Dosa Riba Lebih Buruk Dari Pada Zina
22008- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ - يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ - عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah, Rasulullah bersabda, "Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali" [HR Ahmad no 22008].
Sanggahan terhadap orang yang menilai dhaif hadits di atas:
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Daruquthni 3/16.
Hadits di atas juga dibawakan oleh al Haitsami dalam Majmauz Zawaid diiringi komentar, "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu'jam Kabir dan Mu'jam Ausath dan para perawi yang ada dalam riwayat Imam Ahmad adalah para perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan atau shahih Muslim".
Hadits di atas dinilai shahih oleh Suyuthi. Namun dinilai sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi sehingga beliau muat dalam buku beliau yang khusus mengumpulkan hadits hadits palsu yang berjudul 'al maudhuat'.
Tindakan Ibnul Jauzi ini disanggah oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya 'al Qoul al Musaddad fi Dzabb 'an al Musnad' setelah beliau membawakan hadits di atas dalam kitab tersebut dengan sanad beliau sendiri.
Daruquthni menilai bahwa yang tepat teks hadits di atas hanyalah perkataan Kaab al Ahbar, seorang tabiin, bukan sabda Nabi.
Alasan Daruquthni adalah karena Ayub dan Laits bin Abi Sulaim keduanya meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah secara marfu [sebagai sabda Nabi]. Sedangkan di sisi lain Abdul Aziz bin Rafi' meriwayatkannya dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah dari Kaab al Ahbar sebagai perkataan beliau.
Yang lebih tepat sanad versi Ayub itu lebih kuat terutama dikarenakan Ayub mendapat dukungan dari riwayat Laits. Sehingga hadits di atas adalah hadits yang shahih dari Nabi [al Mujtaba fi Ahkam wa Akhthar Riba karya Abdurraqib bin Ali bin Hasan al Ibi hal 58, Dar Atsar Shan'a Yaman].
Kandungan hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa dosa riba adalah dosa yang sangat ngeri karena dia adalah kejahatan yang senilai dengan kejahatan zina tiga puluh enam kali padahal zina sekali saja adalah kejahatan yang sangat jelek bagaimana lagi jika sampai berkali kali.
Jika demikian dosa dari satu dirham uang riba bagaimana lagi dengan uang ratusan ribu rupiah yang didapatkan dari riba. Tidak diragukan tentu lebih jelek lagi.
Tentu kita sepakat bahwa seorang wanita itu tidak boleh melacurkan diri alias berzina untuk mendapatkan uang meski dengan alasan keterpaksaan ekonomi. Jika demikian yang kita katakan mengenai dosa zina maka bisa tegas kita katakan bahwa keterpaksaan ekonomi bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk terlibat dalam dosa riba.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.*
22008- حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ - يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ - عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah, Rasulullah bersabda, "Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali" [HR Ahmad no 22008].
Sanggahan terhadap orang yang menilai dhaif hadits di atas:
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Daruquthni 3/16.
Hadits di atas juga dibawakan oleh al Haitsami dalam Majmauz Zawaid diiringi komentar, "Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani dalam Mu'jam Kabir dan Mu'jam Ausath dan para perawi yang ada dalam riwayat Imam Ahmad adalah para perawi yang dipakai dalam shahih Bukhari dan atau shahih Muslim".
Hadits di atas dinilai shahih oleh Suyuthi. Namun dinilai sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi sehingga beliau muat dalam buku beliau yang khusus mengumpulkan hadits hadits palsu yang berjudul 'al maudhuat'.
Tindakan Ibnul Jauzi ini disanggah oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya 'al Qoul al Musaddad fi Dzabb 'an al Musnad' setelah beliau membawakan hadits di atas dalam kitab tersebut dengan sanad beliau sendiri.
Daruquthni menilai bahwa yang tepat teks hadits di atas hanyalah perkataan Kaab al Ahbar, seorang tabiin, bukan sabda Nabi.
Alasan Daruquthni adalah karena Ayub dan Laits bin Abi Sulaim keduanya meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah secara marfu [sebagai sabda Nabi]. Sedangkan di sisi lain Abdul Aziz bin Rafi' meriwayatkannya dari Ibnu Abi Mulaikah dari Abdullah bin Hanzhalah dari Kaab al Ahbar sebagai perkataan beliau.
Yang lebih tepat sanad versi Ayub itu lebih kuat terutama dikarenakan Ayub mendapat dukungan dari riwayat Laits. Sehingga hadits di atas adalah hadits yang shahih dari Nabi [al Mujtaba fi Ahkam wa Akhthar Riba karya Abdurraqib bin Ali bin Hasan al Ibi hal 58, Dar Atsar Shan'a Yaman].
Kandungan hadits
Hadits ini menunjukkan bahwa dosa riba adalah dosa yang sangat ngeri karena dia adalah kejahatan yang senilai dengan kejahatan zina tiga puluh enam kali padahal zina sekali saja adalah kejahatan yang sangat jelek bagaimana lagi jika sampai berkali kali.
Jika demikian dosa dari satu dirham uang riba bagaimana lagi dengan uang ratusan ribu rupiah yang didapatkan dari riba. Tidak diragukan tentu lebih jelek lagi.
Tentu kita sepakat bahwa seorang wanita itu tidak boleh melacurkan diri alias berzina untuk mendapatkan uang meski dengan alasan keterpaksaan ekonomi. Jika demikian yang kita katakan mengenai dosa zina maka bisa tegas kita katakan bahwa keterpaksaan ekonomi bukanlah alasan yang bisa dibenarkan untuk terlibat dalam dosa riba.
Artikel www.PengusahaMuslim.com
Oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI.*
0 komentar:
Posting Komentar