyah, Jum’at-13 Rabi’ul Awwal 1434 H
Arsip : www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar