ISLAM SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza wa Jalla yang
terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib
bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah
memberikan hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat
Islam adalah karunia yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”
[al-Mâidah/5:3]
Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini adalah dengan
menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh sebagai
Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan
meyakini agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh
kesadaran dan keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika seseorang
ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam sebagai satu-satunya
agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam dengan
sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa
Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam .
Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini sangat
menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka
Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak
mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam.
Bahkan ada sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya
ikut-ikutan saja. Penilaian baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim
bukan dengan pengakuan dan KTP, tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh
Azza wa Jalla tidak memberikan penilaian berdasarkan keaslian KTP yang
dikeluarkan pemerintah, juga tidak kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi
Allâh melihat kepada hati dan amal.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga
kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal
kalian.[1]
Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang berdasarkan al-Qur’ân
dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan pemahaman para Shahabat
Radhiyallahu anhum . al-Qur’ân diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar
dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur’ân dan
as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus
dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka
berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat
Radhiyallahu anhum .
al-Qur’ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat, penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ
خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur’ân)
dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk
serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad),
‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.’ [ Yunus/10:57-58]
ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali ‘Imrân/3:19]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan
diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali
‘Imrân/3:85]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ
تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ
مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu
(Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,
‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan
jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai
kepadamu, maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh.
[al-Baqarah/2:120]
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya agama yang
benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak
akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut
telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan
tangan-tangan kotor manusia. Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib
masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan
Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai umat
Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan
memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali
dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu
Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil
al-Qur’ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu
belaka.
Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’ân :
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ
نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga
kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan
mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah
orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya
dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’
[al-Baqarah/2:111-112]
Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa tipuan agar
kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka. Bahkan
mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka
orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah
memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama
tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani,
niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami
mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang
mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.
[al-Baqarah/2:42]
Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian campuradukkan
yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan pernyataan
Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian
mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”
Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah rahimahullah
berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani
dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi
Allâh Azza wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah
bid’ah bukan dari Allâh Azza wa Jalla !”
Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat agung dalam memahami Al-Qur-an.
Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap
propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah
baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan
antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan
Islam Liberal (JIL)’, dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah
HAM (Hak Asasi Manusia) untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan
beragama.
Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat
Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan Yahudi,
mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk
menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala’ wal bara’
(cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan
mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini
sangat merugikan Islam dan umatnya.
Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam. Sedangkan
‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam ini,
karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh
Azza wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.
Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adalah Rasul
terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus bagi
syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at
lain dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara
dari penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan
seluruh manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.
Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam, dan janganlah
ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh sebenar-benar
taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]
Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir
maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ مِنْ
هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ
النَّارِ
Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang
dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad),
lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus
dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .
Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.
Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i), tauhid berarti
mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus bagi-Nya.
Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu
Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma’ dan Sifat-Nya. Dengan
kata lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla
saja.
Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan
Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki,
menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa
dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.
Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa
mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu
disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap),
mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta
pertolongan), istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah
(meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan
diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya
untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak
boleh dipalingkan kepada selain Allâh.
Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama maupun
Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu
wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh
Rasul-Nya n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal
tersebut telah disucikan oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza
wa Jalla , baik yang terdapat di dalam al-Qur’ân maupun dalam as-Sunnah,
dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah
(wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam
Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan
Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang
sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak
ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allâh
Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang
berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh disekutukan dengan seorang
pun dari makhluk-Nya.”[3]
Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla .
Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang
bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya
Surga dan diharamkan masuk Neraka.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia mengetahui bahwa
tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh, maka ia
masuk Surga. [5]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ
مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ
عَلَى النَّارِ
Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah
Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya
masuk Neraka[6]
Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh Azza wa
Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di
Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ
الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“…Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh,
maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah
Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong
pun.” [al-Mâidah/5:72]
ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [al-Baqarah/2:185]
Juga firman-Nya :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“… Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama …” [Al-Hajj/22: 78]
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah manusia, baik
dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh Azza wa
Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban
kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya… [Al-Baqarah/2: 286]
Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla
tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu melaksanakannya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا
غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ
Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat
melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah,
sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh
pahala) serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada
waktu pagi, petang dan sebagian malam.[8]
Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar al-Qur’ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar al-Qur’ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.
Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam berlaku dalam
semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun furu’
(cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli,
pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.
Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya,
semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan. Maka,
kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam
dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur’ân dan as-Sunnah dan
mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah
(petunjuk) dan kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…”
[al-Mâidah/5:3]
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur’ân tentang ushûl
(hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam.
Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala
macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa
Jalla dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan
syirik, bagaimana shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana
melaksanakan hari raya, bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya
sampai tentang cara buang air besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ
عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ:
أَجَلْ !
Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik
telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan
kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’
Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada
manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja yang membawa
manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا طَائِرٌ
يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ
عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ
الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami
(wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua
sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu ,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah
tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari
Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]
Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah
Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan
hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
[an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.
Wallaahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no. 2564 (33)), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Pembahasan lengkapnya lihat kitab al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islâm wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
[3]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32), dari hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[7]. Pembahasan ini diambil dari kitab Kamâluddîn al-Islâmi oleh Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim (hlm. 42) dan Shuwarun min Samâhatil Islâm oleh DR. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali Ar-Rabii’ah, cet. Darul Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406 H, dan kitab-kitab lainnya.
[8]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 39), Kitâbul Imân bab ‘Addînu Yusrun’, dan an-Nasa-i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahih: Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Mâjah (no. 316), dari Salmân al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[10]. Shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/155-156, no. 1647) dan Ibnu Hibbân (no. 65) dengan ringkas, dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 1803).
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no. 2564 (33)), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Pembahasan lengkapnya lihat kitab al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islâm wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
[3]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32), dari hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[7]. Pembahasan ini diambil dari kitab Kamâluddîn al-Islâmi oleh Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim (hlm. 42) dan Shuwarun min Samâhatil Islâm oleh DR. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali Ar-Rabii’ah, cet. Darul Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406 H, dan kitab-kitab lainnya.
[8]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 39), Kitâbul Imân bab ‘Addînu Yusrun’, dan an-Nasa-i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahih: Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Mâjah (no. 316), dari Salmân al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[10]. Shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/155-156, no. 1647) dan Ibnu Hibbân (no. 65) dengan ringkas, dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 1803).